Budi Haritjahjono,
PENGADILAN Pajak memiliki peran penting dalam menyelesaikan sengketa pajak, sebagai bagian dari upaya menciptakan keadilan di bidang pajak.
Sebelum keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 10/PUU-XVIII/2020 dan Putusan No. 26/PUU-XXI/2023, independensi Pengadilan Pajak sempat dipertanyakan. Alasannya, meskipun di satu sisi Mahkamah Agung menangani aspek teknis yudisial, namun di sisi lain, Kementerian Keuangan mengatur urusan administrasi.
Kondisi itu menimbulkan persoalan karena Kementerian Keuangan juga sering menjadi pihak dalam sengketa yang diperiksa oleh Pengadilan Pajak, sehingga menimbulkan potensi konflik kepentingan.
Putusan MK No. 10/2020 membawa perubahan penting dengan memperkenalkan sistem pemilihan pimpinan Pengadilan Pajak oleh para hakim itu sendiri, bukan lagi melalui usulan dari Menteri Keuangan. Perubahan ini dimaksudkan untuk memperkuat independensi peradilan dari pengaruh eksekutif.
Mekanisme tersebut telah berjalan baik dan tidak menimbulkan keberatan dari Mahkamah Agung, Kementerian Keuangan, maupun pihak luar. Namun, dengan diberlakukannya Putusan MK No. 26/2023 yang memindahkan tanggung jawab administrasi, organisasi, dan keuangan Pengadilan Pajak dari Kementerian Keuangan ke Mahkamah Agung, muncul kekhawatiran baru.
Salah satunya, kemungkinan bahwa mekanisme pemilihan pimpinan akan diubah mengikuti model pengangkatan di pengadilan umum atau tinggi, yakni ditunjuk langsung oleh Ketua Mahkamah Agung. Jika hal itu terjadi, maka dikhawatirkan independensi internal Pengadilan Pajak akan melemah karena berkurangnya keterlibatan hakim dalam memilih pemimpinnya.
Perubahan pola pemilihan ini dapat melemahkan akuntabilitas internal di Pengadilan Pajak. Perubahan ini juga akan memunculkan potensi sentralisasi kekuasaan di Mahkamah Agung. Selain itu, jika model pengangkatan pimpinan diseragamkan dengan pengadilan umum, maka karakter khas Pengadilan Pajak sebagai peradilan khusus yang bersifat administratif dan teknis bisa terabaikan.
Oleh karena itu, tulisan ini berfokus untuk mengkaji dampak hukum dan kelembagaan dari perubahan tersebut. Tujuan utamanya, mencari mekanisme terbaik yang dapat menjaga keseimbangan antara integrasi Pengadilan Pajak ke dalam sistem satu atap Mahkamah Agung, dengan tetap mempertahankan prinsip-prinsip independensi, profesionalisme, dan akuntabilitas.
Mekanisme pemilihan pimpinan oleh para hakim sendiri yang telah terbukti menjamin legitimasi internal perlu dipertahankan, dengan tetap disesuaikan agar selaras dengan sistem yang berlaku di bawah Mahkamah Agung.
Setelah Putusan MK No. 10/2020 berlaku, Pengadilan Pajak langsung menyelenggarakan pemilihan pimpinan baru pada 2021. Ketua saat itu, Tri Hidayat Wahyudi, menerbitkan Keputusan Ketua Pengadilan Pajak No. KEP-01/PP/2021 untuk mengatur tata cara pemilihan ketua secara internal oleh para hakim. Proses dilakukan dalam 2 tahap, dan hasil akhirnya disampaikan kepada menteri keuangan.
Pemilihan dimulai dengan pemungutan suara untuk memilih calon ketua dari seluruh hakim yang memenuhi syarat, antara lain usia, jabatan minimal sebagai hakim ketua, dan tidak sedang menjabat sebagai ketua.
Para hakim memilih satu nama dari daftar yang disusun panitia. Sebanyak 2 calon dengan suara terbanyak melaju ke tahap kedua, kecuali jika ada calon yang langsung memperoleh suara lebih dari 50%, maka calon tersebut langsung ditetapkan sebagai ketua.
Jika belum ada mayoritas suara di tahap pertama, tahap kedua dilakukan hanya antara 2 calon teratas. Calon yang mendapatkan suara terbanyak di tahap kedua ditetapkan sebagai ketua terpilih.
