Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara. (Foto: Kemenkeu)
PANDEMI Covid-19 telah memberikan tekanan berat kepada perekonomian nasional. Dalam situasi genting ini, pemerintah menggunakan APBN sebagai bantalan agar ekonomi tidak terperosok makin dalam.
Di sisi lain, kondisi perekonomian 2021 diperkirakan juga masih akan menantang karena masih dibayangi pandemi Covid-19. Secara bersamaan, pemerintah juga mengharapkan bisa segera memulai langkah konsolidasi fiskal.
DDTCNews berkesempatan mewawancarai Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara untuk mengetahui strategi pemerintah dalam menjalankan kebijakan fiskal tahun depan. Dari sisi penerimaan pajak, perluasan basis pajak menjadi andalan. Berikut petikannya.
Bagaimana outlook perekonomian Indonesia 2021 setelah terjadi resesi ini? Kira-kira, motor pertumbuhannya dari mana?
Untuk pertumbuhannya ke depan, biasanya kalau perekonomian itu kontraksi di satu tahun maka di tahun berikutnya asal kondisinya enggak memburuk habis-habisan, dia membaik. Ada technical rebound. Jadi basisnya tahun ini yang rendah, lalu dikombinasikan dengan pemulihan.
Kita akan punya dua efek itu tahun depan, yakni technical rebound dan pemulihan. Pemulihan itu dari confidence karena kami berusaha semoga vaksinasi segera dimulai sehingga orang punya confidence. Hal ini ini yang sekarang mau kami cari, termasuk dengan vaksin. Karena itu, di tahun depan, kami memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan bisa kembali naik.
Karena itu, pada APBN 2021, kami memperkirakan pertumbuhan ekonomi berada pada range sekitar 4,5% sampai 5,5%. Kalau titik tengah yang kami pakai sekitar 5%. Itu kombinasi yang tadi, technical rebound dan pemulihan ekonomi. Kita lihat nanti.
Jika technical rebound, ada risiko pertumbuhan ekonomi melambat lagi. Apa prasyarat agar pertumbuhan ekonomi ini stabil?
Prayaratnya adalah pertumbuhan itu jangan sebagian besar gara-gara technical rebound-nya. Jadi technical rebound oke, tapi komponen utamanya itu harus pemulihan.
Pemulihan itu kata kuncinya, yaitu masyarakat yang mulai lagi melakukan kegiatan ekonomi, melakukan konsumsi, dan membayar pajak. Nanti, investasi juga terus ajeg. Ekspor-impor juga seperti itu. Nah, saat pandemi, government expenditure itu jadi bantalan.
Ketika semua negatif, ini bantalnya defisit [anggaran] jadi 6,3% [terhadap PDB]. Kalau konsumsi bisa naik, investasi naik, dan ekspor pulih maka beban dari government expenditure bisa kita easing down. Belanja negara bukan dari sumber utama lagi.
Namun, ini tergantung dari gas dan rem. Tergantung situasi kesehatannya. Ini yang membuat kami selalu mengatakan, Bu Menteri [Keuangan] juga sudah sampaikan, APBN ini mesti fleksibel, harus responsif terhadap situasi itu. APBN pada saat pandemi harus begitu.
Apakah dapat diartikan tahun depan belum tentu dimulai konsolidasi fiskal?
Konsolidasi fiskal itu elemen utamanya dua aja. Penerimaan baik pajak, cukai, maupun PNBP (penerimaan negara bukan pajak) naik atau belanjanya kami efisienkan. Konsolidasi fiskalnya, eventually adalah mengembalikan defisit fiskal ke bawah 3% [terhadap PDB].
Anda bisa bayangkan. Kalau sekarang defisit fiskalnya 6% lalu mau dikembalikan ke 3% [pada 2023], kan harus kita konsolidasi. Apakah revenue kita naikkan sehingga selisih antara revenue dengan belanja mengecil atau kombinasi dengan belanja kita efisienkan sehingga selisihnya juga mengecil.
Ini yang mesti kami lakukan bersama-sama dengan pemulihan tadi. Mesti dilakukan pada saat yang bersama-sama karena kami sudah mengatakan [defisit APBN] Indonesia harus kembali ke bawah 3%. Itu sumber kredibilitas kita selama ini, defisit di bawah 3%.
Di beberapa kesempatan, saya selalu bilang Indonesia itu terkenal disiplin. Defisit kita enggak pernah di atas 3%. Jadi, pada saat kami bilang perlu defisit lebih dari 3% karena pengeluaran pemerintah harus jadi bantal, kami tetep menjaga narasi disiplin itu.
Dalam jangka menengah, ya konsolidasi fiskal. Namun, kami melihat kondisi ekonominya, kondisi kesehatannya. Itu kombinasi yang mesti kami lakukan.
Artinya konsolidasi fiskal tapi tetap fleksibel…
Ya, konsolidasi fiskal tapi harus mempertahankan fleksibilitas. Kalau Anda bisa menjamin berapa jumlah Covid ke depan, kalau Anda bisa kasih tahu berapa yang kena infeksi 6 bulan ke depan, kami bisa lock semua angka. Tapi kan kita tidak tahu pastinya.
UU Cipta Kerja sudah memuat bidang perpajakan. Apa sasaran pemerintah di balik munculnya bidang perpajakan itu?
Kalau ingat ya, beberapa tahun yang lalu, awal-awal saya masuk BKF itu mau merevisi UU PPh dan UU PPN. Nah itu, kemudian kan berevolusi. Dalam evolusinya itu, begitu kami melakukan UU Cipta Kerja, kami memikirkan, masukkan saja ke situ karena ada beberapa hal yang fundamental.
