Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Proses penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) orang pribadi akan dilakukan secara bertahap. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Jumat (5/11/2021).
Perubahan UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) memang mulai berlaku saat UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) diundangkan, yakni 29 Oktober 2021. Namun, proses terkait dengan pemberlakuan NIK sebagai NPWP orang pribadi akan dilakukan secara bertahap.
“Proses integrasi data NIK dari Ditjen Dukcapil dengan database perpajakan tentu saja membutuhkan waktu. Proses ini akan dilakukan secara bertahap dengan timeline yang sudah ditetapkan DJP,” ujar Penyuluh Pajak Ahli Muda Ditjen Pajak (DJP) Rumadi dalam acara Taxlive DJP.
Dalam Pasal 2 ayat (1a) UU KUP yang dimuat dalam UU HPP disebutkan NPWP bagi wajib pajak orang pribadi yang merupakan penduduk Indonesia menggunakan NIK. Pasal 2 ayat (10) memberikan mandat kepada mendagri agar memberikan data kependudukan dan data balikan dari penggunanya kepada menkeu.
Selain mengenai integrasi data NIK dengan database perpajakan, ada pula bahasan terkait dengan natura sebagai objek pajak. Kemudian, ada pula bahasan tentang terbitnya UU APBN 2022 dan patokan tarif bunga sanksi administrasi pajak untuk periode November 2021.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Proses Perubahan NPWP menjadi NIK
Penyuluh Pajak Ahli Muda DJP Rumadi mengatakan ketentuan teknis mengenai penggunaan NIK sebagai NPWP bagi wajib pajak orang pribadi akan diatur dalam aturan turunan UU HPP. Simak ‘Perubahan Ketentuan UU KUP yang Bakal Diatur dalam PP dan PMK’.
“5 tahun ke depan, tahun 2026 kira-kira nanti, seluruh proses perubahan NPWP menjadi NIK akan selesai dengan tuntas,” ujarnya. Simak pula ‘Ini Penjelasan Dirjen Pajak Soal Penggunaan NIK Sebagai NPWP’.
Seperti diketahui, pengintegrasian basis data kependudukan dengan basis data perpajakan diperlukan sebagai pembentuk profil wajib pajak. Pengintegrasian data juga dapat digunakan wajib pajak untuk pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakannya. (DDTCNews)
Natura Jadi Objek Pajak
Staf Ahli Menkeu Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan fasilitas-fasilitas yang didapatkan oleh karyawan dari perusahaannya, seperti rumah dan mobil, selama ini masih belum menjadi penghasilan bagi penerima dan bukan biaya bagi pemberinya.
Dengan perubahan UU Pajak Penghasilan (PPh) yang ada dalam UU HPP, natura akan menjadi penghasilan bagi penerimanya dan biaya bagi perusahaan yang memberikan fasilitas tersebut. Nantinya, pemerintah akan memerinci ketentuan yang mulai berlaku pada 2022 ini.
"Berapa sih harga sewa seharusnya atau biasanya biaya penggantian yang sewajarnya? Kalau diberikan fasilitas rumah, berapa saya sewa rumah itu? Jadi, buat saya sebagai penerima menjadi penghasilan dan buat perusahaan bisa dibiayakan," ujar Yon. Simak pula ‘5 Jenis Natura atau Kenikmatan yang Dikecualikan dari Objek Pajak’. (DDTCNews/Kontan/Tempo)
Menciptakan Keadilan
Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji mengatakan pajak atas natura perlu diterapkan karena banyak karyawan dengan jabatan dan posisi tertentu mendapatkan manfaat cukup besar. Mereka menerima fasilitas selain gaji dengan nilai cukup besar.
Kondisi tersebut memunculkan isu ketidakadilan. Apalagi, fasilitas tersebut sering kali diterima karyawan yang memiliki jabatan tinggi. Hal ini juga sejalan dengan perubahan lapisan tarif PPh orang pribadi, terutama penambahan tarif tertinggi 35%.
“Untuk menghindari kenaikan tarif tersebut, bisa jadi ada upaya tax planning dengan cara memberikan benefit yang diterima bersifat natura untuk menghindari pajak. Saya melihat ketentuan ini lebih berorientasi bagi keadilan dan bukan penerimaan,” ujar Bawono. (Tempo)
UU APBN 2022
Pemerintah resmi mengundangkan UU 6/2021 tentang APBN 2022, setelah disahkan DPR pada 30 September 2021.
Dalam bagian pertimbangan UU 6/2021, APBN disebut menjadi wujud pengelolaan keuangan negara yang dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk kemakmuran rakyat. APBN disusun sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara. (DDTCNews)
Tarif Bunga Sanksi Administrasi Pajak
Tarif bunga per bulan yang menjadi dasar penghitungan sanksi administrasi berupa bunga dan pemberian imbalan bunga periode 1 November—30 November 2021 hampir sama dengan patokan bulan lalu.
Penetapan tarif bunga per bulan oleh Kepala Badan Kebijakan Fiskal Febrio Nathan Kacaribu atas nama Menteri Keuangan tersebut diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 60/KM.10/2021. Beleid ini diteken pada 28 Oktober 2021.
Terdapat 4 tarif bunga per bulan untuk sanksi administrasi, yaitu mulai dari 0,51% sampai dengan 1,76%. Keempat tarif tersebut hampir sama dengan tarif pada periode Oktober 2021. Perbedaannya pada tarif sanksi bunga Pasal 8 ayat (5) UU KUP dari sebelumnya 1,34% kini naik menjadi 1,35%. ‘Cek Di Sini! Tarif Bunga Sanksi Administrasi Pajak November 2021’. (DDTCNews)
Penagihan Piutang Pajak
Pemerintah akan segera mengeksekusi penagihan piutang pajak oleh wajib pajak yang berada di luar negeri. Hal ini sejalan dengan telah diterbitkannya UU HPP. Indonesia telah bekerja sama dengan 13 negara untuk melakukan asistensi penagihan pajak global.
“Yang dikerjasamakan piutang pajak yang sudah inkracht dan dilakukan timbal balik dan akan dilakukan langkah tindak lanjut,” kata Staf Ahli Menkeu Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal.
Adapun, 13 negara yang telah bekerja sama dengan Indonesia adalah Aljazair, Amerika Serikat (AS), Armenia, Belanda, Belgia, Filipina, India, Laos, Mesir, Suriname, Yordania, Venezuela, dan Vietnam. (Bisnis Indonesia/Kontan) (kaw)