Ilustrasi.
RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa mengenai koreksi fiskal positif atas biaya jasa manajemen dan biaya royalti dalam perhitungan pajak penghasilan (PPh) badan. Dalam perkara ini, wajib pajak merupakan perusahaan manufaktur yang bergerak di bidang fast moving consumer goods (FMCG).
Sebagai bagian dari operasional perusahaan, wajib pajak melakukan dua transaksi yang kemudian memicu sengketa. Pertama, pembayaran atas jasa manajemen yang dimanfaatkan dari perusahaan afiliasi di Thailand. Kedua, pembayaran royalti atas penggunaan trademark dari perusahaan afiliasi di Inggris.
Transaksi pertama dan kedua secara berurutan menimbulkan biaya jasa manajemen dan biaya royalti yang oleh wajib pajak diakui sebagai biaya fiskal, yakni biaya pengurang penghasilan bruto untuk memperhitungkan penghasilan kena pajak (PKP) perusahaan.
Dalam hal ini, otoritas pajak tidak setuju atas biaya fiskal yang diakui oleh wajib pajak. Berkaitan dengan biaya jasa manajemen, otoritas pajak menilai bahwa eksistensi dari pembayaran jasa tersebut tidak dapat dibuktikan. Adapun berkaitan dengan biaya royalti, otoritas pajak menilai bahwa kebenaran dari bukti serta dokumen pendukung terkait biaya tersebut tidak dapat diyakini.
Sebaliknya, wajib pajak tidak setuju dengan koreksi otoritas pajak tersebut. Wajib pajak menyampaikan bahwa perusahaannya telah melakukan pemotongan pajak penghasilan (PPh) Pasal 26, baik atas pembayaran jasa manajemen maupun royalti. Dengan demikian, wajib pajak menilai bahwa karena pihaknya telah melakukan pemotongan PPh maka seharusnya biaya tersebut dapat diakui sebagai biaya pengurang penghasilan bruto untuk memperhitungkan PKP perusahaan.
Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan sebagian permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Kemudian, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan PK yang diajukan oleh otoritas pajak.
Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan DDTC.
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat bahwa koreksi fiskal positif yang ditetapkan oleh otoritas pajak tidak dapat dibenarkan.
Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan sebagian permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Selanjutnya, dengan diterbitkannya Putusan Pengadilan Pajak No. PUT.47015/PP/M.VIII/15/2013 tanggal 9 September 2013, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 12 Desember 2013.
Terdapat 2 pokok sengketa dalam perkara ini. Pertama, koreksi fiskal positif atas biaya jasa manajemen sebesar Rp448.304.807. Kedua, koreksi fiskal positif atas biaya royalti sebesar Rp1.120.762.019.
PEMOHON PK selaku otoritas pajak menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Dalam perkara ini, terdapat 2 pokok sengketa.
Pokok sengketa pertama, berkaitan dengan koreksi atas biaya jasa manajemen sebesar Rp448.304.807. Dalam hal ini, Termohon PK selaku wajib pajak memanfaatkan jasa manajemen dari perusahaan afiliasinya di Thailand.
Adapun pembayaran atas pemanfaatan jasa tersebut diakui sebagai biaya fiskal dalam penghitungan PKP perusahaannya. Jumlah biaya yang diakui Termohon PK didapatkan dari pembayaran kepada perusahaan afiliasinya sebesar 1% dari net sales setiap bulan.
Sengketa ini muncul akibat Pemohon PK selaku otoritas pajak mengoreksi perlakuan biaya tersebut. Menurut Pemohon PK, meskipun pembayaran atas pemanfaatan jasa manajemen telah dilakukan oleh Termohon PK, pengeluaran tersebut tidak serta-merta dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto untuk menghitung PKP perusahaannya. Sebab, biaya tersebut harus terlebih dahulu memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang (UU) PPh.
Terkait dengan hal tersebut, Pemohon PK menilai bahwa biaya jasa manajemen yang dikeluarkan Termohon PK tidak memenuhi asas dalam ketentuan Pasal 6 UU PPh. Sebab, biaya jasa manajemen yang dikeluarkan tersebut tidak dapat dibuktikan eksistensinya.
Pemohon PK menilai bahwa data dan informasi yang disampaikan oleh Termohon PK tidak dapat membuktikan eksistensi jasa manajemen. Salah satu bukti yang disampaikan oleh Termohon PK adalah letter of assignment seorang pegawai perusahaan afiliasinya untuk memberikan training on cash flow management kepada staf keuangan Termohon PK.
Dalam letter of assignment tersebut dapat diketahui bahwa training hanya dilakukan selama 7 hari. Menurut Pemohon PK, hal tersebut tidak cukup membuktikan bahwa terdapat jasa manajemen yang benar-benar dimanfaatkan oleh Termohon PK dan menjustifikasi kewajiban Termohon PK untuk membayar biaya bulanan kepada perusahaan afiliasinya sebesar 1% dari net sales.
