Director Fiscal Research and Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji
JAKARTA, DDTCNews - Upaya peningkatan kontribusi dan kepatuhan wajib pajak orang kaya guna menekan ketimpangan memerlukan dukungan, baik dari sisi administrasi maupun dari sisi kebijakan perpajakan.
Director Fiscal Research and Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji mengatakan tak sedikit yurisdiksi yang berupaya untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak berpenghasilan tinggi melalui peningkatan transparansi.
"Jadi di sini bagaimana transparansi dan pemetaan secara administrasinya untuk orang-orang kaya itu menguasai modal di mana. Itu harus dioptimalkan," katanya, Kamis (7/3/2024).
Bawono menuturkan orang kaya memiliki akses terhadap pasar keuangan. Hal ini memungkinkan mereka menghindari pajak menggunakan skema yang kompleks. Oleh karena itu, transparansi pajak memiliki peran yang amat penting dalam upaya peningkatan kepatuhan.
Selain itu, lanjutnya, peningkatan transparansi pajak juga perlu didukung dengan perbaikan kualitas pemerintahan dan pelayanan publik. Menurutnya, aspek-aspek tersebut diperlukan untuk menciptakan kepatuhan sukarela.
Dia meyakini wajib pajak akan lebih patuh untuk membayar pajak apabila didukung dengan kepastian dalam sistem pajak, pelayanan publik yang baik, dan trust terhadap institusi pemerintahan.
"Jadi, kuncinya bukan hanya di tarifnya, tetapi juga bagaimana mengagendakan kepatuhan sukarela dari wajib pajak," tuturnya.
Dari sisi kebijakan, lanjut Bawono, suatu yurisdiksi bisa mempertimbangkan untuk mengenakan pajak-pajak tertentu guna meningkatkan kontribusi dari wajib pajak orang kaya.
Contoh, kebijakan menerapkan pajak kekayaan, pajak warisan, hingga windfall tax. Saat ini, ketiga kebijakan itu mulai banyak dipertimbangkan oleh berbagai negara guna menjaga kontribusi pajak dari wajib pajak orang kaya.
"Dalam skema windfall tax, ketika suatu sektor mendapatkan keuntungan yang lebih besar, misal karena commodity boom, itu ada pajak tambahan," ujar Bawono.
Di Indonesia, pemerintah juga berupaya meningkatkan kontribusi pajak dari wajib pajak-wajib pajak terkaya dengan memberlakukan tarif PPh orang pribadi sebesar 35% atas lapisan penghasilan kena pajak di atas Rp5 miliar.
Tak hanya itu, natura dan kenikmatan juga telah ditetapkan pemerintah sebagai objek pajak seiring dengan diterbitkannya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Lebih lanjut, Bawono menilai upaya peningkatan kontribusi pajak dari kelompok wajib pajak kaya perlu dilakukan dengan mempertimbangkan struktur penghasilan dari kelompok tersebut.
Berbeda dengan kelas menengah yang mayoritas penghasilannya berasal dari kegiatan usaha atau pekerjaan, lanjutnya, orang kaya memiliki struktur penghasilan yang kompleks.
Penghasilan yang diterima oleh wajib pajak orang kaya tidak hanya berupa upah, tetapi juga dari penghasilan pasif seperti dividen, bunga, dan royalti. Masalahnya, kebanyakan penghasilan pasif di Indonesia dikenai PPh secara final dengan tarif flat, bukan tarif progresif.
Untuk meningkatkan progresivitas sistem pajak, skema PPh final dengan tarif flat atas penghasilan pasif perlu ditinjau ulang.
"Ini menjadi pertanyaan dan pertimbangan di kemudian hari, apakah perlu melihat kembali skema PPh final atas penghasilan pasif? Kalau tidak, khawatirnya tarif 35% itu justru tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap penurunan ketimpangan," ujar Bawono. (rig)