Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa DJBC Nirwala Dwi Heryanto.
SEKITAR setahun terakhir, Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) menjalankan program penguatan reformasi kepabeanan dan cukai berkelanjutan. Salah satu agenda reformasi tersebut, yakni penguatan pelayanan, pemeriksaan, dan fasilitas, yang di dalamnya termasuk penataan kebijakan.
Upaya penataan kebijakan tersebut misalnya tecermin dari langkah DJBC mengubah sejumlah ketentuan di bidang kepabeanan dan cukai, baik dalam bentuk peraturan menteri keuangan (PMK) maupun peraturan dirjen (perdirjen). Penerbitan ketentuan baru tersebut kini makin mengakomodasi perubahan strategis yang disesuaikan dengan perkembangan teknologi digital.
Kepada DDTCNews, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa DJBC Nirwala Dwi Heryanto menjelaskan digitalisasi proses bisnis ini akan membuat pengawasan di bidang kepabeanan dan cukai makin akurat dan efisien. Namun demikian, dia menjamin penguatan pengawasan tersebut tidak akan mempersulit pengguna fasilitas. Berikut ini petikan lengkap wawancaranya:
Sudah 1 tahun DJBC menjalankan Program Reformasi Kepabeanan dan Cukai Berkelanjutan (PRKCB). Apa saja yang dilakukan?
Program ini merupakan bentuk perubahan terus menerus yang berbasis pada penguatan integritas dan perbaikan proses bisnis. Dalam PRKCB ini ada 4 inisiatif strategis yang didukung dengan pelaksanaan beberapa program terobosan. Kita bedah satu-satu, ya.
Pertama, inisiatif strategis penguatan integritas dan kelembagaan. Inisiatif ini dilaksanakan melalui program penguatan integritas pegawai dan penataan organisasi. Implementasinya, misalnya pembentukan 2 direktorat baru di kantor pusat. Lalu, penataan di unit vertikal berupa pergeseran wilayah kerja KPPBC Bekasi dan KPPBC Cikarang ke Kanwil Jakarta, serta pengembangan sumber daya manusia.
Beberapa output dan outcome strategis dari pelaksanaan inisiatif strategis antara lain telah dilakukan implementasi dan pembinaan jabatan fungsional pemeriksa bea dan cukai dan jabatan fungsional lainnya.
Saat ini sudah ada 3.043 jabatan fungsional. Ini setara 19% dari total 16.183 pegawai. Output lainnya, peningkatan peran kehumasan melalui integrasi pelayanan contact center (Bcare) dan publikasi.
Kedua, inisiatif strategis penguatan pelayanan dan pemeriksaan, yang dilaksanakan melalui program perbaikan proses bisnis pelayanan dan pemeriksaan yang berbasis IT secara solid, penataan kebijakan larangan dan pembatasan (lartas), serta pengembangan ekosistem logistik nasional (NLE).
Beberapa output dan outcome strategis dari pelaksanaan inisiatif strategis ini di antaranya menurunnya rata-rata customs clearance, yang sebelumnya 0,48 hari pada tahun 2021 menjadi 0,30 hari [pada 2022].
Ada juga implementasi proses bisnis NLE dengan bertambah 4 pelabuhan yaitu Dumai, Pontianak, Palembang, dan Bandar Lampung menjadi total 14 pelabuhan nasional sesuai dengan rekomendasi Strategi Nasional Pemberantasan Korupsi (Stranas-PK).
Ketiga, inisiatif strategis penguatan pencegahan dan penindakan pelanggaran. Implementasinya melalui program penertiban ekspor, impor, dan cukai; revitalisasi patroli laut dan pengawasan antarpulau; pemberantasan narkotika, kejahatan lintas negara, dan tindak pidana pencucian uang; serta pengembangan smart customs & data analytic.
Beberapa output dan outcome strategis dari pelaksanaan inisiatif ini antara lain telah dilaksanakan penindakan narkotika, psikotropika, dan prekursor sebanyak total 741 kasus. Juga telah dilaksanakan operasi gabungan dengan kementerian/lembaga lain.
Keempat, inisiatif strategis peningkatan penerimaan negara dan dukungan ekonomi. Caranya melalui program peningkatan kualitas pemeriksaan dalam rangka extra effort dengan realisasi mencapai Rp1,01 triliun.
Kemudian, ada pula optimalisasi joint program sinergi penerimaan negara yang meliputi joint analysis, joint audit, joint investigasi, joint collection, joint proses bisnis dan joint intelligence, secondment; assessment tax base kepabeanan dan pemantauan trade balance; ekstensifikasi barang kena cukai; serta dukungan PEN terkait insentif industri, investasi, dan klinik ekspor.