Berdasarkan uraian di atas, Pemohon PK menyatakan bahwa koreksi yang dilakukan pihaknya atas biaya jasa manajemen sudah tepat dan dapat dibenarkan.
Pokok sengketa kedua, dalam putusan ini membahas tentang koreksi fiskal positif biaya royalti sebesar Rp1.120.762.019. Dalam hal ini, Termohon PK menggunakan trademark dari perusahaan afiliasinya di Inggris. Adapun pembayaran royalti atas penggunaan trademark tersebut diakui sebagai biaya fiskal dalam penghitungan PKP perusahaannya.
Sengketa ini muncul akibat Pemohon PK mengoreksi perlakuan biaya fiskal atas biaya manajemen dan royalti. Koreksi dilakukan karena Pemohon PK tidak dapat meyakini kebenaran bukti dan dokumen pendukung pembayaran biaya royalti.
Dalam hal ini, Pemohon PK menyatakan bahwa Termohon PK menunjukkan bukti terkait transaksinya hanya dengan fotocopy suatu dokumen tanpa legalisasi dari pihak yang berwenang. Hal tersebut membuat Pemohon PK tidak dapat meyakini keabsahan dokumen yang ditunjukkan Termohon PK terkait transaksi pembayaran royalti yang dilakukan.
Lebih lanjut, Pemohon PK merujuk pada Pasal 78 UU Pengadilan Pajak yang menyebutkan bahwa putusan Pengadilan Pajak salah satunya diambil berdasarkan keyakinan hakim. Adapun keyakinan hakim tersebut didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Selanjutnya, Pemohon PK menyatakan bahwa asas yang dianut dalam ketentuan perpajakan adalah kebenaran material. Dengan begitu, dokumen yang seharusnya dapat digunakan untuk bukti perhitungan pajak adalah dokumen yang sah dan otentik.
Oleh karena itu, putusan majelis yang mempertimbangkan bukti berupa fotocopy dokumen tanpa legalisasi telah melanggar asas kebenaran material undang-undang perpajakan. Berdasarkan uraian di atas, Pemohon PK menyatakan bahwa koreksi yang dilakukan pihaknya atas biaya royalti sudah tepat dan dapat dibenarkan.
Sebaliknya, Termohon PK menyatakan tidak setuju dengan pendapat Pemohon PK. Berkaitan dengan pokok sengketa pertama, Termohon PK menjelaskan bahwa jasa manajemen yang dimanfaatkannya telah sesuai dengan perjanjian yang dibuat bersama dengan perusahaan afiliasinya. Dalam hal ini, jasa manajemen yang didapatkan oleh Termohon PK termasuk juga pemberian nasihat serta petunjuk tertulis atas operasional perusahaan yang bergerak di Indonesia.
Berkenaan dengan hal tersebut, Termohon PK juga menegaskan bahwa pihaknya telah melakukan pemotongan dan penyetoran PPh Pasal 26 atas pembayaran jasa manajemen yang dilakukan. Dengan demikian, Termohon PK berpandangan bahwa seharusnya biaya tersebut dapat diakui sebagai biaya pengurang untuk perhitungan PKP perusahaannya karena pihaknya telah melakukan pemotongan PPh. Terkait ini, Termohon PK telah melampirkan bukti pemotongan PPh Pasal 26 yang relevan.
Berkaitan dengan pokok sengketa kedua, Termohon PK juga menjelaskan pihaknya telah melakukan pemotongan dan penyetoran PPh Pasal 26 atas pembayaran royalti terkait penggunaan trademark perusahaan afiliasinya. Menurut Termohon PK, hal tersebut telah dilakukan sesuai peraturan perpajakan yang berlaku dengan melampirkan bukti pemotongan PPh Pasal 26 yang relevan.
Berdasarkan uraian di atas, Termohon PK menyatakan bahwa koreksi yang dilakukan Pemohon PK tidak benar sehingga tidak dapat dipertahankan.
MAHKAMAH Agung berpendapat bahwa alasan-alasan permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan sebagian permohonan banding sudah tepat dan benar.
Menurut Mahkamah Agung, baik pembayaran jasa manajemen maupun royalti yang dilakukan oleh Termohon PK telah didukung dengan bukti yang memadai. Selain itu, Termohon PK juga telah melampirkan bukti berupa surat setoran pajak (SSP) PPh Pasal 26. Dengan begitu, koreksi Pemohon PK tidak memiliki dasar hukum yang jelas sehingga koreksi tersebut tidak dapat dipertahankan karena tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon PK dinilai tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan demikian, Pemohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum membayar biaya perkara. (sap)