Setelah proses internal selesai, sekretaris Pengadilan Pajak mengirim nama ketua terpilih ke menteri keuangan. Menteri keuangan kemudian menyampaikan nama tersebut ke Mahkamah Agung untuk mendapatkan persetujuan.
Proses ini menunjukkan bahwa wewenang untuk menentukan pimpinan kini berada di tangan para hakim Pengadilan Pajak, sementara eksekutif hanya berperan sebagai penghubung administratif.
Proses ini dinilai publik jauh lebih transparan dan demokratis. Pengaruh langsung menteri keuangan yang dulu berpotensi menimbulkan konflik kepentingan kini sudah dihapus. Publik mulai melihat bahwa perubahan ini merupakan langkah nyata memperkuat independensi Pengadilan Pajak, sesuai semangat Putusan MK No. 10/2020.
Untuk mendapatkan perspektif yang lebih luas, penting mengkaji praktek pemilihan pimpinan pengadilan di berbagai negara. Setiap negara memiliki model tersendiri dalam menentukan pimpinan atau ketua pengadilan, dengan beragam keseimbangan antara legitimasi profesional (internal) dan akuntabilitas publik (eksternal). Berikut beberapa contoh model dari berbagai yurisdiksi.
Di Belanda, penunjukan pimpinan lembaga peradilan melibatkan peran eksekutif tetapi dengan kontrol kuat dari komunitas yudisial. Hakim-hakim agung Belanda (Hoge Raad) diangkat melalui proses di mana Mahkamah Agung Belanda merekomendasikan calon kepada menteri kehakiman, selanjutnya menteri mengajukan nominasi itu untuk persetujuan parlemen, sebelum diangkat secara resmi oleh Raja. Artinya, secara formal pemerintah dan parlemen terlibat, tetapi pilihan calon sangat ditentukan oleh rekomendasi internal dari kalangan hakim sendiri.
Negara ini menganut model yang memberikan kewenangan besar kepada lembaga self-governing judiciary (swakelola yudikatif). Ketua Mahkamah Agung Slovakia dipilih melalui sebuah pemilihan di Dewan Yudisial Slovakia (Judicial Council) yang independen.
Dewan Yudisial Slovakia terdiri dari campuran hakim dan perwakilan lain, tetapi mereka lah yang menentukan kandidat ketua. Prosesnya kompetitif, yaitu calon ketua dapat diajukan oleh sesama hakim (misalnya oleh Ketua MA petahana atau sekelompok hakim agung).
Model Slovakia memberikan legitimasi profesional yang kuat. Pemimpin MA dipilih oleh sebuah badan yang mayoritas anggotanya adalah hakim atau ditunjuk dengan mempertimbangkan kepentingan lembaga peradilan. Akuntabilitas publik dijaga melalui keberadaan anggota non-hakim dalam dewan (ada yang ditunjuk oleh legislatif atau eksekutif), sehingga kepentingan publik terwakili dalam proses tanpa mengorbankan independensi.
Di tingkat federal Amerika Serikat, model yang digunakan berbeda antara Mahkamah Agung AS dan pengadilan federal lain di bawahnya. Chief Justice of the United States (Ketua Mahkamah Agung AS) dipilih dengan model penunjukan politik, yaitu Presiden AS menunjuk seorang calon (dapat dari hakim agung yang sedang menjabat atau orang luar), kemudian harus melalui konfirmasi Senat.
Metode ini menempatkan akuntabilitas publik melalui cabang eksekutif dan legislatif terpilih sebagai penentu, sehingga ada kontrol demokratis siapa yang memimpin Mahkamah Agung. Namun, setelah diangkat, Ketua MA di AS (dan para hakim agung) memiliki masa jabatan seumur hidup (atau hingga pensiun sukarela) sehingga terjamin independensinya dari tekanan politik sehari-hari.
Pola ini memastikan legitimasi profesional melalui pengalaman, karena yang paling senior biasanya dianggap berpengalaman, dan menghindari politisasi (tidak perlu lobi atau penunjukan politik). Namun, akuntabilitas publik langsung nyaris tidak ada dalam mekanisme senioritas; akuntabilitasnya lebih bersifat internal (melalui catatan kinerja dan senioritas dianggap objektif).