Beberapa output dan outcome strategis dari pelaksanaan inisiatif strategis ini antara lain capaian kegiatan joint program Kemenkeu sebesar 82,12%, dengan realisasi penerimaan mencapai Rp1 triliun.
Kemudian, ada peningkatan perusahaan penerima fasilitas yaitu untuk kawasan ekonomi khusus (KEK) sebanyak 18 perusahaan, tempat penimbunan berikat 1.761 perusahaan, impor tujuan ekspor (KITE) 339 perusahaan, dan KITE IKM 115 perusahaan.
Apa saja yang ingin dicapai melalui program reformasi berkelanjutan tersebut? Apakah pada akhirnya bakal berdampak pada penerimaan?
Sebenarnya tujuannya adalah meningkatkan kinerja dan kredibilitas organisasi, juga kepercayaan publik. Nah, sasaran lanjutan dari program reform ini adalah integritas pegawai bisa naik; pelayanan dan pemeriksaan lebih optimal; pencegahan dan penindakan yang efektif; serta penerimaan negara dan dukungan ekonomi yang optimal.
Mengacu pada 4 sasaran tersebut, program reformasi berkelanjutan ini tentunya jelas akan berdampak pada penerimaan, di mana peningkatan penerimaan negara merupakan salah satu outcome dari inisiatif strategis reformasi berkelanjutan terkait peningkatan penerimaan negara dan dukungan pemulihan ekonomi.
Apakah PRKCB juga tercermin dari penataan kebijakan di bidang kepabeanan dan cukai?
Penataan kebijakan bisa dilihat pada PRKCB khususnya di Inisiatif Strategis 2. Di dalamnya ada program penguatan pelayanan, pemeriksaan dan fasilitasi. Pada inisiatif strategis ini juga terdapat program terobosan berupa perbaikan proses bisnis (probis) pelayanan dan pemeriksaan (berbasis IT yang solid). Saat ini sedang dilaksanakan program penyelarasan probis-IT di DJBC, yang berdampak pada revisi regulasi existing untuk dapat mengakomodasi perubahan strategis yang disesuaikan dengan IT yang sedang disusun.
Beberapa regulasi yang telah terbit pada 2022 yakni PMK Keberatan (PMK 136/2022); PMK nilai pabean (PMK 144/2022); PMK ketentuan ekspor (PMK 155/2022); PMK barang kena cukai selesai dibuat (PMK 161/2022); serta PMK dokumen cukai (PMK 156/2022).
Selain itu, ada pula perdirjen bea dan cukai mengenai jalur kuning (PER 2/2022); perdirjen bea dan cukai mengenai reimpor (PER 4/2022); perdirjen bea dan cukai mengenai pemotongan kuota (PER 10/2022); keputusan bea dan cukai mengenai standar pengembangan SI DJBC.
Pada inisiatif penguatan pelayanan dan pemeriksaan dalam PRKC Berkelanjutan, adakah di dalamnya termasuk evaluasi terhadap fasilitas kepabeanan yang telah diberikan?
Kalau ini bisa dilihat di Inisiatif Strategis 4, di sana ada peningkatan penerimaan negara. Di dalamnya terdapat program terobosan terkait dukungan pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang beberapa program di dalamnya terkait evaluasi atas implementasi fasilitas kepabeanan di KEK dan evaluasi kawasan industri hasil tembakau (KIHT) existing.
Selain itu, dalam inisiatif strategis tersebut juga terdapat program kerja soal pengembangan SMART PCC (Sistem Manajemen Audit, Risiko dan Targeting Post-Clearance Control) yang bertujuan untuk meningkatkan pengawasan audit.
Dalam pemberian fasilitas kepabeanan selama ini, apakah pernah ada kasus fasilitas yang dicabut? Misalnya karena tidak menjalankan kewajibannya dengan benar?
Pemberian fasilitas kepabeanan merupakan salah satu upaya DJBC dalam menjalankan tugas dan fungsinya selaku trade facilitator dan industrial assistance. Namun, pemberian fasilitas tetap perlu dilakukan sesuai ketentuan, agar maksud dan tujuannya tercapai.
Terkait pemberian fasilitas pembebasan bea masuk, memang terdapat beberapa kondisi di mana fasilitas kepabeanan yang semula diberikan, dicabut karena tidak sesuai ketentuan. Pencabutan pemberian fasilitas dan penagihan ditujukan untuk memastikan pemberian insentif tepat sasaran sehingga tidak digunakan oleh pihak yang tidak berhak untuk memperoleh insentif.
