Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Berdasarkan pada beberapa kondisi, Ditjen Pajak (DJP) dapat menyatakan Surat Pemberitahuan (SPT) yang telah dilaporkan wajib pajak tidak lengkap. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan
Sesuai dengan ketentuan dalam PER-02/PJ/2019, jika Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang tertera pada SPT dinyatakan tidak valid, atas SPT dilakukan penelitian. Adapun penelitian itu dilakukan untuk memastikan beberapa aspek, salah satunya kelengkapan SPT.
“Penelitian SPT … dilakukan untuk memastikan … SPT diisi dengan lengkap dan sepenuhnya dilampiri keterangan dan/atau dokumen yang dipersyaratkan,” bunyi penggalan Pasal 12 ayat (1) huruf c PER-02/PJ/2019.
Ada beberapa kondisi yang dapat membuat SPT dinyatakan tidak lengkap. Beberapa di antaranya terkait dengan ketidaklengkapan pengisian elemen SPT induk, lampiran, dan dokumen. Simak selengkapnya pada artikel ‘Awas, SPT Dinyatakan Tidak Lengkap Jika Ini Terjadi’.
Selain mengenai pelaporan SPT, ada pula bahasan terkait dengan ketentuan omzet tidak kena pajak untuk wajib pajak orang pribadi UMKM. Ada pula bahasan tentang proyeksi kinerja penerimaan pajak pada tahun ini.
Sesuai dengan ketentuan PER-02/PJ/2019, kantor pelayanan pajak (KPP) dapat menerbitkan Surat Pemberitahuan SPT Dianggap Tidak Disampaikan.
Jika surat pemberitahuan itu telah dikirimkan sesuai dengan alamat wajib pajak pada sistem informasi DJP tetapi tidak sampai kepada wajib pajak dan diterima kembali oleh KPP, KPP mengumumkan surat tersebut di tempat pelayanan terpadu (TPT) KPP.
Sesuai dengan ketentuan pada pasal 23 ayat (1) PER-02/PJ/2019, ada beberapa kondisi pada kemudian hari yang membuat KPP dapat menerbitkan Surat Pemberitahuan SPT Dianggap Tidak Disampaikan. Simak perinciannya pada artikel ‘KPP Bisa Terbitkan Surat Pemberitahuan SPT Dianggap Tidak Disampaikan’. (DDTCNews)
DJP menyarankan wajib pajak orang pribadi UMKM yang kebingungan mengenai perubahan ketentuan pajak penghasilan (PPh) dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) untuk berkonsultasi kepada kantor pelayanan pajak (KPP) terdaftar.
Contact Center DJP, Kring Pajak, melalui Twitter mengatakan UU HPP telah mengatur batas peredaran bruto atau omzet tidak kena pajak hingga Rp500 juta pada wajib pajak orang pribadi UMKM mulai tahun pajak 2022. Namun, pemerintah belum menerbitkan ketentuan teknis untuk melaksanakannya.
"Karena belum ada aturan turunannya, Kakak dapat melakukan konsultasi terlebih dahulu ke KPP terdaftar," bunyi cuitan akun @kring_pajak saat merespons pertanyaan warganet. Simak pula ‘Kena Potong Pajak 0,5 Persen, DJP: WP OP UMKM Bisa Ajukan Restitusi’. (DDTCNews)
Partner DDTC Fiscal Research & Advisory B. Bawono Kristiaji mengatakan kondisi perekonomian di tengah pemulihan akibat pandemi masih akan memengaruhi prospek penerimaan pajak pada tahun ini. Faktor dari sisi domestik, khususnya terkait dengan konsumsi, akan lebih berpengaruh.
“Dengan melihat pola ketika terjadi lonjakan kasus di 2020 dan 2021, kita melihat tekanannya bagi penerimaan pajak. Dalam hal ini, konsumsi dan demand sabagai imbas dari pembatasan sosial akan melemah,” ujar Bawono.
Kondisi tersebut akan berpengaruh pada penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penghasilan (PPh) di sektor perdagangan besar, serta PPh di industri manufaktur. Namun, ada 2 kebijakan andalan pemerintah, yakni pemberian insentif dan implementasi UU HPP.
DDTC Fiscal Research & Advisory memproyeksi realisasi penerimaan pajak tahun ini akan melebihi target dalam APBN senilai Rp1.265 triliun. Penerimaan pajak diproyeksi berada pada kisaran Rp1.298 triliun hingga Rp1.359 triliun. (Kontan)
Aturan teknis mengenai natura atau penghasilan selain uang yang menjadi amanat UU HPP belum diterbitkan pemerintah. Oleh karena itu, Ketua Komite Perpajakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Siddhi Widyaprathama mengatakan wajib pajak badan masih mengacu pada ketentuan lama dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya untuk sementara waktu.
"Sementara ini kami masih berpegang pada ketentuan sebelumnya. Nanti kalau sudah ada peraturan baru, akan disesuaikan," ujar Siddhi. (DDTCNews)
Pasal 4 ayat (4) PMK 6/2022 menyebut PPN rumah ditanggung pemerintah (DTP) dapat diberikan dalam hal uang muka atau cicilan rumah tapak atau rumah susun telah dibayar kepada pengusaha kena pajak (PKP) penjual sebelum berlakunya PMK 6/2022.
"Dapat diberikan PPN ditanggung pemerintah dengan ketentuan dimulainya pembayaran uang muka atau cicilan pertama kali kepada pengusaha kena pajak penjual paling lambat 1 Januari 2021," bunyi Pasal 4 ayat (4) PMK 6/2022. (DDTCNews)
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan kehadiran berbagai model transaksi ekonomi digital perlu direspons dengan regulasi baru. Namun, pembuatan regulasi tidak bisa secepat kemunculan model-model baru dalam bisnis berbasis digital.
Saat ini, lanjut Yon, pemerintah baru menerapkan ketentuan PPN dalam perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE). Sementara itu, PPh atau pajak transaksi elektronik (PTE) harus menunggu konsensus global. Dalam perkembangannya, cryptocurrency dan non-fungible token (NFT) juga perlu diatur.
"Nanti kita keluar [regulasi] NFT dan metaverse. Kita enggak tahu akan keluar lagi model-model bisnis baru yang tentu membutuhkan regulasi yang baru lagi," ujarnya. Simak Fokus ‘Menanti Racikan Pajak Aset Kripto’. (DDTCNews) (kaw)