Ilustrasi tampilan laman khusus MAP & APA DJP.
JAKARTA, DDTCNews – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menerbitkan regulasi baru tentang Prosedur Persetujuan Bersama atau Mutual Agreement Procedure (MAP). Regulasi baru tersebut menjadi sorotan beberapa media nasional pada hari ini, Senin (6/5/2019).
Regulasi baru ini berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.49/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. Beleid yang diundangkan dan mulai berlaku pada 26 April 2019 ini mencabut PMK No.240/PMK/03/2014.
Terbitnya regulasi baru ini dikarenakan Indonesia sebagai negara anggota G20 yang perlu menyesuaikan diri dengan perkembangan internasional di bidang perpajakan. Penyesuaian terkait dengan penerapan standar minimum rencana aksi ke-14 proyek Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) terkait pencegahan dan penyelesaian sengketa perpajakan internasional yang lebih efektif.
Pasalnya, ketentuan dalam PMK No.240/PMK/03/2014 belum sepenuhnya sesuai dengan standar minimum rencana aksi ke-14 proyek BEPS. Beleid terdahulu juga belum dapat memberikan kepastian hukum, terutama terkait prosedur, jangka waktu, dan tindak lanjut permintaan pelaksanaan MAP.
“Untuk pencegahan dan penanganan sengketa perpajakan internasional yang lebih efektif,” demikia penggalan salah satu pertimbangan otoritas dalam beleid itu.
Selain itu, beberapa media nasional juga menyoroti masalah insentif fiskal yang dilakukan untuk mendorong daya saing. Apalagi, investasi di sektor industri padat karya pada kuartal I/2019 masih menemui sejumlah tantangan besar.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Tidak ada perubahan terkait pihak yang dapat mengajukannya permintaan pelaksaan MAP. Namun, dalam beleid baru, otoritas memberi penekanan pada wajib pajak (WP) dalam negeri. WP dalam negeri dapat mengajukannya kepada Dirjen Pajak sebagai pejabat berwenang Indonesia.
Pengajuan bisa dilakukan jika terjadi perlakukan perpajakan oleh otoritas pajak mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang tidak sesuai dengan ketentuan P3B. Selain itu, pihak lain yang bisa mengajukan adalah Warga Negara Indonesia melalui Dirjen Pajak, Dirjen Pajak, dan otoritas pajak mitra.
Dalam beleid baru, otoritas merinci beberapa kondisi yang memungkinkan beberapa pihak tersebut mengajukan permintaan pelaksanaan MAP. Setiap pihak memiliki kondisi masing-masing yang diatur dalam beleid tersebut.
Permintaan pelaksanaan MAP, masih seperti regulasi terdahulu, tidak menunda kewajiban membayar pajak yang terutang dan pelaksanaan penagihan pajak. Hal ini sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Setelah menerima hasil penelitian terkait kelengkapan permintaan pelaksanaan MAP, Dirjen Pajak akan mengeluarkan pemberitahuan tertulis kepada WP terkait dapat ditindaklanjuti atau tidaknya persyaratan permintaan MAP maksimal 1 bulan sejak permintaan pelaksanaan MAP diterima.
Bila melebihi waktu tersebut, permintaan MAP dianggap bisa ditindaklanjuti. Sementara itu, waktu perundingan pelaksanaan MAP yang selama ini memakan waktu bertahun-tahun dan seringkali menemui ketidakpastian bagi wajib pajak kini dibatasi selama 2 tahun.
Setelah proses berlangsung, Dirjen Pajak juga akan menindaklanjuti hasil perundingan dengan menerbitkan surat keputusan dalam batas waktu paling lama 2 bulan sejak diterimanya atau disampaikannya pemberitahuan tertulis dari atau kepada pejabat berwenang mitra P3B.
Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji dalam Indonesia Taxation Quarterly Report (Q1-2019) menyebut reformasi pajak umumnya mengarah pada upaya meningkatkan daya saing. Hal ini mengingat situasi ekonomi global yang penuh ketidakpastian dan pertumbuhan ekonomi yang melambat di banyak negara.
“Obsesi untuk meningkatkan daya saing terutama ditujukan untuk menarik modal dan tenaga kerja berkeahlian tinggi, yang dipercaya menjadi komponen produktivitas domestik,” ujar Bawono.
B. Bawono Kristiaji mengatakan dorangan daya saing dapat dilakukan melalui berbagai opsi terkait dengan subjek, objek, dan tarif. Akan tetapi, satu hal yang kerap dilupakan adalah bahwa daya saing suatu negara juga dipengaruhi oleh bagaimana sistem pajak di suatu negara juga bisa menjamin kepastian.
Kepastian dalam sistem pajak juga dipengaruhi oleh administrasi pajak yang mudah, berbiaya rendah, jelas, serta menjamin hak-hak wajib pajak. Selain itu, kepastian juga berkaitan erat dengan desain dan implementasi upaya mencegah dan menyelesaikan sengketa pajak.
Bagi Indonesia, reformasi pajak dengan mempertimbangkan upaya meningkatkan daya saing merupakan sesuatu yang diperlukan. Tren kompetisi pajak secara global, kebutuhan menggerakkan ekonomi domestik, dan ancaman middle income trap.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani menjelaskan, selain faktor-faktor fiskal, persoalan tenaga kerja masih menjadi hambatan bagi kalangan investor untuk berinvestasi di sektor industri padat karya. Khusus untuk masalah ketenagakerjaan, Indonesia masih kalah dengan Vietnam yang menjadi kompetitor utama dalam menggaet investasi.
“Sekarang kita berkompetisi dengan negara seperti Vietnam terutama untuk industri padat karya. Jam kerja di sana lebih tinggi,” jelasnya.
Kendati demikian, dia tak menampik, insentif pajak yang ditawarkan sudah cukup menarik. Namun, menurutnya, adanya syarat yang diberlakukan bagi para pelaku investasi, membuat relaksasi atau insentif yang diterapkan pemerintah bukan satu-satunya faktor yang menarik para investor.
Hari ini, Badan Pusat Statistik akan mengumumkan data pertumbuhan ekonomi kuartal I/2019. Rata-rata dari konsensus ekonom memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada 3 bulan pertama ini akan mencapai 5,16% dan nilai tengahnya sebesar 5,18%. Konsumsi masih jadi penopang. (kaw)