Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) meminta agar pemerintah mengatur secara jelas terkait perlakuan perpajakan transaksi e-commerce melalui media sosial. Topik ini menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Rabu (27/2/2019).
Ketua Umum IdEA Ignatius Untung mengatakan platform media sosial tidak didesain sebagai ruang jual-beli barang. Dengan demikian, pemilik platform tidak bisa dituntut untuk menyetor data pemilik akun yang berdagang. Hal ini berisiko menimbulkan ketidaksetaraan dengan platform media sosial.
“Platform seperti Facebook dan Instagram tidak punya data penjualan pelapak berapa sehingga Ditjen Pajak akan datang langsung ke seller-nya,” jelas Untung.
Dia meminta agar pemerintah memformulasikan skema kebijakan yang bisa membuat pelapak di media sosial patuh terhadap ketentuan perpajakan, terutama Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.210/PMK.010/2018.
Saat ini, ungkapnya, idEA masih rutin melakukan pembahasan aturan teknis dengan Ditjen Pajak. Untuk platform marketplace, sudah ada titik terang untuk menggunakan ambang batas omzet Rp300 juta. Pelapak di platform marketplace yang memiliki omzet Rp300 juta wajib menyampaikan NPWP.
Selain itu, ada pula topik mengenai kepatuhan pajak orang kaya. Apalagi, data per Januari 2019, setoran pajak penghasilan (PPh) wajib pajak orang pribadi nonkaryawan menunjukkan perlambatan dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Jika disamakan dengan marketplace dengan batasan omzet Rp300 juta, ada kecenderungan pelapak mengaku memiliki omzet di bawah batas. Hal ini tidak lain lagi untuk menghindari kewajiban ber-NPWP.
“Ketika itu terjadi maka semua akan pindah dari marketplace ke media sosial karena tidak diminta NPWP. Ini masih menjadi pembahasan alot dan kita ketemu rutin satu minggu sekali,” kata Untung.
Ditjen Pajak akan menganalisis sisi kepatuhan baik formal maupun materil pembayaran pajak orang kaya seiring dengan melambatnya kontribusi terhadap total penerimaan pajak. Selain itu, penghasilan orang kaya yang telah dipotong PPh final tetap harus dilaporkan dalam surat pemberitahuan (SPT) tahunan. Meskipun belum dijelaskan strategi apa yang akan ditempuh, Ditjen Pajak menyatakan analisis kepatuhan itu akan menelisik dari SPT yang dilaporkan.
Rasio keterperiksaan atau audit coverage ratio (ACR) terhadap perusahaan yang memiliki nomor induk kepabeanan (NIK) masih relatif kecil. Total perusahaan yang telah diaudit dari aspek kepatuhannya hanya 487 dari 70.792 perusahaan pemilik NIK per 19 Februari 2019. Artinya, rasio keterperiksaannya hanya 0,6%. Kepala Sub Direktorat Komunikasi dan Publikasi DJBC mengakui rasio tersebut masih sangat kecil, namun menurutnya angka itu tidak bisa digunakan sebagai rujukan untuk mengukur efektivitas kinerja audit di Bea Cukai.
Ditjen Pajak mencatat penerimaan pajak sepanjang Januari 2019 sebesar Rp86 triliun atau tumbuh 8,8% ketimbang 2018. Dari penerimaan ini, PPh Pasal 25 secara tahunan naik 57,12%. Perinciannya PPh badan Rp9,78 triliun atau naik 58,9% dari tahun lalu. PPh orang pribadi Rp340 miliar atau naik 19,3% ketimbang 2018. Pertumbuhan penerimaan PPh Pasal 25 pada Januari 2019 terbesar disumbang oleh sektor jasa keuangan yang naik 33% dari 2018 menjadi Rp10,02 triliun.(Amu)