Unggahan DJP di Instagram.
JAKARTA, DDTCNews – Ditjen Pajak (DJP) menegaskan pemeriksaan bukti permulaan (bukper) tidak akan selalu ditindaklanjuti dengan penyidikan.
Dalam sebuah unggahan pada media sosial, DJP menegaskan pemeriksaan bukper dilakukan kantor pajak untuk mendapatkan bukti permulaan tentang dugaan telah terjadinya tidak pidana di bidang perpajakan. Tujuan dan kedudukan dari pemeriksaan ini sama dengan penyelidikan dalam KUHAP.
“Apakah pemeriksaan bukper selalu ditindaklanjuti dengan penyidikan? Tidak. Jika wajib pajak yang dilakukan pemeriksaan bukper melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan disertai pelunasan jumlah pajak kurang dibayar dan sanksi denda 100% dari jumlah pajak kurang dibayar,” tulis DJP, dikutip pada Senin (20/11/2023).
Berdasarkan pada informasi, data, laporan, dan pengaduan (IDLP), dirjen pajak berwenang melakukan pemeriksaan bukper. IDLP yang diterima akan dikembangkan dan dianalisis melalui kegiatan intelijen dan/atau kegiatan lain.
DJP juga menegaskan pemeriksaan bukper tidak tergantung pada sudah punya atau tidaknya Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Pemeriksaan bukper dilakukan jika ada indikasi suatu tindak pidana pada bidang perpajakan.
“Apakah harus memiliki NPWP untuk dilakukan pemeriksaan bukper? Tidak. Siapa saja yang terindikasi melakukan suatu tindak pidana di bidang perpajakan, baik memiliki NPWP atau tidak, dapat dilakukan pemeriksaan bukper,” imbuh DJP.
DJP menjelaskan ada 11 indikasi tindak pidana perpajakan yang dapat memicu pemeriksaan bukper. Pertama, tidak mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP atau tidak melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP).
Kedua, menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau PKP. Ketiga, tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT). Keempat, menyampaikan SPT dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap. Kelima, menolak untuk dilakukan pemeriksaan.
Keenam, memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu/dipalsukan seolah-olah benar atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Ketujuh, tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain.
Kedelapan, tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain dalam jangka waktu yang ditentukan. Kesembilan, tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut.
Kesepuluh, menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pungut pajak, bukti potong pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan pada transaksi sebenarnya. Kesebelas, menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai PKP.
“Hal tersebut di atas diatur dalam Pasal 39 dan Pasal 39A UU KUP,” tulis DJP. (kaw)