Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) menegaskan pelaksanaan coretax administration system tidaklah ditunda, tetapi sistem administrasi perpajakan yang lama masih dijalankan. Topik tersebut menjadi salah satu ulasan media nasional pada hari ini, Selasa (11/2/2025).
Dalam hasil rapat dengar pendapat (RDP) bersama dengan Komisi XI DPR, DJP dan DPR sepakat bahwa sistem administrasi pajak yang lama, SIDJP, tetap dijalankan berbarengan dengan aplikasi Coretax DJP.
"Implementasi Coretax DJP dilakukan secara paralel dengan beberapa fitur sebelum implementasi coretax (legacy)," kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas DJP Dwi Astuti dalam keterangan resmi.
Skenario tersebut meliputi fitur layanan yang selama ini sudah dijalankan secara paralel, seperti pelaporan SPT Tahunan sebelum tahun pajak 2025 dengan menggunakan e-Filing melalui laman pajak.go.id, dan penggunaan aplikasi e-Faktur Desktop bagi wajib pajak PKP tertentu sesuai dengan keputusan dirjen pajak.
"Dengan demikian, kami tegaskan implementasi Coretax DJP dijalankan secara paralel di antaranya dengan fitur layanan sebagaimana tersebut di atas," tutur Dwi.
Sementara itu, Ketua Komisi XI Mukhamad Misbakhun menuturkan penggunaan coretax dan SIDJP sekaligus diharapkan mengatasi berbagai kendala yang dihadapi wajib pajak pada coretax system. Dia juga berharap kendala pada coretax system tidak berdampak pada upaya penerimaan pajak.
"DJP agar memanfaatkan kembali sistem perpajakan yang lama sebagai, bahasanya antisipasi, dalam mitigasi implementasi coretax yang masih terus disempurnakan, agar tidak mengganggu kolektivitas penerimaan pajak," ujarnya.
Misbakhun mengatakan pemanfaatan teknologi dan informasi merupakan keniscayaan dalam pengelolaan pajak. Namun, penggunaan sistem yang baru tidak boleh sampai mengganggu pelayanan kepada wajib pajak.
Dia menilai wajar penerapan sistem pajak yang baru masih dihadapkan pada berbagai kendala sehingga membutuhkan penyempurnaan. Dalam kondisi tersebut, Komisi XI menawarkan kepada DJP untuk kembali menggunakan sistem yang lama.
Selain topik coretax, ada juga ulasan mengenai penundaan pembahasan efisiensi anggaran. Ada juga bahasan terkait dengan PMK omnibus yang mengatur tarif PPN atas barang hasil pertanian tertentu dan emas perhiasan.
Komisi XI meminta DJP untuk menyusun peta jalan atau roadmap penerapan coretax administration system.
Ketua Komisi XI Mukhamad Misbakhun mengatakan pelaksanaan coretax sejauh ini masih menemui berbagai kendala. Menurutnya, DJP perlu menyusun roadmap terkait dengan penerapan coretax yang berbasis risiko paling rendah.
"DJP Kementerian Keuangan menyiapkan roadmap implementasi coretax berbasis risiko yang paling rendah dan mempermudah pelayanan terhadap wajib pajak. Pelayanan ini menjadi concern kita semua. (DDTCNews/Bisnis Indonesia/Kontan/Kompas)
Tarif PPN besaran tertentu yang berlaku atas barang hasil pertanian tertentu (BHPT) tetap sebesar 1,1%.
Tarif PPN besaran tertentu yang dikenakan atas penyerahan BHPT tetap 1,1% menyusul berlakunya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 11/2025 yang merevisi beberapa PMK perihal PPN besaran tertentu, termasuk PMK 64/2022.
"Besaran tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) ditetapkan sebesar ... 1,1% dari harga jual," bunyi Pasal 3 ayat (1) PMK 64/2022 yang direvisi melalui Pasal 15 PMK 11/2025. (DDTCNews)
Dalam surat bernomor B/1972/PW.11.01/2/2025, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad meminta pimpinan komisi parlemen untuk menunda rapat pembahasan efisiensi anggaran dengan kementerian atau lembaga mitra kerjanya masing-masing.
Hal ini dikarenakan pemerintah akan melakukan rekonstruksi anggaran kembali. Oleh sebab itu, rapat pembahasan efisiensi anggaran bersama kementerian/lembaga seperti yang sebelumnya diinstruksikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk ditunda.
Bahkan, jika sudah ada komisi yang sudah melakukan pembahasan efisiensi anggaran dengan kementerian/lembaga mitra kerjanya, Dasco meminta untuk pelaksanaan rapat ulang setelah adanya hasil rekonstruksi anggaran terbaru. (Bisnis.com)
Tarif PPN besaran tertentu yang berlaku pada tahun ini atas penyerahan emas perhiasan oleh pengusaha kena pajak (PKP) pabrikan emas perhiasan dan PKP pedagang emas perhiasan tetap sebesar 1,1% dan 1,65%.
Tarif PPN besaran tertentu atas penyerahan emas perhiasan tetap sama dengan yang berlaku pada tahun sebelumnya seiring dengan direvisinya formula PPN besaran tertentu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 48/2023 melalui PMK 11/2025.
"Untuk menyesuaikan ketentuan mengenai besaran tertentu PPN, peraturan menteri ini mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam…PMK 48/2023," bunyi Pasal 13 huruf f PMK 11/2025. (DDTCNews)
Ketentuan dalam PMK 81/2024 mengatur ulang batas waktu penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 26 atas premi asuransi dan reasuransi yang dibayar ke luar negeri.
Merujuk Pasal 243 ayat (4) PMK 81/2024, pemotong pajak wajib menyetor PPh Pasal 26 tersebut maksimal 15 hari setelah saat terutangnya pajak. Sebelumnya, berdasarkan KMK 624/KMK.04/1994, penyetoran PPh Pasal 26 atas penghasilan itu dilakukan maksimal 10 hari setelah saat terutang.
“Pemotong pajak ... wajib menyetor PPh Pasal 26 paling lama 15 hari setelah saat terutangnya pajak dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak,” bunyi Pasal 243 ayat (4) PMK 81/2024. (DDTCNews)
Presiden Prabowo Subianto menyatakan terdapat segelintir pihak yang berupaya melawan kebijakan efisiensi belanja yang telah ditetapkan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) 1/2025.
Menurut Prabowo, efisiensi belanja merupakan langkah yang diperlukan untuk melaksanakan program-program yang memberikan manfaat langsung kepada rakyat seperti makan bergizi gratis (MBG) dan perbaikan bangunan sekolah.
"Ada yang melawan saya dalam birokrasi. Merasa sudah kebal hukum, merasa sudah menjadi raja kecil. Saya mau menghemat uang untuk rakyat. Untuk memberi makan anak, saya ingin memperbaiki semua sekolah di Indonesia," katanya. (DDTCNews)