TRANSFER PRICING

Begini Update Kasus Transfer Pricing Coca-Cola

Redaksi DDTCNews
Selasa, 07 Mei 2019 | 11.45 WIB
Begini Update Kasus Transfer Pricing Coca-Cola

Ilustrasi. 

JAKARTA, DDTCNews – Perseteruan antara perusahaan minuman bersoda the Coca-Cola Co. dengan otoritas pajak Amerika Serikat (AS) Internal Revenue Service (IRS) belum menemui titik temu hingga saat ini.

Sudah hampir setahun berlalu sejak dilakukan sidang pengadilan oleh Pengadilan Pajak AS di Washington D.C sepanjang Maret hingga Mei 2018, validitas metode kesebandingan laba untuk menguji kewajaran harga yang digunakan oleh IRS masih terus menjadi perdebatan.

Kasus ini bermula dari adanya surat pemberitahuan kurang bayar pada September 2015 sebesar US$3,3 miliar untuk periode 2007 hingga 2009, sebelum akhirnya berujung ke Pengadilan Pajak AS.

Dalam sidang terakhir kasus bernomor Coca-Cola Co. v. Commissioner, T.C., No. 31183-15, IRS berpendapat pajak terutang Coca Cola seharusnya senilai US$9,4 miliar dalam kurun waktu tiga tahun tersebut. Pada 10 April 2019 lalu, IRS akhirnya menyampaikan balasan singkat berupa ikhtisar kepada Pengadilan Pajak.

Berdasarkan dokumen tersebut, anak perusahaan yang berlokasi di luar negeri dan mendapatkan lisensi merek dagang, formula, dan barang tak berwujud lainnya dari perusahaan induk - yang kemudian disebut sebagai supply point - dinilai hanya berhak mendapatkan tingkat laba senilai aktivitas bisnis yang bersifat rutin.

Analisis IRS didasarkan pada penggunaan metode Critical Path Method (CPM) berdasarkan ketentuan yang tertera di Section 482 (T.D. 8552) dalam US Code. Balasan tersebut merupakan jawaban atas ikhtisar yang dikirimkan perusahaan per 15 Maret 2019.

Menurut Coca-Cola, metode tersebut tidak secara tepat mengalokasikan semua tingkat pengembalian dari aset tidak berwujud  supply point tersebut ke perusahaan induk yang merupakan Wajib Pajak AS. Sebaliknya, IRS menolak interpretasi Coca Cola dan menyatakan bahwa CPM memberikan tingkat pengembalian  yang konsisten dengan fungsi, aset, dan risiko untuk supply point yang hanya menjalankan aktivitas bisnis rutin perusahaan. 

“Argumen Coca-Cola bertumpu pada premis yang salah. Hal ini disebabkan oleh atribusi Coca-Cola Co. sebagai pemilik sah dari sebagian besar merek dagang yang lisensinya digunakan oleh supply point yang menganggap bahwa pengalokasian laba dilakukan dasarkan tingkat pengembalian aset tidak berwujud yang dilisensikan,” demikian informasi yang dikutip dari laporan IRS tersebut.

Dengan demikian, IRS menganggap supply point tersebut hanya menjalankan aktivitas pembotolan dan bukan pemilik aset tak berwujud. Dengan demikian, mereka tidak berhak untuk memperoleh keuntungan signifikan dari aset tersebut.

IRS pun menyalahkan metode yang digunakan oleh saksi ahli Coca-Cola yang tidak mampu menjelaskan nilai produk perusahaan tersebut berdasarkan aspek pemasaran perusahaan, terutama menyangkut peran perusahaan dalam melakukan kampanye dan aktivitas sponsor secara global dan formula bisnis lainnya.

Di sisi lain, ada satu dugaan kekurangan dalam analisis IRS yang menggunakan pendekatan tingkat harga kewajaran atas laba dari perusahaan pembotolan independen lainnya. Hal ini dikarenakan rasio yang terlalu tinggi dan tidak wajar antara aset tidak berwujud dengan aset operasional berwujud dari supply point Coca-Cola tersebut dibandingkan pembanding independennya.

“Padahal, berdasarkan ketentuan yang diacu oleh IRS, yakni Section 482, tingkat pengembalian atas modal sebagai indikator tingkat laba wajar antara perusahaan yang diuji dengan pihak independen seharusnya nilainya hampir sama,” demikian informasi yang dilansir Tax Notes International Vol. 94 No. 4. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
user-comment-photo-profile
Siti Nurazizah
baru saja
apakah sudah ada kelanjutan untuk kasus Coca-Cola ini ka??