Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Pengenaan tarif PPh final 0,5% dari peredaran bruto wajib pajak UMKM terbatas pada jangka waktu tertentu. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Rabu (29/11/2023).
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak (DJP) Dwi Astuti menjelaskan sesuai dengan PP 23/2018 yang sudah diperbarui dengan PP 55/2022, wajib pajak UMKM diberikan fasilitas berupa pengenaan tarif PPh final 0,5% dari peredaran bruto usahanya.
Tarif PPh final 0,5% dapat digunakan oleh wajib pajak orang pribadi atau badan dalam negeri yang memiliki peredaran bruto usaha tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam satu tahun pajak. Namun, pengenaan tarif PPh final tersebut memiliki masa berlaku.
“Tujuan diberikannya masa berlaku tarif PPh final 0,5% tersebut adalah agar wajib pajak UMKM naik kelas dan berkembang menjadi wajib pajak yang lebih besar,” ujar Dwi Astuti dalam keterangan resmi.
Selama jangka waktu pengenaan tarif PPh final 0,5% tersebut, sambungnya, DJP akan terus berupaya mendampingi wajib pajak UMKM untuk berkembang. Salah satu upaya yang dilakukan adalah penyelenggaraan program business development service (BDS).
Selain mengenai pengenaan tarif PPh final 0,5% untuk wajib pajak UMKM, ada pula ulasan terkait dengan realisasi sementara kepatuhan penyampaian SPT Tahunan. Ada pula bahasan tentang rancangan peraturan daerah pajak dan retribusi daerah.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Dwi Astuti mengatakan berdasarkan Pasal 59 PP 55/2022, jangka waktu pengenaan tarif PPh final 0,5% paling lama 7 tahun bagi wajib pajak orang pribadi.
Kemudian, jangka waktu pengenaan paling lama 4 tahun bagi wajib pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, badan usaha milik desa/badan usaha milik desa bersama, atau perseroan perorangan yang didirikan oleh 1 orang.
Lalu, jangka jangka waktu pengenaan paling lama 3 tahun bagi wajib pajak badan berbentuk perseroan terbatas. Dwi mengatakan jangka waktu tersebut terhitung sejak wajib pajak terdaftar (jika terdaftar setelah 2018) atau sejak 2018 (jika terdaftar sebelum 2018).
“Misalnya Tuan B terdaftar tahun 2020 maka dia bisa memanfaatkan tarif PPh final 0,5% mulai tahun 2020 sampai dengan tahun 2026,” jelas Dwi.
Selain akibat telah berakhirnya masa berlaku tersebut, tarif PPh final 0,5% dapat juga berakhir apabila dalam suatu tahun pajak, peredaran bruto telah melebihi Rp4,8 miliar atau wajib pajak dengan kemauan sendiri memilih untuk melakukan penghitungan normal menggunakan tarif Pasal 17 UU PPh.
“Apabila dalam suatu tahun pajak berjalan, peredaran bruto telah melebihi Rp4,8 miliar, wajib pajak tersebut tetap dikenai tarif PPh final 0,5% sampai dengan akhir tahun pajak bersangkutan. Perhitungan normal baru dilakukan pada tahun pajak berikutnya,” kata Dwi. (DDTCNews)
Apabila pengenaan tarif PPh final 0,5% telah berakhir, wajib pajak harus membuat pembukuan untuk dapat menghitung PPh terutang menggunakan tarif Pasal 17 UU PPh. Namun, jika peredaran bruto masih tidak melebihi Rp4,8 miliar, wajib pajak boleh menggunakan norma penghitungan penghasilan neto (NPPN).
Dengan NPPN, wajib pajak perlu mengalikan peredaran bruto dengan norma atau persentase yang telah ditetapkan untuk setiap jenis usaha atau pekerjaan bebasnya. Selain itu, wajib pajak tersebut juga wajib membuat pencatatan.
Dwi menambahkan pascaterbitnya UU HPP dan PP 55/2022, ada pula fasilitas pembebasan pajak bagi wajib pajak yang menggunakan tarif PPh final 0,5%. Pembebasan pajak berlaku atas bagian peredaran bruto sampai dengan Rp500 juta dalam satu tahun pajak. (DDTCNews)
Bertepatan dengan momentum dimulainya masa kampanye pemilu 2024, DDTCNews resmi merilis laporan hasil survei pajak dan politik pertama di Indonesia pada Selasa (28/11/2023).
Laporan bertajuk Saatnya Parpol & Capres Bicara Pajak tersebut menyajikan hasil survei yang diikuti sebanyak 2.080 responden pada 4 September - 4 Oktober 2023. Simak ‘Hasil Survei Pajak dan Politik DDTCNews Dirilis! Download di Sini!’. (DDTCNews)
Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan hingga 22 November 2023, Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh yang sudah terkumpul mencapai 16,5 juta. Dengan jumlah wajib pajak wajib SPT pada tahun ini sebanyak 19,44 juta maka rasio kepatuhan formal sudah mencapai 84,8%.
"Jumlah SPT Tahunan PPh baik badan maupun orang pribadi yang sudah terkumpul di angka 16,5 juta. Untuk 2022 kemarin secara penuh setahun 16,7 juta," katanya.
Dengan adanya selisih sebanyak kurang lebih 200.000 SPT tersebut, lanjut Suryo, DJP masih terus berupaya sehingga jumlah SPT yang terkumpul pada tahun ini lebih banyak atau setidaknya sama dengan tahun lalu. (DDTCNews)
Otoritas fiskal menerbitkan PMK 115/2023 yang memuat petunjuk teknis akuntansi penerimaan negara bukan pajak dari kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi (PNBP migas). PMK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan, yakni 6 November 2023.
“Untuk menyesuaikan pedoman penyelenggaraan akuntansi PNBP dari kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi dengan kebijakan akuntansi pemerintah pusat, perlu mengganti PMK 61/2020 s.t.d.d PMK 44/2021,” bunyi penggalan bagian pertimbangan dalam PMK 115/2023. Simak ‘Terbit PMK Baru Soal Petunjuk Teknis Akuntansi PNBP Migas’. (DDTCNews)
Kemenkeu mencatat sudah ada 380 pemda dari total 552 pemda yang telah menyelesaikan rancangan peraturan daerah (raperda) tentang pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD). Raperda PDRD dari 380 pemda tersebut telah dikirimkan oleh pemda kepada Kemenkeu untuk dievaluasi.
"Sejauh ini kami telah menyelesaikan reviu sebanyak 225 [raperda], yang masih proses sebanyak 155 [raperda]," ujar Dirjen Perimbangan Keuangan Luky Alfirman. (DDTCNews) (kaw)