KEBIJAKAN PAJAK

Pacu Investasi, Wamenkeu II: Aturan Pajak Perlu Sesuai Standar Global

Dian Kurniati
Selasa, 24 September 2024 | 14.00 WIB
Pacu Investasi, Wamenkeu II: Aturan Pajak Perlu Sesuai Standar Global

Wakil Menteri Keuangan II Thomas Djiwandono.

JAKARTA, DDTCNews - Wakil Menteri Keuangan II Thomas Djiwandono memandang Indonesia memerlukan reformasi yang komprehensif dalam menerapkan pajak minimum global sesuai dengan Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE).

Thomas mengatakan Pilar 2 akan membuat Indonesia tidak bisa lagi bergantung pada insentif pajak untuk menarik investasi asing. Menurutnya, kebijakan domestik harus diselaraskan dengan standar global untuk mempertahankan daya saing.

"Pemerintah harus mengkalibrasi ulang sistem pajaknya untuk menyeimbangkan antara daya tarik investasi asing dan memastikan keadilan pajak," katanya dalam International Tax Forum 2024, Selasa (24/9/2024).

Thomas menuturkan negara-negara di dunia selama beberapa dekade terakhir ini telah bersaing untuk menurunkan tarif pajaknya guna menarik investasi. Namun demikian, persaingan ini sering kali harus mengorbankan stabilitas ekonomi.

Sejak 1980, tarif pajak badan rata-rata global telah turun dari 40,18% menjadi 23,45% pada 2023. Meskipun efektif menarik investasi, tren penurunan tarif pajak tersebut juga mengurangi pendapatan negara yang dibutuhkan untuk infrastruktur, layanan kesehatan, dan program bantuan sosial sehingga melemahkan kemampuan pemerintah mengatasi kesenjangan.

Thomas memandang kebijakan pajak yang kuat sangat penting untuk mendukung layanan publik dan mendorong pemulihan ekonomi. Seluruh negara pun perlu bersama-sama mengatasi persaingan tarif pajak yang tidak sehat guna melindungi basis pajak masing-masing.

Negara-negara OECD/G-20 Inclusive Framework on BEPS telah bekerja sama untuk memberikan solusi melalui Solusi 2 Pilar (Two-Pillar Solution).

Inisiatif Pilar 2 hadir sebagai respons terhadap fenomena race to the bottom sehingga diusulkan pajak minimum global sebesar 15% untuk menyamakan kedudukan dan mencegah pengalihan laba ke yurisdiksi dengan tarif pajak rendah.

Menurut Thomas, penerapan Pilar 2 bukan hal yang bersifat opsional bagi Indonesia karena insentif pajak yang mengarah pada tarif pajak efektif di bawah 15% akan memungkinkan yurisdiksi lain mengeklaim hak pemajakan melalui top-up tax atas laba yang kurang dipajaki.

Berdasarkan analisis dampak di Indonesia, penerapan pajak minimum global akan menghasilkan pendapatan pajak sekitar Rp3,8 hingga Rp8,8 triliun, terutama melalui top-up tax yang memenuhi syarat.

Pada 19 September 2024, Indonesia telah menandatangani multilateral instrument (MLI) yang menjadi landasan dari penerapan subject to tax rule (STTR). MLI ini bakal menyediakan jalan bagi negara-negara berkembang untuk melindungi basis pajak mereka.

"Dengan menyelaraskan peraturan pajak dengan standar global, Indonesia ingin tetap menjadi tujuan yang menarik bagi investasi asing sekaligus mencegah erosi basis pajak dan pengalihan laba," ujar Thomas.

Selain itu, lanjut Thomas, pembaruan sistem pajak akan berdampak pada pengumpulan pendapatan domestik karena perusahaan multinasional harus memberikan kontribusi pajak secara adil. Hal ini pada akhirnya juga bakal meningkatkan kapasitas fiskal negara untuk mendanai berbagai layanan publik dan membangun infrastruktur.

Dengan mengalihkan fokus dari keringanan pajak jangka pendek ke insentif strategis jangka panjang, negara-negara berkembang akan tetap bisa mempromosikan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan memastikan manfaat investasi asing dirasakan secara luas.

Dia pun berharap negara maju dan organisasi internasional memberikan bantuan teknis dan dukungan finansial untuk membantu negara-negara berkembang membangun sistem pajak yang kuat. Selain itu, sektor swasta juga perlu berperan dalam transisi implementasi Pilar 2.

Menurutnya, keberhasilan Solusi 2 Pilar yang terdiri atas Pilar 1 dan Pilar 2 akan bergantung pada kolaborasi internasional. Sebab, reformasi sistem pajak global tak dapat dilakukan melalui kebijakan yang terfragmentasi, tetapi harus melalui pendekatan multilateral yang terpadu untuk menghindari sengketa pajak dan inefisiensi.

"Upaya kolaboratif penting untuk menciptakan lingkungan pajak yang stabil dan dapat diprediksi sehingga menguntungkan baik pelaku bisnis maupun pemerintah," tuturnya. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.