Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Rencana Google Indonesia untuk memungut pajak pertambahan nilai (PPN) 10% kepada pemasang iklan menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Senin (2/9/2019).
Mulai 1 Oktober 2019, PT Google Indonesia akan mengenakan PPN 10% kepada pemasang iklan dengan alamat penagihan di Indonesia. Raksasa digital ini menyebut pengenaan pajak saat beriklan di Google Ads sebagai bentuk kepatuhan perusahaan kepada peraturan pajak di Indonesia.
Head of Corporate Communications Google Indonesia Jason Tedjasukmana mengatakan kebijakan baru ini merupakan konsekuensi dari upaya korporasi untuk memberikan dan memperluas layanan bagi para pengguna di Tanah Air.
Google Indonesia juga terus berupaya memodifikasi tagihan dengan menggunakan mata uang lokal. Langkah ini, sambung Jason, merupakan bagian dari upaya untuk memudahkan pelanggan produk iklan Google yang mendaftar dengan alamat penagihan di Indonesia.
“Perubahan ini merupakan langkah menuju model bisnis baru yang mendukung pertumbuhan bisnis kami di Indonesia,” ujarnya.
Selain itu, beberapa media nasional juga menyoroti upaya Ditjen Pajak (DJP) untuk meningkatkan penerimaan. Langkah ini diambil melalui pemanfaatan data hasil implementasi automatic exchange of information (AEoI) untuk proses pemeriksaan wajib pajak.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan otoritas menyambut baik rencana PT Google Indonesia menarik PPN 10% terhadap para pemasang iklannya di Indonesia.
“Para pengguna jasa layanan Google Ads itu akan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Mereka akan dikenakan kewajiban yang sama dengan PKP pada umumnya. Mereka akan membayar dan melaporkan PPN sebagaimana PKP yang lain,” jelas Hestu.
Managing Partner DDTC Darussalam berpendapat pengenaan PPN atas iklan di Google merupakan hal yang lumrah. Hal ini dikarenakan Google memberikan jasa kepada para penggunanya di Indonesia. Oleh karena itu, Google memang harus diwajibkan untuk memungut PPN yang terutang.
Langkah tersebut, menurutnya, menjadi peluang bagi Indonesia untuk menambah penerimaan pajak. Darussalam tidak melihat adanya potensi penurunan jumlah pengiklan bila Google menerapkan kebijakan tersebut karena pengiklan juga terkena PPN bila beriklan di tempat lain.
“Jadi, ini justru menciptakan level playing field yang sama,” katanya.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan basis data internal maupun eksternal, seperti AEoI dan data instansi, lembaga pemerintahan, asosiasi, dan pihak lainnya (ILAP).
“Kita manfaatkan untuk berbagai kegiatan pembinaan, pengawasan, pemeriksaan, penagihan, dan penegakan hukum lainnya. Ke depan, proses pengolahan dan pemanfaatan data-data tersebut akan menjadi aktivitas rutin sebagai bagian dalam optimalisasi penerimaan pajak,” tuturnya.
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait investment allowance akan diterbitkan pada akhir tahun. Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Perekonomian Iskandar Simorangkir mengaku sudah meneruskan ketentuan dan klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia terkait insentif itu pada pekan lalu.
Fasilitas yang diatur dalam PP No. 45/2019 ini diberikan kepada wajib pajak badan dalam negeri yang melakukan penanaman modal baru ataupun perluasan usaha pada bidang usaha tertentu di sektor padat karya dan tidak mendapatkan fasilitas pajak sebagaimana Pasal 31A UU PPh.
Fasilitas pajak berupa pengurangan penghasilan neto sebesar 60% dari jumlah penanaman modal berupa aktiva tetap berwujud termasuk tanah yang digunakan untuk kegiatan usaha. Insentif diberikan selama 6 tahun dengan pengurangan masing-masing sebesar 10% per tahun. (kaw)