Dengan proses bisnis yang beralih menjadi serba digital seperti saat ini, rasanya proses pemberian fasilitas dan pengawasannya makin ketat. Benarkah demikian?
Proses bisnis digital memang berkontribusi pada pengawasan yang dilakukan sehingga lebih akurat dan efisien. Pengawasan dengan memanfaatkan teknologi seperti data analytic dan monev [monitoring dan evaluasi] berbasis risiko pada prinsipnya merupakan pengawasan tanpa mempersulit pengguna fasilitas, melainkan bergerak secara simultan dengan pelayanan.
Misalnya profiling pengguna di awal masa pengajuan, pengawasan pada saat importasi dengan profiling risiko, dan monitoring realisasi dengan data analytic.
Proses bisnis yang serba digital juga mempermudah dan mempercepat pengguna jasa dalam mengajukan permohonan fasilitas.
Sejauh mana pemberian fasilitas kepabeanan ini efektif mendorong perekonomian, terutama sisi produksi dan ekspor?
Pemberian fasilitas kepabeanan ini terbukti memberikan sumbangan signifikan ke dalam laporan belanja perpajakan 2021, di antaranya adalah pembebasan bea masuk untuk impor barang dan bahan dalam rangka penanaman modal, serta barang pembangunan industri pembangkit tenaga listrik dengan nilai Rp2,99 triliun.
Pemberian fasilitas penanaman modal ditujukan untuk membantu infant industry sehingga mampu berkembang menjadi industri yang kuat. Salah satu biaya besar dalam industri adalah biaya logistik dan administrasi perpajakan sehingga dengan adanya insentif ini dapat mengurangi cash outflow perusahaan dan dapat dialokasikan untuk pengembangan usahanya seperti peningkatan tenaga kerja, penambahan, barang modal, dan sebagainya.
Dengan tumbuhnya industri, maka dari segi perekonomian akan turut mengalami kenaikan, dan berikutnya dari segi penerimaan perpajakan dari PPh perusahaan akan makin tinggi kontribusinya bagi negara.
Insentif lain yang diberikan adalah bea masuk ditanggung pemerintah (BMDTP) untuk industri terdampak Covid-19 pada tahun 2021 dengan nilai fasilitas Rp324 miliar. Sebagaimana diketahui pada masa pandemi terdapat pengurangan pasokan bahan baku dari luar negeri karena tiap negara melakukan kebijakan proteksi untuk memenuhi kebutuhan negaranya masing-masing. Akibatnya, harga bahan baku di pasaran menjadi makin tinggi.
BMDTP menjadi salah satu instrumen buffer untuk mengurangi biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk memenuhi kebutuhan bahan bakunya yang berasal dari impor. Pengurangan biaya ini mampu mendukung stabilitas perusahaan sehingga tetap dapat beroperasi dengan baik dan melindungi pekerja dari PHK.
Insentif lain yang diberikan DJBC adalah fasilitas berupa kawasan berikat dan fasilitas KITE. Pemberian kedua fasilitas ini ditujukan sebagai pendorong ekspor nasional untuk barang jadi yang bahan baku atau penolongnya berasal dari impor.
Pada tahun 2021, rasio ekspor terhadap impor fasilitas KITE tahun 2021 cenderung positif dan masih di poin 4,39. Artinya, setiap 1 rupiah impor menjadi 4,39 rupiah ekspor. Jumlah tenaga kerja yang diserap oleh perusahaan penerima fasilitas KITE dan KITE IKM adalah sebesar 333.210 orang dengan 95,50% adalah tenaga kerja lokal. Terakhir, nilai fasilitas yang diberikan kepada perusahaan KITE dan KITE IKM jika dibandingkan dengan nilai perpajakan yang diterima oleh negara adalah 10,88%.
DJBC biasanya mencatatkan kinerja penerimaan yang bagus setiap tahun, bahkan ketika pandemi Covid-19. Menurut Anda, apa kuncinya?
Memang saat 2020 itu penerimaan perpajakan terkontraksi 16,9% akibat pandemi Covid-19. Penerimaan kepabeanan dan cukai terkontraksi paling rendah sebesar 0,23%. Kemudian, pada 2021 tumbuh 26,3% sejalan dengan pemulihan ekonomi dan peningkatan harga komoditas.
Kunci kinerja penerimaan kepabeanan dan cukai sebenarnya ada pada beberapa faktor, terutama pemulihan ekonomi nasional. Pemulihan ekonomi inilah yang mendorong kinerja bea masuk mulai mengalami peningkatan sejak tahun 2021.