Di Jerman, pemilihan atau penunjukan pimpinan pengadilan (misalnya Presiden Bundesverfassungsgericht – Mahkamah Konstitusi Federal, atau Präsident des Bundesgerichtshofs – Ketua Mahkamah Agung Federal untuk peradilan biasa) merupakan proses politis terkontrol.
Untuk Mahkamah Konstitusi Federal, sebanyak 2 lembaga legislatif (Bundestag dan Bundesrat) masing-masing memiliki kewenangan mengangkat 1/2 dari 16 hakim, dan secara tradisi kursi ketua dan wakil ketua dibagi di antara keduanya. Misalnya, Presiden MK dipilih dari hakim yang dicalonkan salah satu kamar legislatif, lalu disetujui oleh pleno parlemen.
Jadi, unsur politik sangat kental, karena partai-partai besar bernegosiasi menentukan siapa Ketua MK, meski kandidatnya pasti hakim yang cakap dan disegani. Hal ini memberikan akuntabilitas demokratis kuat (karena wakil rakyat terlibat) namun menimbulkan kritik potensi bagi-bagi jabatan politik.
Putusan MK 10/2020 menempatkan Indonesia sejalan dengan tren global yang mengutamakan independensi peradilan melalui mekanisme seleksi pimpinan yang berfokus pada legitimasi profesional.
Dengan menggeser kewenangan pemilihan ketua Pengadilan Pajak dari tangan eksekutif yaitu menteri keuangan ke internal hakim sendiri, Indonesia mengadopsi pola yang serupa dengan model peer election yang diterapkan di sejumlah negara, seperti Slovakia yang menggunakan mekanisme pemilihan oleh Judicial Council, atau sistem chamber vote di banyak negara bagian Amerika Serikat di mana para hakim memilih ketua di antara mereka.
Pola ini menegaskan bahwa komunitas hakimlah yang paling berwenang menentukan pemimpinnya, demi menjamin pimpinan tersebut diterima, dihormati, dan mampu menjaga keutuhan misi peradilan tanpa intervensi luar. Hal ini selaras dengan semangat independensi yudisial yang diamanatkan Pasal 24 UUD 1945 dan berbagai instrumen internasional.
Dibanding model Belanda atau Jerman yang memberi porsi besar pada eksekutif, langkah MK justru mengurangi peran eksekutif ke level administratif simbolis saja. Dari perspektif internasional, ini sejalan dengan rekomendasi Lilongwe Principles maupun standard Badan Peradilan internasional, misal UN Basic Principles on the Independence of Judiciary, yang menyarankan minimalisasi pengaruh cabang eksekutif dalam pengangkatan hakim/pimpinan pengadilan.
Prinsip Lilongwe menekankan seleksi oleh badan independen berbasis merit, dan Putusan MK No. 10/2020 pada dasarnya menciptakan mekanisme di mana para hakim sebagai aktor internal independen, yang melakukan seleksi berbasis penilaian mereka atas rekam jejak koleganya. Hal ini diharapkan memperkuat meritokrasi, karena hakim pajak tentu akan memilih figur yang kompeten dan berintegritas sebagai ketua, karena hal itu memengaruhi kinerja lembaganya sendiri.
Dari sisi sistem satu atap Mahkamah Agung, mekanisme baru ini mengintegrasikan Pengadilan Pajak lebih erat ke dalam keluarga Mahkamah Agung. Sebelum putusan MK, Pengadilan Pajak berada di posisi semi-otomom di bawah Kemenkeu.
Dengan pimpinan dipilih hakim dan disetujui Ketua MA, ada garis hierarki dan pembinaan yang jelas ke MA. Ini sejalan dengan praktik di banyak negara yang memiliki Unified Judiciary. Belanda misalnya, walaupun eksekutif mengangkat, tapi administrasi peradilan ditangani Raad voor de Rechtspraak (dewan yudisial) di bawah MA mereka.
Perbandingan dengan praktik di AS (federal) juga menarik. Di AS, demi independensi internal, digunakan sistem senioritas otomatis untuk ketua di pengadilan federal bawah. MK memilih bukan senioritas melainkan pemilihan langsung oleh hakim, sehingga hal ini bahkan lebih demokratik di internal lembaga dibanding AS.
