Foto bersama dalam acara International Tax Conference (ITC) 2023.
LEGIAN, DDTCNews - Kompartemen Akuntan Perpajakan (KAPj) Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) menggelar International Tax Conference (ITC) 2023 bertema Trends of the Future: International Tax, Transfer Pricing, and Digital Tax Transformation.
Ketua Dewan Pengurus Nasional (DPN) IAI Ardan Adiperdana mengatakan akuntan perlu lebih aktif dalam mengantisipasi kehadiran Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE) dan perubahan lanskap perpajakan internasional lainnya.
" Penyesuaian penciptaan nilai dan pertimbangan ESG juga akan memengaruhi penentuan arm's length. Akuntan memiliki peran instrumental dalam menavigasi lanskap pajak internasional yang terus berubah dan transformasi pajak digital," katanya, Jumat (20/10/2023).
Dalam keterangan resminya, Ardan menuturkan kehadiran Pilar 1: Unified Approach bakal mengubah lanskap transfer pricing mengingat kehadiran Pilar 1 bakal mengalokasikan hak pemajakan ke yurisdiksi pasar.
Sementara itu, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Iwan Djuniardi selaku keynote speaker menjelaskan pesatnya automasi telah mengubah model bisnis secara drastis. Menurutnya, tren tersebut perlu diantisipasi secara serius.
Pada 2045, diperkirakan ada lebih dari 50% industri global yang menerapkan automasi dalam proses bisnisnya. Perkembangan tersebut akan diikuti oleh peningkatan transaksi digital. Namun, di sisi lain perkembangan ini juga bakal meningkatkan ancaman siber.
Otoritas pajak di seluruh dunia perlu memodernisasi administrasi perpajakannya agar lebih sederhana dan efisien. DJP sendiri akan menerapkan coretax administration system guna menyederhanakan proses administrasi perpajakan bagi wajib pajak.
"Ini merupakan bagian dari reformasi perpajakan yang bertujuan meningkatkan rasa keadilan bagi wajib pajak, sehingga yang mendapatkan manfaat ekonomi lebih tinggi diharuskan memberikan kontribusi melalui pajak lebih banyak," tutur Iwan.
Pada kesempatan itu, Global Industry Practice Lead at Moody's Analytics, Maqbool Lalljee menilai reformasi perpajakan internasional diperlukan untuk menciptakan keadilan bagi wajib pajak dan yurisdiksi.
Peraturan perpajakan yang berlaku bagi perusahaan internasional telah diberlakukan sekitar 1 abad lalu dan sudah tidak mampu merespons perkembangan ekonomi digital.
Akibat digitalisasi, perusahaan multinasional bisa menjalankan kegiatan usaha tanpa perlu memiliki kehadiran fisik pada suatu yurisdiksi.
Sejak awal 1990, perusahaan multinasional dapat dengan mudah mengalihkan labanya ke yurisdiksi berpajak rendah atau tanpa pajak dengan menggunakan aset tidak berwujud. Pilar 1 dan Pilar 2 pun hadir sebagai jawaban atas tantangan tersebut.
"Proyek BEPS OECD/G20 yang dimulai pada 2013 telah menghasilkan pengembangan peraturan baru berdasarkan Pilar 1 dan Pilar 2 guna memastikan perusahaan multinasional membayar pajak yang adil di manapun mereka beroperasi," ujar Maqbool.
Ketua KAPj IAI Prof John Hutagaol menyampaikan bahwa lanskap perpajakan internasional berubah kian cepat akibat kehadiran Pilar 2, transformasi digital, dan konsep transfer pricing yang terus dimutakhirkan.
John menuturkan peserta ITC 2023 telah mengeksplorasi ketentuan Pilar 2 secara menyeluruh dan berfokus pada tarif pajak efektif minimum global, pelaksanaan Pilar 2 yang rumit, dan pemberlakukan undertaxed profits rule (UTPR) pada 2025. (rig)