RIYADH, DDTCNews – Pemerintah Arab Saudi telah menyetujui rezim pajak baru untuk produsen minyak dan gas alam di tengah-tengah rencana untuk mendaftarkan saham (Initial Public Offering/IPO) perusahaan minyak raksasa milik negara, Saudi Aramco.
Di bawah rezin baru ini, Pemerintah Arab Saudi memangkas tarif pajak perusahaan (PPh) badan Saudi Aramco hingga menjadi 50% dari tarif semula sebesar 85%. Pemangkasan tarif pajak ini dinilai sebagai bagaian dari persiapan untuk IPO tahun depan yang akan menjual saham sebanyak 5% dari perusahaan.
“Berdasarkan dekrit kerajaan yang dikeluarkan pada Senin (27/3), Saudi Aramco diperbolehkan membayar pajak hanya 50% dari keuntungannya yang berlaku surut mulai tanggal 1 Januari,” ungkap keterangan tertulis Badan Pers Saudi (SPA) itu.
Melalui dekrit tersebut, perusahaan dengan modal lebih dari SR375 miliar atau Rp1.332 triliun akan membayar PPh badan dengan tarif 50%.
Sementara itu, perusahaan dengan modal antara SR300 miliar-SR375 miliar dikenakan 65%, modal senilai SR225 miliar-SR300 miliar berlaku tarif 75%, dan modal kurang dari SR225 miliar akan dikenakan pajak 85%.
CEO Aramco Amin Nasser menyambut baik kebijakan baru di sektor perpajakan ini. Menurutnya, dengan penurunan tarif pajak ini, investor akan tertarik untuk membeli saham Saudi Aramco di masa depan. Nasser menambahkan besaran penurunan pajak ini juga dinilai akan menjadi lebih kompetitif secara internasional.
Nasser mengatakan perusahaan akan terus memberikan kontribusi penting untuk diversifikasi dan pertumbuhan ekonomi Arab Saudi agar sejalan dengan Visi pada tahun 2030.
“Pemerintah Arab Saudi telah didesak oleh banyak pihak, termasuk International Monetary Fund (IMF) untuk mereformasi sistem fiskalnya agar sejalan dengan praktik internasional. Reformasi fiskal juga dapat menarik minat investor swasta, tidak hanya pada Saudi Aramco atau sektor hidrokarbon, namun juga ke sektor yang lebih luas,” ujar Nasser.
Menteri Energi dan Ketua Aramco Khalid Al-Falih mengatakan pemerintah Saudi selama ini menggantungkan 60% pendapatannya dari sektor minyak. Perubahan pajak ini akan mempengaruhi pendapatan negara yang tengah berjuang menutup defisit US$79 miliar atau setara Rp1.052 triliun pada tahun lalu, akibat penurunan harga minyak.
“Negeri Petrodolar tersebut memperkirakan akan dapat meraup dana lebih dari US$2 triliun atau sekitar Rp26,6 triliun atas perubahan kebijakan ini,” pungkasnya seperti dilansir dalam Arab News.
Sebagai informasi, berkaitan dengan isu pajak minyak dan gas tersebut, DDTC Academy akan menyelenggarakan seminar dengan tema Recent Developmeny and Emerging Issues of Oil and Gas Taxation pada Kamis, 13 April 2017. Seminar ini akan mengulas lebih lanjut perlakuan pajak untuk transaksi dalam industri minyak dan gas, serta implikasinya terhadap pajak lintas batas. (Amu)