ANALISIS PERPAJAKAN

Meninjau Desain Cukai atas Produk Tembakau Alternatif

Redaksi DDTCNews
Kamis, 19 Maret 2020 | 16.31 WIB
ddtc-loaderMeninjau Desain Cukai atas Produk Tembakau Alternatif
DDTC Fiscal Research

KEBIJAKAN Cukai Hasil Tembakau (CHT) di Indonesia kerap menimbulkan polemik. Namun, pembahasan mengenai sistem CHT atas produk tembakau alternatif masih sering luput dari perhatian publik dibandingkan produk konvesionalnya.

Hasil pengolahan tembakau konvensional sendiri identik dengan produk tembakau yang dikonsumsi melalui proses pembakaran dan rentan menghasilkan zat-zat berbahaya, yaitu rokok.

Meskipun kesadaran publik mengenai bahaya konsumsinya semakin meningkat tapi adiksi atas produk ini sangat sulit untuk dihilangkan. Mempertimbangkan hal-hal tersebut dan dengan semakin berkembangnya teknologi, produk tembakau alternatif pun muncul setelah para produsen melakukan inovasi untuk menekan dampak negatif dari hasil pengolahan tembakau yang melalui proses pembakaran.

Lantas, bagaimana pemerintah sebaiknya menyikapi dalam konteks kebijakan cukai atas produk tembakau alternatif?

Komparasi Kebijakan

SAAT INI, pengenaan cukai untuk produk tembakau alternatif di Indonesia diakomodasi dalam regulasi mengenai Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL). Sistem CHT untuk HPTL terbagi menjadi 8 kategori berdasarkan jenis produk sebagaimana diatur dalam PMK 156/2018. Beleid ini juga menetapkan HJE minimum atas masing-masing kategori sebagai dasar pengenaan cukai. HPTL sendiri dikenakan tarif cukai maksimal dari UU No. 39 Tahun 2007 dengan sistem ad-valorem, yaitu 57% dari HJE.

Sistem tarif ad-valorem untuk HPTL semacam ini mulai efektif diberlakukan per Oktober 2018 pascaditerbitkannya PMK 146/2017. Sebelumnya, kebijakan cukai untuk HPTL diberlakukan dengan menggunakan sistem tarif spesifik tanpa adanya kategorisasi jenis-jenis produk. Perbedaan kedua jenis sistem tarif ini terletak pada basisnya di mana ad valorem berbasis nilai transaksi sedangkan spesifik berbasis jumlah unit atau satuan tertentu.

Ditinjau dari jenis produknya, jenis HPTL yang merupakan produk tembakau alternatif dan tengah ramai diperbincangkan di tataran global adalah e-cigarette (vape) dan heated tobacco product (HTP).

Vape merupakan Hasil pengolahan tembakau yang berbentuk cairan mengandung nikotin yang dipanaskan sedangkan HTP merupakan produk berbentuk tembakau asli yang dikonsumsi dengan proses pemanasan dengan menggunakan alat pemanas.

Berbeda halnya dengan Indonesia, mayoritas negara yang memperkenankan pemasaran dan konsumsi atas produk tembakau alternatif ini menganut sistem cukai spesifik. Lebih lanjut, tarif CHT yang dikenakan atas dua jenis HPTL tersebut juga lebih rendah apabila dibandingkan dengan produk konvensionalnya (Fruits, 2018).

Salah satu preferensi pemberian relaksasi tarif CHT ini dapat ditinjau dari pertimbangan kesehatan, seperti halnya dalam kasus negara Korea Selatan dan Inggris. Korea Selatan memberlakukan memberlakukan sistem cukai spesifik atas produk tembakau aternatif dengan tarif yang lebih rendah dibandingkan produk konvensionalnya. Kebijakan tarif cukai yang lebih rendah semacam ini juga diterapkan di Inggris.

