SURVEI PAJAK DAN POLITIK

Apa Saja Kebijakan Pajak yang Perlu Diusung Capres? Yuk, Isi Survei

Redaksi DDTCNews
Kamis, 21 September 2023 | 08.28 WIB
Apa Saja Kebijakan Pajak yang Perlu Diusung Capres? Yuk, Isi Survei

JAKARTA, DDTCNews - Untuk meningkatkan tax ratio, apakah calon presiden (capres) perlu mempunyai rencana kenaikan tarif pajak? Apakah capres juga perlu memiliki rencana penambahan objek kena pajak atau cukai yang baru?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu juga muncul dalam survei pajak dan politik yang digelar DDTCNews hingga 4 Oktober 2023. Survei yang dilakukan dalam bentuk kuesioner online itu dapat diakses pada tautan bit.ly/SurveiPakpolDDTCNews.

Sejumlah pertanyaan tersebut muncul untuk mencari tahu berbagai opsi kebijakan perpajakan yang bisa dipertimbangkan oleh partai politik ataupun capres pemilu 2024. Terlebih, rasio penerimaan perpajakan terhadap produk domestik bruto (PDB) atau tax ratio Indonesia masih cukup rendah.

Merujuk pada Revenue Statistics in Asia and the Pacific 2023 yang dirilis Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), tax ratio Indonesia (10,9%) pada 2021 berada di bawah rata-rata tax ratio negara kawasan Asia dan Pasifik (19,8%) dan rata-rata negara OECD (34,1%).

Berdasarkan pada data itu, ada urgensi untuk mengoptimalkan penerimaan perpajakan di Indonesia. Terlebih, berdasarkan pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) audited 2017—2021, pos penerimaan perpajakan mengambil porsi rata-rata hingga 78% dari total pendapatan negara.

Melihat data tersebut, optimalisasi penerimaan pajak – termasuk performa tax ratio—menjadi aspek penting untuk mendanai rencana pembangunan yang diusung partai politik ataupun capres. Pertanyaannya, apa saja opsi kebijakan yang bisa dipertimbangkan?

Tarif Pajak

Dalam konteks perpajakan, optimalisasi penerimaan biasanya mencakup ekstensifikasi dan intensifikasi. Dalam survei ini, responden diminta untuk memberikan pandangan terkait dengan berbagai kebijakan tergolong sebagai bagian dari ekstensifikasi dan intensifikasi.

Salah satunya terkait dengan tarif pajak jenis apapun. Seperti diketahui, tarif pajak tidak luput dari perhatian pemerintah dan DPR dalam perkembangan reformasi. Setelah menurunkan tarif PPh badan dari 25% menjadi 22%, pemerintah dan DPR sepakat menambah tarif tertinggi PPh orang pribadi.

Melalui Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), pemerintah dan DPR sepakat menambah bracket PPh orang pribadi pada UU PPh dari semula 4 layer menjadi 5 layer. Tarif tertinggi berubah dari 30% menjadi 35% untuk penghasilan kena pajak di atas Rp5 miliar.

Selama periode 1985-2000, banyak negara justru menurunkan tarif tertinggi PPh orang pribadinya. Namun, pada 2020, tarif tertinggi PPh orang pribadi berada pada kisaran 21%-40%. Kelompok terbanyak ada pada negara dengan tarif tertinggi dalam rentang 31%-40%. Simak statistik tarif pajak.

Dari sisi PPN, masih lewat UU HPP, pemerintah dan DPR juga sepakat untuk menaikkan tarif dari 10% menjadi 11% mulai 1 April 2022. Setelah itu, tarif akan kembali naik menjadi 12% yang mulai berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025. Artinya, ada potensi kenaikan tarif pada era pemerintahan baru.

Sebagai gambaran, secara global, terdapat tren kenaikan tarif PPN/GST, yaitu dari 14,9% (2010) menjadi 15,4% (2020). Untuk Asia, rata-rata tarif PPN/GST sekitar 12,0%. Dengan demikian, tarif PPN Indonesia berada di bawah rata-rata tarif global dan Asia. Simak statistik tarif pajak.

Dengan data-data tersebut, kembali ke pertanyaan awal, apakah calon presiden perlu mempunyai rencana kenaikan tarif pajak? Adapun tarif pajak yang dimaksud tidak terbatas pada PPh dan PPN, tetapi juga jenis pajak lainnya.

