Ilustrasi.
MALANG, DDTCNews – Pemerintah Kota (Pemkot) Malang, Jawa Timur, menyoroti potensi hilangnya penerimaan pajak dari sektor usaha kos-kosan seiring dengan berlakunya Undang-Undang No.1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).
Kepala Dinas Tenaga Kerja Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (Disnaker-PMPTSP) Kota Malang Arif Tri Sastyawan menyebut UU HKPD telah menghapus usaha kos-kosan dengan lebih dari 10 kamar dari objek pajak daerah. Hal itu pada akhirnya berdampak terhadap kinerja pendapatan asli daerah (PAD).
“Pajak kos-kosan itu sudah tidak ada di perda kita. Artinya, walaupun seseorang punya kos-kosan dengan 40, 100, bahkan 200 kamar, tidak ada kewajiban pajak selain pajak bumi dan vangunan (PBB),” kata Arif, dikutip pada Rabu (11/6/2025).
Sebelum berlakunya UU HKPD, sambung Arif, bangunan kos-kosan dengan lebih dari 10 kamar dikenai pajak hotel. Namun, UU HKPD menghapus rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 pintu dari objek pajak hotel. Untuk itu, Pemkot Malang pun menghapus usaha kos-kosan dari objek pajak dalam peraturan daerahnya.
“Cantolan hukumnya di pusat tidak ada sehingga di perda kita juga tidak bisa dimasukkan,” ucapnya.
Padahal, Arif menilai sektor usaha kos-kosan tetap memiliki potensi penerimaan yang besar. Hal ini sejalan dengan meningkatnya pembangunan kos-kosan di Kota Malang yang dilengkapi fasilitas modern, layaknya hotel.
“Banyak kos-kosan sekarang yang berfasilitas lengkap. Ada AC, kamar mandi dalam, bahkan TV. Tapi, mereka tidak ada kewajiban pajak. Padahal, jumlah kamarnya bisa puluhan,” ungkapnya.
Arif menambahkan karakteristik Kota Malang sebagai kota pendidikan memperkuat urgensi pengelolaan sektor usaha kos-kosan. Sebab, jumlah mahasiswa di Kota Malang hampir setara dengan jumlah penduduknya, yakni sekitar 800.000 jiwa.
Menurut Arif, mayoritas mahasiswa berasal dari luar daerah sehingga sangat bergantung pada kos-kosan.Untuk itu, ia berharap pemerintah bisa mengkaji kembali penghapusan rumah kos dari objek pajak daerah.
“Kami sudah sampaikan ini ke DPRD. Kota Malang ini kecenderungannya kos-kosan sangat banyak. Harapannya bisa dikaji ulang di tingkat pusat karena potensi ini sangat besar,” katanya.
Arif mengungkapkan isu serupa juga menjadi pembahasan dalam forum Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) di Surabaya beberapa waktu lalu. Menurutnya, penghapusan usaha kos-kosan sebagai objek pajak lebih berdampak pada kota-kota pendidikan seperti Malang dan Yogyakarta.
Sementara itu, Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Malang Handi Priyanto membenarkan hilangnya potensi penerimaan pajak dari usaha kos-kosan. Ia menyebut dulu usaha kos-kosan bisa menyumbang penerimaan hingga sekitar Rp8 miliar.
“Kurang lebih Rp 8 miliar. Dulu kalau kos-kosan di atas 10 kamar masuk kategori pajak hotel,” ungkap Handi dilansir momentum.com
Sebagai informasi, sebelum berlakunya UU HKPD, rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 dari termasuk dalam definisi hotel sehingga turut dikenakan pajak hotel. Namun, UU HKPD mengganti nomenklatur pajak hotel menjadi pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) atas jasa perhotelan.
Selain itu, UU HKPD tidak lagi menyebut istilah rumah kos dalam pengertian jasa perhotelan. Namun, UU HKPD, menyebut frasa ‘tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel’ sebagai salah satu objek yang dikenakan PBJT jasa perhotelan.
Berdasarkan penjelasan PAsal 53 ayat (1) huruf j UU HKPD, “tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel” adalah rumah, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka panjang (lebih dari 1 bulan). (dik)