BERITA PAJAK SEPEKAN

PPh 23 Royalti Resmi Turun, Harta PPS Perlu Dilabeli Keterangan Khusus

Redaksi DDTCNews
Sabtu, 25 Maret 2023 | 09.15 WIB
PPh 23 Royalti Resmi Turun, Harta PPS Perlu Dilabeli Keterangan Khusus

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) resmi menurunkan tarif PPh Pasal 23 atas royalti. Ketentuan ini berlaku bagi wajib pajak orang pribadi dalam negeri yang menghitung penghasilan netonya menggunakan norma penghitungan penghasilan neto (NPPN). 

Topik tersebut menjadi salah satu yang terhangat diperbincangkan publik dalam sepekan terakhir. 

Merujuk pada Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-1/PJ/2023, tarif PPh Pasal 23 bagi wajib pajak orang pribadi dalam negeri yang menggunakan NPPN adalah sebesar 15% dari 40% nilai royalti. Dengan demikian, tarif efektif PPh Pasal 23 atas royalti menjadi sebesar 6%.

"Jumlah bruto ... bagi wajib pajak orang pribadi dalam negeri yang menerapkan penghitungan PPh menggunakan NPPN yaitu sebesar 40% dari jumlah penghasilan royalti," bunyi Pasal 2 ayat (3) PER-1/PJ/2023.

Agar pemotong pajak melakukan pemotongan PPh Pasal 23 atas royalti sebesar 6%, wajib pajak orang pribadi harus menyampaikan bukti penerimaan surat (BPS) pemberitahuan penggunaan NPPN kepada pemotong.

Penghasilan royalti yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri harus dilaporkan dalam SPT Tahunan pada bagian penghasilan neto dalam negeri dari pekerjaan bebas.

"Jumlah PPh Pasal 23 yang dipotong ... merupakan kredit pajak dalam SPT Tahunan wajib pajak orang pribadi dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3)," bunyi Pasal 4 ayat (2) PER-1/PJ/2023.

Lantas apa kewajiban yang perlu dijalankan pemotong PPh pasal 23? Simak artikel lengkapnya, 'Resmi Berlaku! PPh 23 Royalti Turun Jadi 6% bagi WP OP yang Pakai NPPN'.

Selanjutnya, topik yang juga menyedot perhatian netizen adalah ketentuan soal pelaporan harta yang diikutkan dalam Program Pengungkapan Sukarela (PPS) dalam SPT Tahunan.

DJP mengimbau kepada wajib pajak peserta PPS untuk memberikan keterangan khusus atas harta yang diikutkan PPS ketika melaporkan SPT Tahunan.

DJP menyebut pemberian keterangan khusus atas harta PPS diperlukan untuk mempermudah kantor pelayanan pajak (KPP) melakukan penelitian.

"Tidak ada ketentuan yang mengatur lebih detail terkait pengisian kolom keterangan pada kolom harta yang sudah mengikuti PPS, namun hal tersebut perlu dilakukan untuk kemudahan administrasi dan penelitian data oleh pihak KPP," tulis @kring_pajak.

Adapun nilai harta PPS yang dilaporkan dalam SPT Tahunan adalah sesuai dengan nilai yang tertera dalam surat keterangan PPS yang diterima oleh wajib pajak pada tahun lalu.

Bila harta PPS telah digunakan untuk memperoleh harta lain, wajib pajak diimbau untuk melaporkannya di SPT Tahunan serta memberikan keterangan khusus. Baca 'Permudah Penelitian, Harta PPS Perlu Diberi Keterangan Khusus di SPT'.

Selain kedua topik di atas, masih ada pembahasan tentang mekanisme penagihan utang oleh KPP, perubahan nama KIHT, hingga perubahan jam pelayanan kantor pajak selama Ramadan ini. Berikut ini adalah ulasan lengkapnya. 

1. DJP: Tidak Ada Mekanisme Penagihan Utang Pajak Lewat Telepon KPP

DJP menegaskan tidak ada mekanisme penagihan utang pajak melalui telepon dari KPP.

