RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa PPh Pasal 23 Bagi Hasil Penjualan Tiket Bioskop

Vallencia
Rabu, 19 April 2023 | 15.42 WIB
Sengketa PPh Pasal 23 Bagi Hasil Penjualan Tiket Bioskop

RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa mengenai koreksi positif dasar pengenaan pajak (DPP) pajak penghasilan (PPh) Pasal 23 atas transaksi bagi hasil penjualan tiket bioskop.

Dalam perkara ini, wajib pajak sebagai pemilik bioskop melakukan kerja sama bagi hasil penjualan tiket bioskop dengan pemilik film. Sesuai dengan kerja sama tersebut, wajib pajak akan membayarkan bagian hasil penjualan tiket bioskop kepada pemilik film.

Menurut otoritas pajak, transaksi bagi hasil penjualan tiket antara wajib pajak dan pemilik film secara substantif merupakan pembayaran sewa sehubungan dengan penggunaan harta. Oleh karena itu, wajib pajak seharusnya memotong PPh Pasal 23 atas penghasilan yang dibayarkan kepada pemilik film.

Di sisi lain, wajib pajak tidak sepakat dengan pendapat otoritas pajak. Menurut wajib pajak, pembayaran bagi hasil penjualan tiket bioskop bukanlah transaksi pembayaran sewa. Sebab, pembayaran bagi hasil dilakukan bukan sehubungan dengan penggunaaan harta, melainkan hasil usaha masing-masing pihak. Dengan begitu, pembayaran bagi hasil penjualan sewa kepada pemilik film tidak terutang PPh Pasal 23.

Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan sebagian permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Kemudian, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan PK yang diajukan oleh otoritas pajak.

Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan ID.

Kronologi

WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat atas koreksi DPP PPh Pasal 23 dari bagi hasil penjualan tiket bioskop yang ditetapkan oleh otoritas pajak tidak tepat.

Menurut Majelis Hakim Pengadilan Pajak, tidak terdapat unsur sewa yang menjadi objek PPh Pasal 23 dalam transaksi wajib pajak dengan pemilik film. Oleh karena itu, wajib pajak sudah tepat dengan tidak memotong PPh Pasal 23 atas transaksi bagi hasil penjualan tiket bioskop dengan pemilik film.

Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan sebagian permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Selanjutnya, dengan diterbitkannya Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 29876/PP/M.I/12/2011 tanggal 21 Maret 2011, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 11 Juli 2011.

Adapun pokok sengketa dalam perkara ini adalah koreksi positif DPP PPh Pasal 23 atas transaksi bagi hasil penjualan tiket bioskop dengan pemilik film.

Pendapat Pihak yang Bersengketa

PEMOHON PK selaku otoritas pajak menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Sebagai informasi, Termohon PK merupakan pemilik bioskop. Dalam menjalankan usahanya, Termohon PK bekerja sama dengan pemilik film agar film yang dimaksud dapat ditayangkan di bioskop. Kerja sama yang dimaksud ialah pembagian hasil penjualan tiket bioskop antara Termohon PK dengan pemilik film yang proporsinya ialah 50:50.

Menurut Pemohon PK, penghasilan yang diterima pemilik film dari Termohon PK merupakan skema pembayaran sewa film sehingga dapat diklasifikasikan sebagai objek PPh Pasal 23. Pernyataan ini sejalan dengan ketentuan dalam SE-28/PJ.433/1989.

Berdasarkan pada SE-29/PJ.433/1989, pembayaran sewa dari Termohon PK kepada pemilik film dengan nama dan bentuk apapun merupakan jenis penghasilan sehubungan dengan penggunaan harta. Dengan demikian, meskipun Termohon PK menggunakan istilah lain selain sewa, atas pembayarannya tetap terutang PPh Pasal 23 atas sewa.

Namun, Termohon PK belum memotong PPh Pasal 23 atas penghasilan yang dibayarkan kepada pemilik film. Oleh karena itu, Pemohon PK menetapkan koreksi DPP PPh Pasal 23 atas transaksi pembayaran bagi hasil penjualan tiket bioskop kepada pemilik film.

Selain itu, salinan putusan Pengadilan Pajak juga tidak memenuhi persyaratan formal. Dalam hal ini, putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 29876/PP/M.I/12/2011 baru diputuskan setelah lebih dari 12 bulan sejak tanggal surat banding diterima oleh Pengadilan Pajak. Secara formal, pengambilan putusan pemeriksaan banding sudah melebihi jatuh tempo.

Sesuai dengan Pasal 81 ayat (1) dan (3) Undang-Undang 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU 14/2002), putusan pemeriksaan banding dengan acara biasa diambil dalam jangka waktu 12 bulan sejak surat banding diterima. Dengan demikian, Pemohon PK berpendapat putusan tersebut cacat hukum atau juridisch gebrek sehingga harus dibatalkan.

Berdasarkan pada pertimbangan tersebut, Pemohon PK tetap mempertahankan pendapatnya bahwa pembayaran bagi hasil kepada pemilik film secara substantif termasuk transaksi pembayaran sewa. Dengan demikian, pembayaran bagi hasil dari Termohon PK kepada pemilik film seharusnya dipotong PPh Pasal 23.

Sebaliknya, Termohon PK tidak sependapat dengan pernyataan Pemohon PK. Menurutnya, pembayaran bagi hasil penjualan tiket kepada pemilik film bukanlah transaksi pembayaran sewa. Sebab, pembayaran bagi hasil dilakukan bukan sehubungan dengan penggunaaan harta, melainkan hasil usaha masing-masing.

Kesimpulannya, transaksi yang dilakukan antara Termohon PK dan pemilik film seharusnya tidak terutang PPh Pasal 23. Dengan kata lain, koreksi yang dilakukan Pemohon PK tidak dapat dibenarkan.

Pertimbangan Mahkamah Agung

MAHKAMAH Agung berpendapat alasan-alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan sebagian permohonan banding sudah tepat dan benar. Terhadap perkara ini, terdapat 2 pertimbangan hukum Mahkamah Agung sebagai berikut.

Pertama, alasan Pemohon PK mengenai jangka waktu yang berkaitan dengan proses administrasi penyelesaian sengketa tidak dapat membatalkan putusan. Adapun proses administrasi yang dimaksud ialah sehubungan dengan pengambilan putusan pemeriksaan banding dengan acara biasa yang melebihi jangka waktu 12 bulan.

Kedua, alasan-alasan permohonan PK atas koreksi DPP PPh Pasal 23 berkaitan dengan bagi hasil tiket penjualan bioskop tidak dapat dibenarkan. Sebab, dalil-dalil yang dikemukakan oleh Pemohon PK tidak dapat menggugurkan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Berdasarkan pada pertimbangan di atas, Mahkamah Agung menilai permohonan PK tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan demikian, Pemohon PK ditetapkan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.