Gedung Kementerian Keuangan.
JAKARTA, DDTCNews - Kementerian Keuangan berencana mulai meredesain insentif pajak guna merespons implementasi Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE) pada tahun depan.
Merujuk pada Himpunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian dan Lembaga (RKA-K/L) 2025, redesain insentif pajak itu merupakan salah satu dari 14 program prioritas Kementerian Keuangan pada tahun depan.
"Sebesar Rp495,88 miliar atau 0,9% untuk mendukung prioritas lainnya, melalui kegiatan: analisis redesain insentif pajak pasca implementasi Pilar 2," tulis pemerintah dalam Himpunan RKA-K/L 2025, dikutip pada Minggu (18/8/2024).
Sebagai informasi, yurisdiksi-yurisdiksi Inclusive Framework telah menyepakati Pilar 2 yang menjadi landasan untuk menerapkan pajak minimum global dengan tarif efektif sebesar 15%. Pajak minimum global tersebut berlaku atas grup perusahaan multinasional dengan pendapatan minimal senilai €750 juta per tahun.
Jika tarif efektif yang ditanggung perusahaan multinasional pada suatu yurisdiksi tak mencapai 15%, yurisdiksi tempat ultimate parent entity (UPE) berlokasi berhak mengenakan top-up tax atas laba yang kurang dipajaki. Top-up tax dikenakan berdasarkan income inclusion rule (IIR).
Contoh, apabila tarif efektif yang ditanggung perusahaan multinasional pada suatu yurisdiksi hanya sebesar 13% maka yurisdiksi UPE memiliki hak untuk mengenakan top-up tax sebesar 15% - 13% = 2%.
Namun, perlu dicatat, yurisdiksi sumber berhak untuk terlebih dahulu mengenakan top-up tax dalam hal yurisdiksi tersebut mengadopsi qualified domestic minimum top-up tax (QDMTT). Bila yurisdiksi sumber mengenakan top-up tax berdasarkan QDMTT maka yurisdiksi UPE kehilangan hak untuk mengenakan top-up tax melalui IIR.
Pemerintah pun berencana untuk menetapkan peraturan menteri keuangan (PMK) tentang pajak minimum global. Secara terperinci, IIR dan QDMTT akan diimplementasikan di Indonesia pada tahun ini, sedangkan undertaxed profit rule (UTPR) baru akan diterapkan pada 2025.
Beberapa insentif pajak yang bakal terdampak signifikan oleh pajak minimum global adalah insentif-insentif berbasis laba (profit-based incentives) seperti tax holiday reguler dan tax holiday di KEK. Hal ini terjadi lantaran insentif tersebut memberikan pembebasan pajak secara penuh atau parsial dan menimbulkan penurunan tarif efektif secara signifikan.
Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sempat menyatakan bahwa tax holiday berpotensi tidak efektif diberikan akibat hadirnya pajak minimum global. Oleh karena itu, diperlukan insentif dalam bentuk lain guna mengompensasi tax holiday.
Â
Terkait dengan insentif perpajakan di Indonesia, DDTC baru-baru ini juga telah merilis buku Panduan Insentif Perpajakan di Indonesia 2024. Publikasi ini merupakan buku ke-25 yang diterbitkan DDTC.
Buku ini ditulis oleh Founder DDTC Darussalam dan Danny Septriadi bersama dengan Director DDTC Fiscal Research & Advisory B. Bawono Kristiaji, DDTC Internal Tax Solutions Lead Made Astrin Dwi Kartini, serta DDTC Academy Lead N. Daniel Sohilait. (rig)