KAMUS PAJAK

Apa Itu KIHT?

Nora Galuh Candra Asmarani
Senin, 20 Juli 2020 | 18.03 WIB
Apa Itu KIHT?

PADA 13 Juli 2020 pemerintah telah memberikan izin pengelolaan kawasan industri hasil tembakau (KIHT) terpadu kepada Perusahaan Daerah (Perusda) Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan. Pembentukan dan pemberian izin KIHT tersebut menjadi yang perdana di Indonesia.

Tidak hanya di Kabupaten Soppeng, Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) telah berkomitmen membentuk KIHT lain di berbagai daerah. Kepala Subdirektorat Komunikasi dan Publikasi DJBC Deni Surjantoro mengatakan DJBC akan segera menyerahkan izin pengelolaan KIHT setelah persiapannya selesai.

Pembentukan KIHT juga mendapatkan dukungan dari Anggota Komisi XI DPR RI Musthofa. Mantan Bupati Kudus ini menyampaikan dukungannya kepada Menteri Keuangan. Selain itu, ia juga berharap pemerintah daerah yang menjadi sentra tembakau agar mendukung penuh pendirian KIHT.

Lantas, sebenarnya apakah yang dimaksud dengan KIHT?

Definisi
KETENTUAN mengenai KIHT tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 21/PMK.04/2020. Berdasarkan beleid tersebut kawasan industri hasil tembakau (KIHT) adalah kawasan yang dijadikan sebagai tempat pemusatan kegiatan industri hasil tembakau.

Sebagai kawasan pemusatan kegiatan industri, KIHT dilengkapi prasarana, sarana serta fasilitas penunjang industri hasil tembakau. KIHT disediakan, dikembangkan, dan dikelola, oleh pengusaha kawasan industri hasil tembakau atau disebut juga dengan pengusaha kawasan.

Pengusaha kawasan merupakan badan usaha berbentuk badan hukum Indonesia yang mengusahakan KIHT.  Merujuk Pasal 2 ayat (1) PMK 21/2020, pembentukan KIHT ditujukan untuk meningkatkan pengawasan dan pelayanan di bidang cukai serta perekonomian daerah.

KIHT sendiri diperuntukan bagi pengusaha pabrik dengan skala industri kecil dan menengah. Pengertian industri kecil dan menengah dalam beleid ini merujuk pada ketentuan yang diterbitkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian.

Adapun ketentuan klasifikasi industri kecil dan menengah tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian No.64/2016. Berdasarkan permenperin ini klasifikasi industri kecil menengah disusun berdasarkan nilai investasi dan jumlah tenaga kerja.

Secara lebih terperinci, Permenperin No.64/2016 menjabarkan industri kecil adalah industri dengan nilai investasi di bawah Rp1 miliar (tidak termasuk tanah dan bangunan) dan jumlah  tenaga kerja paling banyak 19 orang.

Sementara itu, industri menengah adalah industri dengan nilai investasi minimal Rp1 miliar dan jumlah tenaga kerja paling banyak 19 orang atau industri dengan nilai investasi maksimal Rp15 miliar dan jumlah tenaga kerja minimal 20 orang.

Hal ini berarti klasifikasi IKM dalam ketentuan KIHT berbeda dengan kriteria UMKM dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.23/2018, pengusaha kecil dalam pajak pertambahan nilai (PPN), maupun kriteria UMKM yang disusun berdasarkan aset dan omzet dalam Undang-Undang No.20/2008.

Adapun guna mendapatkan izin KIHT, calon pengusaha kawasan harus mengajukan permohonan untuk mendapatkan izin dan surat pernyataan bermaterai yang menyatakan kesanggupannya untuk memenuhi semua kewajiban sebagai pengusaha kawasan.

Permohonan dan surat pernyataan itu disampaikan secara elektronik melalui sistem aplikasi di bidang cukai atau secara tertulis. Jika permohonan dan surat pernyataan telah diterima lengkap, kepala kantor wilayah atau kantor pelayanan utama akan melakukan pemeriksaan dokumen dan lokasi.

Tujuan KIHT
SELAIN untuk meningkatkan pelayanan, pembinaan industri, dan pengawasan terhadap produksi dan peredaran hasil tembakau, pembentukan KIHT juga ditujukan untuk lebih mendukung, mengembangkan dan meningkatkan, daya saing industri kecil dan menengah pada sektor hasil tembakau.

Tidak hanya itu, pembentukan KIHT juga dimaksudkan untuk mendukung pelaksanaan Peraturan Presiden No.91/2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Berusaha yang dilakukan dengan memberikan kemudahan berusaha pada kawasan industri tembakau.

Di sisi lain, Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai DJBC Nirwala Dwi Heryanto mengungkapkan KIHT diperlukan untuk mencegah peredaran rokok ilegal di suatu wilayah. Sementara itu, Deni mengatakan KIHT akan menjadi area produksi bagi produsen rokok berskala kecil secara legal.

Deni menambahkan DJBC akan bertindak sebagai fasilitator dan pembina para produsen rokok yang beroperasi di KIHT. Sementara itu, pengelola KIHT akan menyediakan jasa cacah tembakau atau linting rokok untuk para pelaku usaha kecil di KIHT yang tidak memiliki mesin.

Fasilitas di KIHT
GUNA merealisasikan tujuan pembentukan KIHT, pengusaha pabrik yang bergabung dalam KIHT diberikan 3 kemudahan. Pertama, kemudahan perizinan berusaha berupa pengecualian dari ketentuan memiliki luas paling sedikit 200 meter persegi untuk lokasi, bangunan, atau tempat usaha.

Adapun ketentuan luas bangunan tersebut merupakan salah satu syarat fisik yang harus dipenuhi untuk mendapatkan nomor pokok pengusaha barang kena cukai (NPPBKC).  Persyaratan untuk mendapatkan NPPBKC yang lebih terperinci diatur dalam PMK No.66/2018

NPPBKC sendiri merupakan izin untuk menjalankan kegiatan sebagai pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, penyalur, atau pengusaha tempat penjualan eceran di bidang cukai.

Kedua, kemudahan kegiatan berusaha berupa kerja sama untuk menghasilkan barang kena cukai berupa hasil tembakau dalam bentuk batangan. Kerja sama ini dilakukan oleh pengusaha pabrik yang berada di dalam satu KIHT yang sama dan dijalankan berdasarkan perjanjian kerja sama.

Ketiga, penundaan pembayaran cukai. Penundaan ini diberikan dengan menggunakan jaminan bank. Jangka waktu penundaan diberikan selama 90 hari terhitung sejak tanggal dokumen pemesanan pita cukai. (Bsi)

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
user-comment-photo-profile
Ali Zeindra
baru saja
#MariBicara alangkah baiknya jika pembatasan, ruang lingkup maupun definisi mengenai pengusaha kecil, menengah atau UMKM di bidang perindustrian, perpajakan (PPh dan PPN) serta cukai memiliki indikator yang sama. Baik itu secara omset, jumlah asset, dan jumlah pekerja. Sehingga hal ini mempermudah Pemerintah dalam melakukan pengawasan dan evaluasi serta dalam memberikan formulasi dalam rangka meningkatkan ekonomi negara secara berkelanjutan. #MariBicara Di Indonesia ini sudah terlalu banyak nomor-nomor identitas yang digunakan oleh masyarakat. Mulai dari nomor KTP, SIM, NPWP, BPJS Kesehatan dan nomor-nomor lainnya. Diharapkan saat infrastrukturnya sudah siap, masyarakat Indonesia bisa menerapkan Single Identity Number atau SIN.