Kemudian, ada pula reformasi kepabeanan dan cukai. Sumbangan dari penerimaan cukai hasil tembakau pada masa pandemi juga membantu kinerja penerimaan perpajakan.
Selain itu, kenaikan harga komoditas baik mineral dan kelapa sawit sejak 2021 ikut membantu penerimaan bea keluar naik tajam, terutama akibat tren harga komoditas kelapa sawit dan kenaikan volume ekspor tembaga.
Di tengah upaya konsolidasi fiskal dan ketidakpastian global, bagaimana strategi pemerintah mengoptimalkan pendapatan dari kepabeanan dan cukai tahun ini?
Untuk mengoptimalkan pendapatan dari sektor kepabeanan dan cukai, ada 2 kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah.
Pertama, kebijakan umum perpajakan, yang terdiri atas strategi melanjutkan tren peningkatan penerimaan dengan menjaga efektivitas implementasi UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), serta memberikan insentif fiskal pada kegiatan ekonomi strategis yang mempunyai multiplier effect yang kuat bagi perekonomian.
Kemudian, pemerintah memperhatikan daya beli masyarakat dalam upaya meningkatkan penerimaan perpajakan, melakukan penggalian potensi dengan ekstensifikasi dan intensifikasi untuk penguatan basis pajak dan peningkatan kepatuhan, serta melakukan penguatan pengawasan dan penegakan hukum dengan lebih optimal; serta memastikan pencapaian target penerimaan perpajakan dilakukan dengan cermat dan hati-hati agar konsolidasi fiskal dapat berjalan dengan baik.
Sementara dari sisi kepabeanan dan cukai, strategi-strategi yang ditempuh berupa pengembangan ekosistem logistik nasional (NLE) dalam rangka mendorong efisiensi waktu dan biaya logistik nasional peningkatan efektivitas pengawasan pre-clearance, clearance, dan post-clearance (audit) kepabeanan dan cukai dalam mendorong peningkatan basis penerimaan dan kepatuhan pengguna jasa.
Kami juga melakukan harmonisasi kebijakan barang larangan dan/atau pembatasan dengan K/L terkait, serta optimalisasi kerja sama internasional di bidang kepabeanan dan cukai.
Selain itu, ada pula upaya intensifikasi cukai melalui penyesuaian tarif cukai, dan ekstensifikasi cukai melalui penambahan barang kena cukai baru berupa produk plastik dan minuman bergula dalam kemasan (MBDK).
Salah satu upaya optimalisasi adalah penambahan barang kena cukai (BKC) baru. Apakah rencana ini akan direalisasikan cukai pada produk plastik dan MBDK pada tahun ini?
Pengenaan cukai atas plastik dan minuman berpemanis telah disetujui DPR sejak tahun 2021. Namun untuk implementasinya belum dilaksanakan pada tahun 2022 karena sangat memperhatikan proses pemulihan ekonomi.
Pemerintah sangat berhati-hati dalam menerapkan pajak baru agar jangan sampai mengganggu momentum pemulihan ekonomi pasca pandemi covid-19.
Kira-kira apa saja yang akan menjadi pertimbangan pemerintah untuk kembali menunda atau merealisasikan penambahan BKC baru?
Pertimbangan utama pemerintah dalam merealisasikan penambahan BKC baru adalah situasi ekonomi di dalam negeri. Pemerintah akan mencari titik keseimbangan pemulihan ekonomi dan akan menggunakan instrumen kebijakan yang paling masuk akal untuk perekonomian Indonesia.
Mengingat dengan adanya kebijakan ini, tentu akan menambah beban baru bagi masyarakat. Pertimbangan lain adalah dari sisi kesiapan industri dan mempertimbangkan risiko inflasi yang bisa terjadi.
Hingga saat ini, sudah sejauh mana pembahasan teknis pengenaan cukai produk plastik dan MBDK di internal pemerintah? Mengingat pemerintah perlu menyampaikannya kepada DPR dan membuat PP.
Selain penyusunan kajian kelayakan pengenaan cukai terhadap MBDK, Kementerian Keuangan telah melakukan beberapa hal. Misalnya, perumusan rancangan peraturan pemerintah tentang penetapan barang kena cukai berupa MBDK, serta perumusan rancangan peraturan turunan (RPMK/RPDJ) yang mengatur mengenai mekanisme pemungutan cukai dan proses bisnis cukai lainnya.
Kemudian, Kementerian Keuangan juga mengidentifikasi kebutuhan sistem aplikasi layanan cukai, melakukan diskusi dan pembahasan secara berkelanjutan dengan pihak eksternal seperti Kementerian Kesehatan, akademisi, WHO, World Bank serta LSM di bidang Kesehatan, serta membentuk opini publik untuk membangun kepedulian masyarakat tentang pentingnya pengendalian konsumsi MBDK.
