LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2022

Tarif Pajak Orang Kaya Naik, Apakah Ketimpangan Bisa Turun?

Redaksi DDTCNews | Kamis, 08 September 2022 | 10:00 WIB
Tarif Pajak Orang Kaya Naik, Apakah Ketimpangan Bisa Turun?

Muhammad Dahlan,
Majalengka, Jawa Barat

PEMERINTAH resmi menaikkan tarif tertinggi pajak penghasilan (PPh) orang pribadi menjadi 35%. Tarif ini berlaku untuk penghasilan kena pajak di atas Rp5 miliar. Penghasilan yang hanya bisa didapat oleh sejumlah orang kaya atau sering disebut sebagai high net worth individuals (HNWI).

Lantas, apakah kenaikan tarif pajak ini akan berpengaruh terhadap ketimpangan pendapatan di Indonesia?

Oxfam menyebut Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat ketimpangan tertinggi. Pasalnya, sebanyak 4 orang terkaya Indonesia mempunyai kekayaan setara dengan total kekayaan 100 juta orang miskin (Oxfam, 2017).

Menurut World Bank, pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati 20% masyarakat Indonesia. Alhasil, ada 80% masyarakat yang merasa tertinggal (World Bank, 2015). Selain itu, gini ratio Indonesia per Maret 2022 adalah 0,384 naik dibandingkan dengan posisi September 2021 sebesar 0,381 (BPS, 2022).

Berdasarkan pada semua data tersebut, kenaikan ketimpangan jelas sedang terjadi. Oleh karena itu, kenaikan tarif tertinggi PPh orang pribadi diharapkan bisa menjadi instrumen untuk memperkecil ketimpangan dan memperluas akses pertumbuhan ekonomi bagi seluruh masyarakat.

Namun, ketimpangan seperti apa yang ingin dikurangi pemerintah melalui kenaikan tarif pajak ini?

Ketimpangan Pendapatan Versus Ketimpangan Kekayaan

BERBICARA mengenai ketimpangan, kita harus membedakan antara ketimpangan pendapatan dan ketimpangan kekayaan. Ketimpangan pendapatan mengukur perbedaan pendapatan yang diterima dalam suatu tahun tertentu di antara kelompok masyarakat. Ketimpangan kekayaan mengukur perbedaan jumlah total kekayaan yang dimiliki.

Secara umum pendapatan merepresentasikan sesuatu yang spesifik, yaitu sejumlah uang yang diterima oleh masyarakat yang bekerja. Sementara itu, kekayaan mencakup tidak hanya pendapatan, tetapi juga sumber ekonomi lain.

Sumber ekonomi lain yang dimaksud seperti tabungan, kepemilikan saham dan surat berharga lainnya, rumah, kendaraan, tanah, perhiasan, lukisan dan karya seni berharga, sampai dengan uang yang disimpan di bawah tempat tidur.

Selama ini fokus pemerintah adalah cara mengurangi ketimpangan pendapatan, tanpa melihat ketimpangan kekayaan yang jelas lebih memprihatinkan. Selain data dari Oxfam, terdapat data terkini dari World Inequality Report 2022.

Berdasarkan pada data tersebut, 10% orang Indonesia memiliki pendapatan yang setara dengan 48% total pendapatan dalam setahun. Kemudian, 10% orang Indonesia memiliki 60% akumulasi kekayaan seluruh penduduk.

Berpijak pada data tersebut, sebagian kecil masyarakat memiliki lebih dari setengah total kekayaan orang Indonesia. Dalam skala global, 10% orang terkaya dunia memiliki kekayaan setara dengan 76% total kekayaan seluruh orang di dunia.

Peningkatan tarif pajak lapisan tertinggi dapat mengurangi ketimpangan pendapatan yang diukur dari turunnya gini ratio (Aaron, 2015). Selain itu, menurut Joumard, Pisu & Bloch (2013), pengenaan PPh orang pribadi memengaruhi redistribusi pendapatan. Dengan demikian, kenaikan tarif pajak akan memperbaiki tingkat ketimpangan pendapatan.

Akan tetapi, hal tersebut juga harus diimbangi dengan pengelolaan belanja negara yang efektif dan tepat sasaran. Pasalnya, efek kenaikan tarif pajak terhadap pengurangan tingkat ketimpangan pendapatan akan lebih besar jika diimbangi dengan program pemerintah, seperti bantuan langsung kepada masyarakat yang tidak berpendapatan ataupun di bawah batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP).