Contact center DJP mengatakan jika mendapatkan telepon dari kantor pelayanan pajak (KPP) yang berisi pengingat terkait dengan utang pajak, wajib pajak dapat melakukan konfirmasi. Konfirmasi dilakukan melalui kontak KPP terkait yang dapat dilihat pada http://pajak.go.id/id/unit-kerja.

“Untuk mekanisme penagihan melalui telepon dari KPP tidak ada ya. Apabila memang mendapatkan telepon dari KPP untuk mengingatkan terkait utang pajak silakan dikonfirmasi ke KPP terkait,” cuit Kring Pajak melalui Twitter.

2. Pemerintah Ubah Penamaan KIHT Jadi 'Aglomerasi Pabrik Hasil Tembakau'

Pemerintah kini mengubah nama kawasan industri hasil tembakau (KIHT) menjadi aglomerasi pabrik hasil tembakau.

Melalui PMK 22/2023, pemerintah resmi mengatur pembentukan aglomerasi pabrik hasil tembakau. Beleid itu dirilis untuk mencabut PMK 21/2020 mengenai KIHT agar produksi hasil tembakau pada skala industri kecil dan menengah (IKM) serta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) lebih berdaya saing.

"Untuk lebih meningkatkan daya saing, pembinaan, pelayanan, dan pengawasan serta memberikan kemudahan berusaha bagi pengusaha pabrik hasil tembakau pada skala IKM dan UMKM, perlu dilakukan pengumpulan atau pemusatan pabrik hasil tembakau," bunyi salah satu pertimbangan PMK 22/2023.

3. Terima Dividen di 2021-2022? Laporan Realisasi Investasi Harus Dipisah

DJP mengimbau kepada wajib pajak penerima dividen untuk membuat laporan realisasi investasi secara terpisah bila dividen yang dimaksud diperoleh pada tahun pajak yang berbeda.

Sebagai contoh, bila wajib pajak menerima dividen pada 2021 dan 2022 serta menginvestasikannya sesuai dengan PMK 18/2021, wajib pajak perlu membuat laporan realisasi investasi masing-masing atas dividen tahun pajak 2021 dan tahun pajak 2022.

"Jika dividen tersebut diperoleh pada tahun pajak yang berbeda, laporan realisasinya silakan dibuat terpisah. Untuk dividen yang diterima pada 2021 merupakan pelaporan kedua, sedangkan untuk dividen yang diterima tahun 2022 merupakan pelaporan pertama," tulis @kring_pajak menjawab pertanyaan wajib pajak.

4. Negara Raup Rp1,69 Triliun dari Kegiatan Penegakan Hukum DJP

Nilai kerugian pada pendapatan negara yang berhasil dipulihkan Ditjen Pajak (DJP) melalui kegiatan penegakan hukum mencapai Rp1,69 triliun sepanjang tahun lalu.

Kegiatan penegakan hukum yang dimaksud antara lain pemeriksaan bukti permulaan (bukper), penyidikan, forensik digital terhadap tindak pidana perpajakan, dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan pidana asal perpajakan.

"DJP akan terus berupaya semaksimal mungkin untuk menjalankan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang demi tegaknya hukum pidana pajak, terpulihkannya kerugian pendapatan negara, dan komitmen mendukung Indonesia menjadi anggota FATF," sebut DJP dalam keterangan resmi.

5. Jam Pelayanan Kantor Pajak Berubah selama Ramadan, Cek di Sini

DJP mengumumkan waktu pelayanan selama Ramadan bakal lebih pendek dari hari biasanya.

Melalui media sosial Twitter, DJP menyatakan waktu pelayanan selama Ramadan dimulai pada 08.00 sampai dengan 15.00 waktu setempat. Ketentuan soal waktu pelayanan tersebut berlaku di seluruh pelayanan di kantor pajak.

"Penyesuaian jam layanan ini berlaku di seluruh kantor pajak selama Ramadan," bunyi cuitan akun Twitter @DitjenPajakRI. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
Facebook DDTC
Twitter DDTC
Line DDTC
WhatsApp DDTC
LinkedIn DDTC
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.