Keduanya sama-sama menghindarkan lobi politik, karena di AS tak ada yang menunjuk langsung, sedangkan di Indonesia, pasca MK 10/2020 Menkeu tak bisa lagi memilih semaunya, hanya menyalurkan hasil pilihan hakim. Di sisi lain, akuntabilitas eksternal model MK 10/2020 bisa dikatakan lebih rendah daripada model political appointment.
Berbeda dengan misal model federal AS untuk Chief Justice atau model penunjukan di Jerman, publik secara langsung ataupun melalui wakilnya di legislatif, tidak punya suara dalam memilih Ketua Pengadilan Pajak.
Hal ini mungkin dipandang wajar mengingat Pengadilan Pajak adalah peradilan teknis dan bukan lembaga politik, sehingga mengedepankan profesionalitas lebih penting.
Namun, implikasinya perlu ada mekanisme akuntabilitas lain untuk memastikan pimpinan yang terpilih tetap memperhatikan pelayanan publik dan tidak hanya loyal pada korpsnya. Di negara lain yang memakai pemilihan internal, solusinya adalah memastikan transparansi proses dan akuntabilitas kinerja setelah menjabat, misalnya berupa target penyelesaian perkara, pengawasan kode etik, dan lainnya.
Berdasarkan perbandingan dengan beberapa negara lain, dapat disimpulkan bahwa Putusan MK 10/2020 sejalan dengan tren internasional yang mengutamakan meritokrasi dan independensi dalam pemilihan pimpinan pengadilan.
Dengan memberdayakan hakim memilih pemimpinnya, Pengadilan Pajak mengadopsi praktik serupa beberapa negara lain semisal Slovakia dan mayoritas negara-negara bagian di Amerika Serikat. Langkah ini juga memenuhi sebagian besar kriteria Lilongwe Principles – yakni proses yang imparsial, berbasis kelayakan, jauh dari intervensi politik.
Namun, dibanding beberapa negara lain, mekanisme Pengadilan Pajak pasca Putusan MK No. 10/2020 perlu menguatkan aspek transparansi agar publik dapat percaya sepenuhnya. Negara-negara maju yang peradilannya mandiri menekankan bahwa sekalipun pemilihan dilakukan internal, standar keterbukaan informasi dan akuntabilitas kinerja harus ada. Semangat Putusan MK adalah mendorong demokratisasi di tubuh peradilan, bukan eksklusivisme.
Demokratisasi internal memastikan pimpinan punya legitimasi dari bawah, bukan penunjukan atasan semata. Meritokrasi menjamin yang terpilih adalah yang terbaik secara kompetensi dan integritas. Akuntabilitas publik dapat diwujudkan tanpa mengorbankan independensi, misalnya melalui mekanisme pengawasan oleh lembaga seperti Komisi Yudisial atau melalui proses seleksi yang transparan.
Putusan MK 10/2020 telah membuka jalan bagi reformasi signifikan dalam tubuh Pengadilan Pajak, terutama dalam hal mekanisme pemilihan pimpinan yang lebih demokratis, partisipatif, dan independen.
Sementara itu, Putusan MK 26/2023 mengenai penyatuan atap Pengadilan Pajak di bawah Mahkamah Agung seharusnya tidak dimaknai sebagai kemunduran, melainkan sebagai peluang untuk memperkuat sistem peradilan pajak secara menyeluruh.
Mahkamah Agung perlu secara bijak merancang regulasi turunan agar independensi internal Pengadilan Pajak tetap terjamin meskipun status organisasinya kini di bawah MA.
Apabila tidak ada upaya menjaga semangat reformasi sebelumnya, dikhawatirkan independensi Pengadilan Pajak justru akan tergerus oleh sentralisasi kekuasaan. Risiko intervensi struktural dan hilangnya otonomi internal dapat mengganggu kinerja peradilan pajak dalam jangka panjang.
Padahal, tujuan akhir penyatuan atap adalah memperkuat integritas dan kualitas peradilan pajak, yang hanya dapat terwujud jika para hakimnya merasa independen baik secara eksternal maupun internal. Oleh karena itu, mempertahankan mekanisme pemilihan pimpinan secara internal dengan berbagai penyempurnaan prosedur adalah langkah strategis guna menghindari kemunduran. (sap)