Ilustrasi.
HAMPIR 1 dekade lalu, pemerintah menaikkan ambang batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) orang pribadi dari Rp36 juta per tahun menjadi Rp54 juta per tahun. Jika dihitung secara bulanan, PTKP naik dari Rp3 juta menjadi Rp4,5 juta.
Artinya, hanya individu yang penghasilannya di atas Rp4,5 juta per bulan atau Rp54 juta dalam setahun yang perlu membayar pajak penghasilan (PPh). Menginjak 2025, sudah 9 tahun ketentuan tersebut berjalan.
Sebagai bahan refleksi, kita coba mundur ke 2015. Payung hukum kenaikan PTKP saat itu adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 101/2016, yang berlaku mulai 1 Januari 2016.
Pemerintah menyodorkan beberapa alasan di balik kenaikan PTKP menjadi Rp4,5 juta per bulan. Di antaranya, urgensi untuk mendorong kinerja ekonomi dan tren kenaikan harga kebutuhan pokok.
Memang, tingkat inflasi atau kenaikan harga barang dan jasa kala itu meroket. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat laju inflasi pada 2013 mencapai 8,38% secara tahunan (year on year/yoy). Inflasi tinggi itu masih berlanjut hingga 2014, yakni sebesar 8,36% (yoy).
Tingginya inflasi mencerminkan kenaikan harga barang dan jasa. Artinya, biaya hidup masyarakat juga meningkat karena akibat kebutuhan konsumsi yang melonjak.
Alasan itulah yang dipaparkan oleh Bambang Brodjonegoro, menteri keuangan yang menjabat kala itu. Menurutnya, penyesuaian besaran PTKP diperlukan untuk melindungi dan meningkatkan daya beli masyarakat.
Pemerintah berkeyakinan, kenaikan PTKP bisa mendorong laju konsumsi rumah tangga yang pada akhirnya menopang pertumbuhan ekonomi. "Konsumsi rumah tangga bisa naik 0,3% dan PDB sebesar 0,16%.," kata Bambang pada medio 2016.
Lantas apakah keyakinan pemerintah saat itu benar-benar terjawab melalui kenaikan PTKP? Artikel ini mencoba menguji 2 parameter yang disampaikan oleh pemerintah sebagai alasan kenaikan PTKP, yakni laju pertumbuhan ekonomi dan konsumsi rumah tangga (sebagai cerminan daya beli).
Pertama, kinerja pertumbuhan ekonomi. Pada 2016, ketika PTKP dinaikkan, produk domestik bruto (PDB) mengalami pertumbuhan 5,03%.
Secara rata-rata, kinerja PDB sejak 2016 hingga 2019 (tidak mencakup 2020 karena masuk periode pandemi Covid-19) adalah 5%. Angka ini turun jika dibandingkan dengan rata-rata kinerja PDB pada 2011 hingga 2015 yang sebesar 5,53%.
Kedua, konsumsi rumah tangga. Pada 2016, konsumsi rumah tangga tercatat tumbuh 5,01%.
Jika dibedah lebih mendalam, secara rata-rata, kinerja konsumsi rumah tangga sejak 2016 hingga 2019 tercatat 5%. Angka ini turun jika dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada 2011 hingga 2015, yakni sebesar 5,21%.
Dari komparasi atas 2 parameter di atas, terlihat bahwa kenaikan PTKP tidak lantas membuat pertumbuhan ekonomi dan konsumsi rumah tangga melesat.
Apabila dikaitkan dengan tujuan awal untuk mendorong daya beli, kenaikan PTKP ternyata juga bukan solusi mutlak. Perlu ada evaluasi kebijakan perekonomian secara menyeluruh, tanpa memandang kenaikan PTKP sebagai suatu kebijakan tunggal. (rig)