AMERIKA SERIKAT

AS Selidiki Skema Pajak Digital di 10 Yurisdiksi, Termasuk Indonesia

Dian Kurniati
Rabu, 03 Juni 2020 | 10.29 WIB
AS Selidiki Skema Pajak Digital di 10 Yurisdiksi, Termasuk Indonesia

Warga mengakses layanan film daring melalui gawai di Jakarta, Sabtu (16/5/2020). Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan melakukan pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen bagi produk digital impor dalam bentuk barang tidak berwujud maupun jasa (streaming music, streaming film, aplikasi, games digital dan jasa daring dari luar negeri) oleh konsumen di dalam negeri mulai 1 Juli 2020. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/hp.

WASHINGTON, DDTCNews—Pemerintah Amerika Serikat (AS) memulai investigasi terhadap skema pajak digital yang telah berlaku atau diwacanakan oleh 10 yurisdiksi di dunia.

Yurisdiksi yang akan diinvestigasi oleh AS tersebut antara lain Austria, Brasil, Republik Ceko, Uni Eropa, Indonesia, India, Italia, Turki, Spanyol, dan Inggris.

Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer mengatakan investigasi itu untuk membuktikan dugaan skema pajak digital sebagai bentuk ketidakadilan pada perusahaan raksasa teknologi, yang kebanyakan berada di AS.

“Presiden Trump khawatir akan banyak mitra dagang kami mengadopsi skema pajak yang dirancang untuk menargetkan perusahaan kami secara tidak adil,” katanya, dikutip Rabu (3/6/2020).

Lighthizer menambahkan bahwa pemerintah AS berkomitmen melakukan segala upaya untuk melindungi pelaku bisnis dan pekerja dari berbagai bentuk diskriminasi di sektor perpajakan, termasuk pajak digital.

Penyelidikan, lanjutnya, perlu segera dilakukan karena semakin banyak negara yang mulai mempertimbangkan pengenaan pajak baru untuk layanan online dengan alasan perusahaan teknologi membayar pajak terlalu sedikit.

Menurut Lighthizer, investigasi ini hanyalah langkah awal AS, yang nantinya bisa mengarah pada pengenaan tarif impor atau pembalasan perdagangan lainnya. Untuk diketahui, AS saat ini menjadi markas raksasa teknologi dunia seperti Google, Amazon, dan Facebook.

Sementara itu, Departemen Keuangan Inggris berkeyakinan bahwa skema pajak digital tidak melanggar "kewajiban internasional". Inggris telah memberlakukan pajak 2% atas penjualan digital mulai April lalu.

“Kami akan memastikan bisnis digital membayar pajak di Inggris karena mereka memperoleh profit dari konsumen Inggris dan ini kompatibel dengan kewajiban internasional Inggris,” tutur seorang juru bicara dilansir dari BBC.

AS telah meminta tanggapan dari para yurisdiksi tentang skema pajak digital tersebut, dan harus diserahkan paling lambat 15 Juli 2020.

Bukan kali ini saja, AS melayangkan ancaman kepada negara lain perihal pajak digital. Pada beberapa bulan yang lalu, AS sempat mengancam melakukan retaliasi saat Prancis berencana mengenakan pajak penjualan digital dengan tarif 3%.

AS merespons wacana itu dengan mengancam pengenaan tarif barang-barang impor asal Prancis senilai US$2,4 miliar, termasuk keju dan anggur. Perancis pun setuju untuk menunda pemungutan pajak digital sampai akhir 2020. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.