Director Fiscal Research & Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji dalam Ruang Publik KBR, Kamis (26/9/2024).
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah dinilai perlu memperhatikan prinsip stabilitas dan keberlanjutan dalam merumuskan kebijakan cukai hasil tembakau (CHT) 2025.
Director Fiscal Research & Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji mengatakan perumusan kebijakan tarif CHT yang stabil dan berkelanjutan akan membantu pemerintah tetap berada dalam jalur untuk mencapai target-target yang sudah ditentukan. Selain itu, kebijakan tarif CHT juga lebih memberikan kepastian bagi semua pemangku kepentingan, terlebih jika bersifat tahun jamak atau multiyears.
"Karena kita berhadapan dengan multiple objectives, penting sekali kerangka kebijakan cukai hasil tembakau ke depan tetap berkepastian dan sustainable sehingga kita langsung bisa menerka-nerka dampaknya," katanya dalam program Ruang Publik KBR, Kamis (26/9/2024).
Bawono mengatakan terdapat 4 aspek yang menjadi perhatian dalam perumusan kebijakan tarif CHT, yakni kesehatan, industri, penerimaan negara, dan penanganan rokok ilegal. Pemerintah pun perlu membuat racikan kebijakan yang mampu menyeimbangkan keempat tujuan tersebut.
Pada prosesnya, perumusan kebijakan tarif CHT semestinya juga sejalan dengan rencana dan target yang telah ditetapkan. Arah kebijakan teknis CHT pada tahun depan misalnya dituangkan dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025. Dokumen tersebut memuat kebijakan, antara lain penerapan tarif yang bersifat multiyears, menaikkan tarif yang moderat, penyederhanaan layer, serta mendekatkan disparitas tarif cukai antar-layer.
Dengan demikian, wacana pemerintah untuk tidak menaikkan tarif CHT pun menjadi tidak konsisten dengan rencana awal. Apalagi, pemerintah bersama DPR dalam APBN 2025 telah menyepakati target cukai senilai Rp244,2 triliun atau naik 5,94% dari outlook tahun ini.
Selain itu, pemerintah juga memiliki target menurunkan prevalensi merokok, terutama pada anak-anak.
"Kalaupun tarif cukai tahun depan tidak naik, ini bisa memperlambat kita mencapai goal-goal yang telah direncanakan, termasuk target penerimaan pada presiden nantinya," ujarnya.
Dalam periode transisi seperti saat ini, lanjutnya, kebijakan tarif CHT penting pula dikaitkan dengan target-target yang diusung pemerintah berikutnya. Misal, presiden terpilih berupaya mengoptimalkan penerimaan negara dan perbaikan kualitas sumber daya manusia (SDM).
Dalam konteks CHT, kenaikan tarif justru bakal sejalan dengan peningkatan penerimaan negara sekaligus perbaikan kualitas SDM di sisi kesehatan melalui penurunan prevalensi merokok.
Pemerintah dalam rencana mempertahankan tarif CHT ini antara lain mempertimbangkan fenomena downtrading yang merebak dalam beberapa tahun terakhir. Downtrading bukanlah fenomena baru karena perilaku konsumen cenderung mengalihkan konsumsi kepada rokok dengan harga lebih murah.
Di sisi lain, peredaran rokok ilegal juga menjadi perhatian. Sebab, produksi dan peredaran rokok ilegal biasanya meningkat setelah pemerintah menaikkan tarif CHT.
Menurut Bawono, mempertahankan tarif CHT tidak akan secara otomatis mengatasi persoalan downtrading dan rokok ilegal. Sebaliknya, downtrading dan rokok ilegal semestinya sudah menjadi aspek yang dipertimbangkan ketika pemerintah merumuskan besaran kenaikan tarif CHT.
"Behavior inilah yang perlu diprediksi dan diantisipasi sedari awal ketika merumuskan kebijakan cukai. Karena behavior konsumen pasti tidak mau membayar lebih mahal atas sesuatu yang dia konsumsi," imbuhnya. (sap)