Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Setiap perusahaan yang melakukan kegiatan produksi akan memerlukan persediaan. Persediaan merupakan bahan atau barang yang disimpan dan akan digunakan untuk memenuhi tujuan tertentu. Persediaan dapat berupa bahan baku, bahan pembantu, barang dalam proses, barang jadi, ataupun suku cadang (Herjanto, 2010).
Dalam rangkaian produksi, perusahaan perlu menghitung atau melakukan pencatatan atas persediaan. Penghitungan atau pencatatan atas persediaan ini bisa dilakukan dengan 3 metode, yakni metode rata-rata (average), First-In First-Out (FIFO), dan Last-In First-Out (LIFO). Namun, Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) hanya memperbolehkan 2 metode penghitungan persediaan, yakni metode average dan FIFO.
“Persediaan dan pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok dinilai berdasarkan harga perolehan yang dilakukan secara rata-rata atau dengan cara mendahulukan persediaan yang diperoleh pertama,” bunyi Pasal 10 ayat (6) UU PPh, dikutip pada Sabtu (14/9/2024).
Selain itu, International Accounting Standards Board (IASB) juga tidak memperbolehkan untuk menggunakan metode LIFO dalam menghitung dan mencatat persediaan.
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, terdapat 3 metode penghitungan atau pencatatan persediaan. Pertama, FIFO. FIFO adalah metode penilaian persediaan dengan asumsi ‘masuk pertama, keluar pertama’. Barang atau bahan yang dibeli pertama dianggap sebagai yang dijual lebih dulu. Artinya, barang dijual berdasarkan pada urutan kronologis waktu pembelian (IBFD International Tax Glossary, 2015).
Kedua, metode average. Metode ini menghitung harga pos-pos yang terdapat dalam persediaan atas dasar biaya rata-rata barang yang sama yang tersedia selama satu periode (Kieso, Weygant, dan Warfield, 2007).
Ketiga, metode LIFO. LIFO dikembangkan dengan dasar asumsi bahwa barang dagangan yang terakhir masuk adalah barang dagangan yang pertama keluar (the last merchandise purchased is the first merchandise sold). Dengan asumsi tersebut maka harga perolehan persediaan yang tersisa merupakan akumulasi dari harga perolehan persediaan barang dagangan yang pertama masuk (Barchelino, 2016).
Mengapa metode LIFO tidak diperkenankan untuk dipakai?
Implikasi dari penggunaan metode LIFO adalah berkurangnya kualitas laporan keuangan. Karena nilai persediaan yang tersaji dalam laporan posisi keuangan (balance sheet) tidak merepresentasikan recent cost level of inventory (IAS 2 BC13).
Nilai persediaan yang tercantum dalam neraca akan merefleksikan nilai persediaan pada periode yang lalu dan tidak menggambarkan nilai persediaan saat ini.
Apabila dilihat dari perspektif dunia perpajakan, metode LIFO berpeluang menggerus potensi penerimaan bagi negara. LIFO akan menghasilkan laba yang lebih sedikit sehingga pajak yang dibayarkan juga akan makin kecil. Hal ini menjadi jalan pintas bagi perusahaan-perusahaan yang ingin memperkecil beban pajaknya. Oleh karena itu metode ini sudah tidak diperbolehkan untuk digunakan dalam peraturan perpajakan Indonesia (Syailendra, 2013). (Syallom Aprinta Cahya Prasdani/sap)