Di sisi lain, ada upaya menginventarisasi data terkait MBDK antara lain mengenai data perusahaan, jenis-jenis MBDK, kadar kandungan pemanis, pangsa pasar; serta pengenalan proses bisnis industri melalui kegiatan factory visit dalam rangka perumusan kebijakan teknis di bidang cukai.
Pengesahan UU HPP sepertinya membuat proses penambahan atau pengurangan BKC menjadi lebih sederhana. Bagaimana pandangan Anda?
UU HPP telah menyederhanakan proses penambahan atau pengurangan BKC dengan mengubah bunyi Pasal 4 ayat 2 UU Cukai beserta penjelasannya. Dengan perubahan tersebut, pembahasan rencana ekstensifikasi BKC di DPR dapat menjadi lebih cepat.
Simplifikasi proses yang diatur dalam UU HPP ini akan menjadi penguatan mekanisme dalam penerapan BKC. Dalam hal ini, penambahan atau pengurangan jenis BKC yang awalnya harus dilakukan sebanyak 2 kali, yaitu pada proses penyusunan PP dan proses masuknya target BKC baru dalam RUU APBN, sekarang cukup dapat disampaikan oleh pemerintah kepada DPR untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan RAPBN.
Menteri Keuangan telah mengumumkan kenaikan tarif cukai rokok rata-rata sebesar 10%. Menurut Anda, bagaimana kira-kira dampaknya terhadap upaya penurunan konsumsi rokok ini?
Kebijakan tarif cukai hasil tembakau untuk tahun 2023 dan 2024 telah mempertimbangkan 4 aspek yang menjadi pilar kebijakan, salah satunya adalah aspek kesehatan melalui pengendalian konsumsi rokok. Kenaikan tarif cukai dan HJE diharapkan akan mendisinsentif masyarakat untuk mengkonsumsi rokok dengan semakin mahalnya harga rokok di pasaran.
Salah satu parameter yang digunakan untuk mengukur keterjangkauan harga rokok di pasaran adalah affordability index. Kenaikan tarif cukai hasil tembakau rata-rata sebesar 10% diperkirakan akan mendorong affordability index rokok menjadi 15,68% di tahun 2023, dari sebelumnya 14,87%. Hal ini mengindikasikan harga rokok semakin tidak terjangkau.
Salah satu kekhawatiran dari kenaikan tarif cukai adalah naiknya peredaran rokok ilegal di pasar. Apakah DJBC akan menggencarkan penindakan terhadap rokok dan BKC ilegal?
Kegiatan pemberantasan rokok ilegal telah menjadi agenda tahunan bagi DJBC dan instansi vertikal di seluruh Indonesia. Ke depannya DJBC berkomitmen akan meningkatkan cakupan, akurasi, dan intensitas operasi pemberantasan rokok ilegal.
Selain itu, juga DJBC akan mengaktualisasikan pengawasan rokok ilegal yang sifatnya preventif dan preemptive melalui penelitian dokumen cukai, guna menciptakan mekanisme early warning.
Pemerintah akan menerapkan prinsip ultimum remedium dalam menangani pelanggaran di bidang cukai, sebagaimana diatur dalam UU HPP. Bagaimana pandangan Anda mengenai dampak kebijakan ini terhadap kepatuhan pengusaha ke depan?
Penghentian tindak pidana cukai untuk kepentingan penerimaan negara atau ultimum remedium dimaksudkan untuk mengakhirkan proses pidana penjara dalam penyelesaian perkara pidana dan memaksimalkan pemulihan kerugian negara di bidang cukai dengan pembayaran sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 kali akibat tindak pidana yang dilakukan oleh yang bersangkutan.
Selain itu, pengenaan sanksi administrasi yang besar yaitu berupa denda sebesar 4 kali dari nilai cukai yang seharusnya dibayar dimaksudkan juga untuk percepatan penyelesaian perkara, namun tetap mempertimbangkan efek jera kepada orang yang pernah melanggar pidana cukai untuk tidak mengulangi perbuatannya atau membuat orang tidak mencoba melanggar pasal pidana cukai.
Ketika jumlah pelanggaran pidana cukai berkurang dapat diartikan kepatuhan pengusaha BKC meningkat. Namun, dalam meningkatkan kepatuhan pengusaha BKC tetap tidak hanya mengandalkan penerapan ultimum remedium saja, [melainkan] terus dilakukan pembinaan dan mekanisme pengawasan yang berlaku. (sap)