Ilustrasi. (Foto: Shutterstock.com)
SUDAH lama sebetulnya kita menyadari risiko besar pelarian modal. Maklum, transaksi berjalan kita defisit sejak 2011. Indonesia juga tidak seperti Malaysia, Singapura atau Filipina, yang stok uangnya berlebih karena rasio menabung dan rasio nilai aktivasi bersih reksadananya jauh lebih tinggi.
Risiko pelarian modal kita relatif lebih besar karena pertumbuhan ekonomi kita tidak dibiayai uang kita sendiri. Itulah sebabnya, selama hampir 11 tahun terakhir, neraca transaksi berjalan kita terus defisit, terutama dari sisi pendapatan primer, sehingga harus ditopang utang luar negeri.
“Kalau neraca transaksi berjalan kita sudah positif, sudah baik, saat itulah kita betul-betul merdeka. Dengan siapa pun kita berani. Kita berani, karena tidak ada ketergantungan apa pun mengenai sisi keuangan, sisi ekonomi,” tegas Presiden Joko Widodo, dalam pidatonya awal tahun lalu.
Defisit pendapatan primer terutama berasal dari pendapatan investasi langsung berupa laba, dividen, dan bunga, serta investasi portofolio yang ditarik ke negara asal. Uang yang ditarik ke luar negeri ini jauh lebih besar dari uang orang Indonesia yang masuk dari investasi sejenis di negara lain.
Berbagai upaya sudah dilakukan untuk mengurangi besarnya risiko pelarian modal tersebut. Contohnya, ada pajak tambahan (branch profit tax) atas laba neto Bentuk Usaha Tetap (BUT) berupa pajak penghasilan (PPh) Pasal 26.
Pajak final itu dikenakan apabila laba tersebut tidak direinvestasikan ke Indonesia alias ditarik ke negara asal. Apabila laba neto itu ditanam kembali, pajak tambahan tersebut tidak dikenakan sepanjang memenuhi syarat tertentu.
Awal Maret ini, terbit Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang PPh, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN), serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
PMK 18/2021 ini mengecualikan dividen dari dalam dan luar negeri serta penghasilan setelah pajak BUT di luar negeri dan penghasilan dari luar negeri tidak melalui BUT sebagai objek PPh.
Sebelum PMK ini, dividen dalam negeri yang diterima oleh orang pribadi terkena PPh Final 10%. Sementara itu, untuk dividen atau penghasilan dari luar negeri dikenakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku secara umum.
Syarat pengecualian itu, penerima dividen/penghasilan melakukan investasi di Indonesia. Ada 12 instrumen investasi yang ditawarkan baik di dalam maupun di luar pasar keuangan. Misalnya bermitra dengan Lembaga Pengelola Investasi, surat berharga, sektor riil, hingga pinjaman usaha kecil.
Khusus dividen luar negeri bisa dikecualikan dengan syarat nilai investasinya 30% dari laba setelah pajak. Investasinya paling singkat 3 tahun dan dilakukan akhir bulan ke-3 untuk orang pribadi dan ke-4 untuk badan. Jika tidak terpenuhi, dividen/penghasilan itu diperlakukan sebagai objek PPh.
Pengecualian pajak dividen bersyarat ini jelas memberi sentimen positif bagi pasar modal. Nilai yang diterima investor akan menjadi lebih besar karena absennya faktor pengurang pajak. Dengan begitu, dana di pasar modal dapat bertahan sekaligus mencegah pelarian modal.
Pengecualian pajak dividen dalam negeri juga membuat tarif pajak efektif perseroan dikaitan dengan pemegang saham orang pribadi menjadi lebih kompetitif. Apalagi momentumnya bersamaan dengan penurunan tarif PPh badan, yaitu 22% untuk 2020 dan 2021 serta 20% mulai 2022.
Melalui rezim baru ini, Indonesia otomatis beralih dari classical system ke one-tier system. Implikasinya, tidak ada lagi pajak berganda di perusahaan, yaitu pajak yang ditarik atas laba perusahaan dan pajak yang ditarik ketika laba itu dibagikan dalam bentuk dividen.
Dengan demikian, sistem tersebut juga dengan sendirinya mengurangi perencanaan pajak agresif seperti praktik pembagian dividen terselubung atau re-routing investment dengan mengendalikan perusahaan dalam negeri melalui pendirian entitas usaha di luar negeri.
Lain halnya dengan dividen luar negeri. Rezim hybrid territorial ini diharapkan jadi pelumas masuknya dana yang selama ini diparkir dan sengaja dikunci di negara lain. Indonesia juga dapat dilirik jadi lokasi kantor pusat perusahaan multinasional dan mencegah praktik corporate inversion.
Kebijakan ini mendorong produktivitas modal di dalam negeri, karena laba tidak ditumpuk begitu saja untuk menghindari pajak dividen. Dengan demikian, ia mendorong distribusi dividen yang dapat direinvestasikan, menggerakkan ekonomi, dan mempersempit defisit transaksi berjalan. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.