Ilustrasi. (Foto: vajiramias.com)
MENTERI Keuangan merilis beleid yang menginstruksikan agar pemerintah daerah memanfaatkan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) untuk bidang kesehatan sebagai penyokong dana kegiatan pencegahan dan/atau penanganan virus Corona (COVID-19).
Instruksi pemanfaatan dana tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 19/PMK.07/2020. Adapun yang dimaksud dengan DBH CHT adalah bagian dari dana transfer ke daerah yang dibagikan kepada provinsi penghasil cukai dan/atau provinsi penghasil tembakau.
CHT sendiri merupakan cukai yang dikenakan pada hasil pengolahan tembakau, salah satunya rokok. Hal ini berarti rokok merupakan salah satu produk yang dikenakan cukai atau biasa disebut cukai rokok. Di sisi lain, rokok juga merupakan salah satu jenis dari pajak daerah.
Lantas, apa sebenarnya perbedaan dari cukai rokok dan pajak rokok?
Berdasarkan Undang-Undang (UU) No.11/1995 jo. UU No.39/2007, cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam UU Cukai. Simak karakteristik barang kena cukai pada kamus ’Apa itu Barang Kena Cukai’
Salah satu jenis barang yang memenuhi karakteristik tersebut adalah hasil tembakau. Cukai atas hasil tembakau dalam UU No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dinyatakan sebagai cukai rokok. Namun, UU No. 28/2009 tidak menjabarkan definisi dari cukai rokok.
Akan tetapi, apabila merujuk pada Pasal 1 dan Pasal 4 UU No. 11/1995 jo. UU No. 39/2007, cukai rokok dapat didefinisikan sebagai cukai yang dikenakan atas barang kena cukai berupa hasil tembakau yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil pengolahan tembakau lainnya.
Selanjutnya, berdasarkan pada Pasal 1 UU No. 28/2009, pajak rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh pemerintah pusat. Pajak rokok merupakan salah satu jenis pajak yang menjadi kewenangan Pemerintah Daearah tingkat I atau Pemerintah Provinsi.
Berdasarkan definisi yang dipaparkan dapat diketahui bahwa rokok dikenakan dua jenis pungutan, yaitu cukai dan pajak. Namun, bukan berarti rokok terkena pungutan berganda. Definisi dan lembaga pemungut atas cukai rokok dan pajak rokok berbeda.
Subjek/Wajib Cukai dan Subjek/Wajib Pajak
SUBJEK dan wajib cukai rokok tidak disebutkan secara gamblang dalam UU No. 11/1995 maupun perubahanya. Namun, berdasarkan Pasal 7 UU No 11/1995 dapat diketahui bahwa cukai harus dilunasi oleh pengusaha pabrik atau importir.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa cukai rokok memiliki subjek dan wajib cukai rokok yang sama yaitu pengusaha pabrik atau importir. Kendati demikian, pengusaha paabrik atau importir tersebut dapat mengalihkan beban tersebut kepada konsumen akhir atau pemikul pajak sebenarnya (Surono, 2011).
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 27 UU Nomor 28/2009, subjek pajak rokok adalah konsumen rokok. Adapun wajib pajak rokok adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai.
Dengan demikian, dari sisi subjek dan wajib cukai rokok dan pajak rokok terdapat sedikit perbedaan. Namun, pada hakikatnya kedua pungutan ini merupakan pungutan yang menyasar konsumen akhir sebagai pemikul beban yang sebenarnya.
Objek, Dasar Pengenaan, dan Tarif
OBJEK cukai rokok adalah hasil tembakau, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil pengolahan tembakau lainnya, dengan tidak mengindahkan digunakannya atau tidak bahan pengganti atau bahan pembantu dalam pembuatan. Sementara itu, objek pajak rokok adalah konsumsi rokok. Adapun yang dimaksud dengan rokok meliputi sigaret, cerutu, dan rokok daun.
Berdasarkan Pasal 1 PMK No.146/PMK.010/2017 jo. PMK No. 152/PMK.010/2019, yang menjadi dasar dalam perhitungan cukai adalah Harga Jual Eceran (HJE). Sementara itu, berdasarkan pada Pasal 28 UU Nomor 28/2009, dasar pengenaan pajak rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap rokok.
Terdapat dua jenis tarif cukai yang dikenakan pada rokok, yaitu tarif berupa jumlah dalam rupiah untuk setiap satuan batang atau gram hasil tembakau (spesifik) dan tarif berupa persentase dari harga dasar (ad valorem).
Secara lebih terperinci, berdasarkan Pasal 6 PMK No.146/PMK.010/2017, cukai hasil tembakau untuk produk konvensional yaitu rokok dikenakan tarif spesifik. Sementara itu, untuk Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) atau tembakau alternatif dikenakan cukai dengan tarif ad valorem.
Adapun tarif terbaru untuk produk rokok tercantum dalam lampiran III dan IV PMK No. 152/PMK.010/2019. Tarif ditetapkan berdasarkan pada jenis hasil tembakau, golongan pengusaha, dan Batasan HJE per batang atau gram, yang ditetapkan oleh menteri.
Sementara itu, tarif untuk HPTL tercantum dalam lampiran PMK No. 156/PMK. 010/2018. Besaran tarif ad valorem atas HPTL dalam PMK tersebut ditetapkan sebesar 57% dari HJE yang merupakan tarif maksimal berdasarkan UU No. 39 Tahun 2007. Anda juga dapat menyimak analisis tentang kebijakan cukai atas HPTL pada artikel ‘Meninjau Desain Cukai atas Produk Tembakau Alternatif’.
Lantas, bagaimana dengan tarif pajak rokok? Berdasarkan UU No. 28/2009, tarif pajak rokok ditetapkan sebesar 10% dari cukai rokok.
Contoh Perhitungan
TERDAPAT sebungkus rokok jenis SKM (Sigaret Kretek Mesin) golongan 1 yang berisi 16 batang. Berdasarkan PMK No. 152/PMK.010/2019, rokok jenis ini dikenakan tarif cukai Rp740/batang. Dengan demikian, atas sebungkus rokok ini akan dikenai cukai dengan cara mengalikan tarif cukai dengan jumlah batang rokok. Dengan demikian, cukai yang akan dipungut adalah Rp740 x 16 batang = 11.840
Selanjutnya, atas sebungkus rokok ini akan dikenai pajak rokok. Berdasarkan Pasal 30 UU No. 28/2009, besaran pajak rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan besaran cukai yang dipungut. Dengan demikian, besaran pajak rokok yang dipungut adalah 10%x 11.840=1.184.
Kendati cukai rokok dan pajak rokok merupakan pungutan yang berbeda, berdasarkan Pasal 27 UU No. 28/2009, pajak rokok dipungut oleh instansi yang berwenang memungut cukai rokok bersamaan dengan pemungutan cukai rokok.
Dengan demikian, meskipun menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi, pajak rokok juga dipungut oleh DJBC. Namun, DJBC akan menyalurkan pajak yang telah dipungut pada rekening kas umum daerah provinsi. (kaw)