Barang Kena Cukai Baru dan Insentif Pajak

Salah satu komponen dalam perpajakan yang juga memberikan kontribusi cukup besar adalah cukai. Hingga saat ini, terdapat 3 barang kena cukai (BKC) di Indonesia, yakni etil alkohol (EA), minuman mengandung etil alkohol (MMEA), dan hasil tembakau (CHT).

Mengutip working paper bertajuk Komparasi Objek Cukai secara Global dan Pelajaran bagi Indonesia, jika dibandingkan dengan negara tetangga di kawasan Asean, jumlah BKC di Indonesia relatif sedikit. Rata-rata jumlah BKC di kawasan Asean mencapai sekitar 11 kategori. Simak perbandingannya di sini.

Pemerintah Indonesia sebenarnya telah berencana memperluas pengenaan cukai untuk produk plastik dan minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Namun, hingga saat ini, rencana tersebut masih belum dieksekusi meskipun sudah ada target penerimaan yang dimasukkan dalam APBN.

Di Indonesia, berdasarkan pada UU Cukai, pengenaan cukai dilakukan terhadap barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan. Pertama, konsumsinya perlu dikendalikan. Kedua, peredarannya perlu diawasi.

Ketiga, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup. Keempat, pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan. Pertanyaannya, apakah capres juga perlu memiliki rencana penambahan BKC yang baru?

Bersamaan dengan opsi kebijakan terkait dengan tarif dan objek perpajakan, responden juga akan diajak untuk memberikan masukan tentang insentif pajak. Seperti diketahui, pajak tidak hanya menjalankan fungsi budgetair, melainkan juga regulerend.

Fungsi regulerend biasa diwujudkan dalam bentuk pemberian insentif pajak. Salah satu contohnya adalah berbagai insentif pajak yang ditujukan untuk menarik investasi. Pertanyaannya, dalam upaya peningkatan tax ratio, apakah perlu ada rencana pengurangan insentif pajak untuk jenis apapun?

Kepatuhan Sukarela

OPSI kebijakan yang juga berkaitan dengan peningkatan tax ratio adalah berhubungan dengan kepatuhan sukarela wajib pajak. Dengan adanya kepatuhan sukarela, pembayaran perpajakan diyakini akan lebih optimal dan berkelanjutan.

Pertanyaannya, apakah partai politik ataupun capres perlu mempunyai rencana peningkatan kepatuhan sukarela? Rencana tersebut misalnya terkait dengan edukasi, pelayanan, kemudahan administrasi, dan sebagainya.

Terlebih, pada saat ini, otoritas juga telah mengimplementasikan compliance risk management (CRM). Implementasi CRM diharapkan juga turut meningkatkan kualitas perlakuan (treatment) yang tepat untuk tiap wajib pajak berdasarkan pada risiko kepatuhannya.

Di sisi lain, peningkatan kepatuhan juga bisa dijalankan melalui intensifikasi dalam wujud pemeriksaan hingga penegakan hukum pajak. Pertanyaannya, apakah partai politik ataupun capres juga perlu mempunyai rencana pengetatan upaya pemeriksaan hingga penegakan hukum pajak?

Sampaikan pendapat Anda atas berbagai pertanyaan tersebut melalui survei pajak dan politik yang menjadi bagian dari program Pakpol DDTCNews. Ada 37 pertanyaan (terbagi menjadi 5 section) dalam survei tersebut. Pertanyaan yang diberikan berkaitan dengan pemahaman, pandangan, harapan, dan pilihan politik wajib pajak.

Untuk mengisi kuesioner online survei pajak dan politik DDTCNews, silakan untuk mengakses bit.ly/SurveiPakpolDDTCNews. Ada hadiah uang tunai dengan total senilai Rp10 juta untuk 40 responden terpilih (masing-masing senilai Rp250.000). Pajak hadiah ditanggung pemenang.

Responden diharapkan bisa memberikan jawaban yang jujur serta berdasarkan pada pandangan pribadi masing-masing. Identitas responden juga akan dijamin kerahasiaannya untuk memastikan keamanan dan akurasi hasil survei.

Jadi, jangan lewatkan kesempatan untuk memberikan pandangan Anda yang berharga melalui survei ini. Sekitar 10-15 menit waktu yang Anda luangkan untuk mengisi survei ini berpotensi menentukan agenda perpajakan pada masa mendatang. Suaramu, Pajakmu! (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
Facebook DDTC
Twitter DDTC
Line DDTC
WhatsApp DDTC
LinkedIn DDTC
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.