JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) menghadapi sejumlah tantangan dalam mengelola dan mengawasi wajib pajak di sektor pertambangan mineral dan batu bara (minerba).
Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Pajak DJP Ihsan Priyawibawa menyebut salah satu tantangan yang dihadapi otoritas ialah maraknya aktivitas pertambangan ilegal. Praktik ini memicu shadow economy atau aktivitas ekonomi tidak tercatat, sehingga menghambat optimalisasi penerimaan pajak dari sektor minerba.
"Tentunya kita ingin salah satunya memerangi shadows economy, kita bekerja sama juga dengan para penegak hukum untuk memastikan [tambang]yang ilegal-ilegal tadi bisa tersinari, jelas, sehingga kita bisa harapkan kontribusinya juga dari mereka," ujarnya, dikutip pada Minggu (14/12/2025).
Ihsan menjelaskan usaha tambang ilegal yang berada di lokasi terpencil kerap kali membatasi pengawasan sehingga dapat memicu aktivitas ekonomi tidak tercatat. Contohnya, praktik manipulasi laporan usaha, serta menghindari sistem perpajakan.
"Berkaitan dengan pertambangan ilegal, namanya juga ilegal, shadows ya, pasti tidak akan masuk dalam sistem perpajakan kita. Bahkan yang sudah masuk ke dalam sistem kita saja, yang setor pajak itu juga tidak terlalu banyak," tuturnya.
Selain pertambangan ilegal, DJP juga menghadapi tantangan lain dalam mengelola dan mengawasi wajib pajak sektor minerba. Tantangan yang dimaksud adalah risiko bawaan wajib pajak skala besar, seperti struktur grup usaha yang kompleks dan transaksi afiliasi yang tinggi.
Kemudian, ada pula risiko wajib pajak menggeser laba melalui skema transfer pricing sehingga mengikis basis pajak.
"Perusahaan sering kali butuh bantuan dari usaha-usaha lain yang sifatnya bisa relative parties atau tidak. Kalau bicara relative parties, pasti ada risiko yang berkaitan dengan transfer pricing dan sebagainya, bisa over-invoicing atau under-invoicing, dan juga transaksinya mungkin bisa banyak layer," tutur Ihsan.
Di samping itu, DJP juga menghadapi tantangan inkonsistensi data antar instansi yang tersebar, sehingga berpotensi menciptakan kesulitan dalam membangun profil risiko. Hal ini dapat memengaruhi kegiatan pengawasan dan analisis yang dilakukan otoritas.
"Salah satu tantangan kita juga berkaitan dengan data dan informasi. Kita harus barengan [kolaborasi lintas instansi], karena tujuannya kan satu, bagaimana memanfaatkannya untuk kesejahteraan masyarakat kita," kata Ihsan. (rig)