Efek kenaikan tarif pajak ini mungkin tidak akan mengubah ketimpangan kekayaan di Indonesia karena belum adanya instrumen hukum yang mengatur pengenaan pajak atas kekayaan (wealth tax). Hal ini dikarenakan upaya memastikan pengurangan ketimpangan pendapatan tidak selalu berkorelasi dengan penurunan ketimpangan kekayaan (Epping, 2020).

Orang kaya dengan banyak aset akan tetap melahirkan orang kaya baru. Kondisi ini dikarenakan kemudahan mewariskan kekayaan dari generasi ke generasi. Dengan demikian, ketimpangan kekayaan tidak akan berkurang jika pemerintah tidak melakuan terobosan.

Pajak Kekayaan

UNTUK mengurangi ketimpangan kekayaan, salah satu cara yang bisa dilakukan pemerintah adalah dengan mengenakan pajak atas kekayaan (wealth tax). Pada dasarnya, pajak kekayaan dikenakan atas jumlah total kekayaan bersih (total aset dikurangi total utang) dalam setahun.

Selain untuk mengurangi ketimpangan kekayaan, pengenaan pajak kekayaan juga akan menjadi sumber penerimaan baru bagi pemerintah. Kebijakan ini juga mewujudkan aspek keadilan dalam sistem perpajakan.

Beberapa negara telah menerapkan pajak kekayaan, di antaranya Colombia, Prancis, Norwegia, Spanyol, dan Swiss. Besaran tarif berbeda-beda, antara 0,05% sampai dengan 4,5% dari jumlah kekayaan yang melebihi threshold tertentu yang telah ditetapkan pemerintah (Bunn, 2022).

Mengenakan pajak atas kekayaan seseorang adalah solusi paling nyata sekaligus kompleks dalam mengurangi ketimpangan kekayaan. Kompleksitas pengenaan pajak kekayaan karena pemerintah akan berhadapan dengan orang kaya itu sendiri.

Pasalnya, orang kaya memiliki akses terhadap konsultan hukum dan keuangan terbaik, status sosial yang berpengaruh di masyarakat, akses politik, akses ekonomi, serta akses terhadappemerintah itu sendiri.

Selain itu, pengenaan pajak kekayaan bisa kontra produktif dengan tujuan pemerataan ekonomi. Hal ini dikarenakan orang kaya bisa saja memindahkan kekayaan dan tinggal di negara lain yang tidak mengenakan pajak kekayaan.

Dengan banyaknya sumber daya yang dimiliki, orang kaya bisa dengan mudah bermigrasi dari satu negara ke negara lainnya. Tujuannya untuk melindungi kekayaan dan mendapatkan manfaat dari sistem pajak yang berlaku di suatu negara.

Indonesia sendiri, menurut data dari Henley Global Citizens Report 2022, diperkirakan akan kehilangan 600 orang kaya karena emigrasi ke negara lain meskipun belum ada penerapan pajak kekayaan.

Dengan demikian, konsep wealth tax jangan sampai memicu HNWI memindahkan kekayaannya ke yurisdiksi lain yang ‘ramah’ terhadap mereka. Memindahkan aset atau mengubahnya menjadi aset lain yang sulit untuk diidentifikasi dapat saja dilakukan oleh HNWI untuk menghindari wealth tax.

Dalam skala global, telah ada usulan untuk meminimalisasi pergerakan orang kaya memindahkan aset ke negara lain. Usulan itu berupa Global Asset Registry (GAR) yang di inisiasi Independent Commission for the Reform of International Corporate Taxation (ICRICT).

GAR bertujuan agar institusi pajak dapat melacak kepemilikan asset secara global. Dengan adanya GAR yang ditambah Automatic Exchange of Information (AEOI) –skema yang juga diikuti secara aktif oleh Indonesia—diharapkan akan mempersempit celah penyembunyian aset.

Dengan demikian, kondisi tersebut akan memperkecil ruang gerak HNWI untuk memindahkan, menyembunyikan, ataupun mengubah aset mereka dengan tujuan untuk penghindaran pajak (tax avoidance).

Berdasarkan pada hal tersebut, masih ada harapan bagi pemerintah Indonesia untuk menerapkan pajak kekayaan sebagai solusi mengurangi ketimpangan di dalam masyarakat.

Mungkin tidak dalam waktu dekat, tetapi hal ini adalah konsep yang perlu dijadikan pilihan bagi pemerintah untuk mengurangi ketimpangan pendapatan dan ketimpangan kekayaan. Harapannya, keadilan ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia bukanlah sebuah angan semata.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2022. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-15 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

BERITA PILIHAN