BERITA PAJAK HARI INI

Aturan Bukti Potong Direvisi, Instansi Pemerintah Perlu Perhatikan Ini

Redaksi DDTCNews
Rabu, 22 Mei 2024 | 08.36 WIB
Aturan Bukti Potong Direvisi, Instansi Pemerintah Perlu Perhatikan Ini

JAKARTA, DDTCNews – Dirjen Pajak menerbitkan peraturan terbaru terkait dengan pembuatan bukti pemotongan PPh Pasal 21 oleh instansi pemerintah. Topik ini menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Rabu (22/5/2024).

Ketentuan pembuatan bukti potong bagi instansi pemerintah kini diperbarui melalui Peraturan Dirjen Pajak No. PER-5/PJ/2024, merevisi peraturan sebelumnya PER-17/PJ/2021. Adapun revisi peraturan tersebut terbit untuk menampung kebutuhan perubahan pengaturan PPh Pasal 21/26.

"Dengan ditetapkannya PMK 168/2023, PER-17/PJ/2021…belum menampung kebutuhan perubahan pengaturan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sehingga perlu dilakukan perubahan," bunyi bagian pertimbangan PER-5/PJ/2024.

Melalui Pasal 3 ayat (1) PER-5/PJ/2024, DJP memperkenalkan 1 jenis bukti potong baru, yakni bukti potong PPh Pasal 21 bulanan form 1721-A3.

Bukti potong PPh Pasal 21 bulanan form 1721-A3 dibuat oleh instansi pemerintah ketika melakukan pemotongan PPh atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan selain pada masa pajak terakhir.

"Terhadap pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan yang diberikan kepada pegawai tetap dan pensiunan yang menerima uang terkait pensiun secara berkala serta bagi PNS, anggota TNI, anggota Polri, pejabat negara, dan pensiunannya, dibuatkan bukti pemotongan formulir 1721-A3 pada setiap masa pajak selain masa pajak terakhir," bunyi Pasal 3 ayat (2) PER-5/PJ/2024.

Pemotong pajak juga harus memberikan bukti potong PPh Pasal 21 bulanan form 1721-A3 kepada pegawai tetap, pensiunan, PNS, anggota TNI, anggota Polri, pejabat negara, ataupun pensiunannya paling lama 1 bulan setelah masa pajak berakhir.

Selain bukti pemotongan PPh Pasal 21 Bulanan untuk instansi pemerintah, ada pula ulasan lainnya mengenai dampak coretax system terhadap penerimaan pajak. Ada juga ulasan mengenai target rasio perpajakan 2025 dan pengecekan bukti potong PPh Pasal 21 di DJP Online.

Berikut ini ulasan artikel perpajakan selengkapnya.

Bukti Potong Tak Perlu Dibuat Jika Tidak Ada Pembayaran Penghasilan

Seiring dengan diterbitkannya PER-5/PJ/2024, bukti pemotongan 21/26 instansi pemerintah tak perlu dibuat apabila tidak terdapat pembayaran penghasilan.

Ketentuan tersebut sudah diatur dalam Pasal 4 ayat (1) PER-17/PJ/2021 s.t.d.d PER-5/PJ/2024. Dalam ketentuan sebelumnya, bukti pemotongan 21/26 instansi pemerintah tidak perlu dibuat dalam hal tidak terdapat pemotongan PPh.

Meski demikian, berdasarkan pada ketentuan Pasal 4 ayat (2) PER-17/PJ/2021 s.t.d.d PER-5/PJ/2024, terdapat beberapa kondisi yang mengharuskan bukti pemotongan 21/26 instansi pemerintah tetap dibuat. (DDTCNews)

Coretax System Bakal Tingkatkan Penerimaan Pajak

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu menilai implementasi pembaruan sistem inti administrasi perpajakan (PSIAP) atau coretax administration system (CTAS) akan berdampak pada peningkatan pendapatan negara.

Febrio mengatakan CTAS merupakan bagian dari reformasi perpajakan. Sejalan dengan perbaikan administrasi pajak melalui implementasi CTAS, dia meyakini pendapatan negara akan meningkat secara bertahap.

"Ini adalah perbaikan signifikan dari administrasi pajak sehingga nanti kita harapkan dari kemampuan administrasi perpajakan itu semakin optimal dan ini secara gradual akan meningkatkan pendapatan," katanya. (DDTCNews)

Riwayat Bukti Potong PPh Pasal 21 Bulanan Bisa Dicek di DJP Online

Ditjen Pajak (DJP) menyatakan wajib pajak orang pribadi bisa mendapatkan bukti potong PPh Pasal 21 bulanan form 1721-VIII melalui DJP Online.

PPh Pasal 21 bulanan form 1721-VIII merupakan bukti potong yang harus diberikan oleh pemberi kerja setelah melakukan pemotongan PPh Pasal 21 setiap bulannya atas penghasilan yang diterima pegawai tetap.

"Bila belum mendapatkan bukti potong PPh Pasal 21 bulanan form 1721-VIII, penerima penghasilan dapat melihat bukti potong tersebut dari akun DJP Online-nya," ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Dwi Astuti. (DDTCNews)

Pemerintah Usulkan Ekstensifikasi Barang Kena Cukai pada 2025

Pemerintah kembali menuliskan rencana pengenaan cukai terhadap produk plastik dan minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) pada tahun depan.

Rencana ekstensifikasi barang kena cukai (BKC) ini telah tertulis dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025. Adapun ekstensifikasi BKC sebagai salah satu kebijakan untuk mendukung penerimaan.

"Ekstensifikasi cukai dengan penambahan objek cukai baru berupa produk plastik dan minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) beserta pungutan cukainya dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat," bunyi dokumen KEM-PPKF 2025. (DDTCNews)

5 Tantangan terkait Target Rasio Perpajakan pada 2025 versi Pemerintah

Pemerintah memandang kinerja penerimaan perpajakan 2025 masih akan dihadapkan pada berbagai tantangan. Untuk itu, pemerintah mengusulkan target rasio perpajakan pada kisaran 10,09% – 10,29% pada 2025.

Berdasarkan KEM-PPKF 2025, disebutkan setidaknya 5 tantangan yang akan memengaruhi upaya pemerintah dalam mencapai target penerimaan tersebut.

"Beberapa tantangan itu antara lain dinamika ekonomi global, tensi geopolitik yang meningkat, volatilitas harga komoditas utama, perkembangan ekonomi domestik, serta implementasi kebijakan," sebut pemerintah dalam dokumen KEM-PPKF 2025. (DDTCNews

Optimalisasi Setoran Pajak dari Konten Kreator dan Influencer

Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas DJP Dwi Astuti mengatakan DJP tidak memiliki strategi khusus terhadap kelompok wajib pajak, baik konten kreator maupun influencer.

Dia menegaskan kewajiban pajak yang dikenakan didasarkan atas jenis penghasilan atau transaksi apa yang dilakukan oleh influencer tersebut selaku wajib pajak.

"Pengenaan pajak terhadap influencer sama dengan penerima penghasilan lainnya," tuturnya.

Sementara itu, Director Fiscal Research and Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji menilai potensi penerimaan pajak dari profesi tersebut sangat cukup besar, tetapi belum sepenuhnya bisa dipajaki.

"Fokus optimalisasi kepatuhan pajak umumnya masih berkutat pada penghasilan-penghasilan yang diperoleh dari dalam platform, khususnya AdSense," katanya. (kontan.co.id) (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.