Bahkan, tarif PPN untuk produk tembakau alternatif di negara Inggris juga dapat menjadi lebih rendah dibandingkan produk konsumen lainnya. Beban pajak yang lebih ringan dapat dikenakan apabila produk tembakau bersangkutan digunakan untuk program berhenti merokok sebagai bagian dari harm reduction program yang dicanangkan oleh otoritas kesehatan setempat (UK Houses of Parliament, 2016).

Penting pula untuk dicatat, meskipun kedua produk alternatif ini termasuk kategori HPTL di Indonesia, beberapa negara meletakkannya dalam kategori tersendiri dalam sistem CHT-nya. Salah satu yang mengimplementasikan kategori produk hasil tembakau berupa vape dan HTP di luar HPTL dan produk konvensional semacam ini adalah negara Filipina, yang juga mengenakan cukai bersifat spesifik dengan tarif cukai lebih rendah apabila dibandingkan produk tembakau konvensionalnya.

Justifikasi Desain untuk Indonesia

BERDASARKAN pemaparan di atas, setidaknya terdapat dua hal yang dapat menjadi pertimbangan untuk ‘merancang kembali’ sistem CHT atas produk tembakau alternatif di Indonesia.

Pertama, pengenaan tarif CHT atas HPTL yang lebih rendah dibandingkan produk konvensional. Selain berkaca dari tren kebijakan CHT atas produk tembakau alternatif di berbagai negara, justifikasi didasarkan pula bahwa tarif pajak yang lebih rendah seharusnya dikenakan atas produk dengan eksternalitas negatif lebih rendah.

Dengan demikian, pelaku bisnis di industri tersebut akan terdorong untuk berinovasi menghasilkan produk lebih rendah risiko (Stiglitz dan Rosengard, 2015) sehingga ke depannya akan semakin banyak alternatif yang lebih baik bagi konsumen produk tembakau dewasa.

Berkaitan dengan hal ini, terdapat beberapa otoritas kesehatan berkompeten yang menyatakan bahwa produk tembakau alternatif berupa HTP dan e-cigarette memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah dibandingkan produk rokok (Public Health England, 2015 & 2018; US FDA, 2019).

Namun dalam kasus Indonesia, pelaku bisnis dalam industri ini pun diharapkan dapat menyediakan “jaminan” untuk memperoleh fasilitas ini mengingat sisi positif atas aspek kesehatan produk tembakau alternatif yang juga masih menjadi perdebatan di dunia medis.

 Salah satu bentuk jaminannya ialah berupa pemenuhan syarat administrasi bahwa produk bersangkutan telah terbukti memiliki risiko kesehatan lebih rendah dibandingkan produk konvensional.

Dengan kata lain, pemerintah dapat menetapkan ketentuan mengenai standarisasi produk. Ketentuan-ketentuan tersebut misalnya berupa regulasi yang mengatur bahwa bahwa produsen harus terdaftar dan memenuhi standar mutu produksi, produk HPTL merupakan jenis hasil tembakau yang tidak melalui proses pembakaran, serta komposisi bahan baku yang digunakan harus mengacu pada ketentuan yang diatur oleh BPOM.

Kedua, pemberlakuan sistem cukai spesifik untuk HPTL. Dibandingkan sistem ad-valorem dan hybrid, sistem spesifik mampu menyeimbangkan fungsi penerimaan negara dan kesehatan masyarakat, utamanya dalam hal kemudahan administrasi serta upaya menekan perilaku manipulasi harga untuk menghindari pajak (World Bank, 2018). Ditambah lagi, sistem cukai ini dinilai merupakan best-practices untuk desain kebijakan CHT berdasarkan pengalaman implementasinya di berbagai negara (WHO, 2010; World Bank, 2015).

Pada akhirnya, kedua justifikasi di atas kemudian diharapkan mampu memperluas basis pasar atas produk hasil tembakau yang rendah risiko dan mendorongnya menjadi substitusi atas produk tembakau yang lebih berbahaya.

Terlebih, apabila produk ini terbukti dapat mengurangi risiko atas kesehatan maka hal ini juga akan menguntungkan pihak pemerintah, terutama dari aspek penurunan beban kesehatan masyarakat.*

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.