Beberapa hal yang fundamental itu termasuk soal PPh badan, investasi SDM (sumber daya manusia), pajak digital, penalti pajak. Terkait dengan penalti, kami dulu dapat masukan orang menganggap penaltinya gede banget sehingga daripada punya probabilitas terkena, ya sudah ngumpet saja.
Pada waktu kami pikirkan beberapa perbaikan pajak, ini salah satu concern. Penalti pajak itu harus comparable dengan logika. Misalnya, saya punya utang, tapi saat ini enggak mau bayar pajak dulu, karena mau banding. Nah, oleh Ditjen Pajak kan ditetapkan saya punya utang pajak, dan penalti.
Uangnya saya simpan di deposito dan dapat bunga. Nah, besar penaltinya itu seharusnya comparable dengan dengan bunga yang didapat. Itu akan membuat penalti cukup fair meskipun ada penalti tambahannya sedikit. Tapi dia cukup fair kalau logika berpikirnya begitu.
Apakah adanya bidang perpajakan pada UU Cipta Kerja membuat rencana revisi masing-masing paket UU pajak tidak dilanjutkan?
Esensi utamanya ada di UU Cipta Kerja, kami melihat saja progres ke depannya. Apakah kita masih butuh perbaikan di level undang-undang lagi atau di UU Cipta Kerja kemarin itu sudah cukup untuk menjadi platform bidang usaha kita dan para wajib pajak untuk pick up di masa pemulihan ini.
Kalau undang-undang nanti kami melihat cukup, ya sudah ini yang jadi platformnya. Namun, yang namanya pajak, ya Anda tahu sendiri, setiap periode atau waktu selalu ada ide baru. Nah, tergantung nanti. Kalau ada ide baru, membutuhkan revisi peraturan di level mana.
Nah, kebetulan kalau dia membutuhkan revisi peraturan tingkat undang-undang, beberapa yang fundamental sudah kami taruh di UU Cipta Kerja itu. Nanti kalau ada evolusi lagi, kami lihat seperti apa PPh, PPN, atau yang lainnya.
Artinya untuk sekarang cukup dengan semuanya masuk di dalam UU Cipta Kerja?
Sekarang kita jalani UU Cipta Kerja ini. Kami menyiapkan beberapa peraturan turunan. Pak Suryo di DJP dan Pak Febrio di BKF mendesain beberapa peraturan turunan dari UU Cipta Kerja kemarin, khusus yang perpajakan.
Menkeu pernah menyatakan akan ada upaya perluasan basis pajak. Apakah ini artinya akan ada jenis pajak baru atau bagaimana?
Kita tahu jumlah orang yang membayar pajak di Indonesia, pemilik NPWP, itu rendah banget. Ini kan masalah klasik dari dulu juga, mengapa enggak nambah-nambah. Kita punya PR (pekerjaan rumah) untuk meningkatkan ekstensifikasi. Ketika kita masuk ke pandemi kayak begini, kerasa banget.
Kalau basis pajak itu sempit kita jadi sangat vulnerable. Perluasan pajak itu menjadi penting karena dalam situasi seperti ini, seharusnya oke deh saat lagi pandemi orang lagi kena pressure jadi enggak bayar pajak. Namun, begitu pemulihan, inilah sumbernya, termasuk untuk konsolidasi fiskal tadi.
Seperti halnya semua yang punya NPWP, menerima gaji, dipotong pajak, dan bayar pajak. Kalau pemulihan, kemarin compliance-nya cukup tinggi, penerimaan pajak pribadi otomatis lebih. Nah sekarang, kita menganggap harus ada ekstensifikasi dalam jumlah wajib pajak dan jumlah dunia usaha.
Sebenarnya kelompok yang UMKM pun adalah basis wajib pajak kita dan tentunya tadi yang disebut orang-orang kaya. Golongan menengah ke atas juga basis pajak kita. Mungkin dalam jangka pendek, kebijakan PPh yang paling utama adalah menurunkan tarif PPh badan.
PPh OP memang sengaja kami enggak sentuh dulu. Ini karena PPh OP, menurut kami, yang membayar adalah orang yang dengan penghasilannya relatif lebih tinggi. Kalau PPh badan itu kita ingin meningkatkan compliance, selain kita juga ingin membuat PPh badan kita lebih kompetitif dibandingkan dengan Asia Tenggara.
Kami yakin dunia usaha usaha harus di-invite masuk. Kami berharap ini akan meningkatkan basis pajak kita. Walaupun ini masalah tarif tapi kemudian bisa meningkatkan basis pajak.
Ekstensifikasi artinya penerimaan dinaikkan, tapi Menkeu menyebut jangan sampai pajak mengganggu pemulihan. Bagaimana ini?
Kami memang mesti mencari terus formatnya. Jadi, kami terus saja melihat dunia usaha itu. Kami melakukan terus analisis sektor riilnya. Mana saja yang berkembang. Saya berdiskusi agak intensif dengan BKF mengenai sektor mana sih yang kira-kira masih terkena pressure, nanti kita bantu.
Yang survive mesti kita dorong supaya jadi penarik, punya multiplier impact dan seterusnya. Nah, yang kena pressure kami dorong. Tujuannya supaya kegiatan ekonomi berkembang dan berputar sehingga membantu pemulihan. Pada saatnya, pajak otomatis akan bergerak.
Itu dari satu sisi bahwa konsolidasi fiskalnya akan perlu penerimaan pajak. Namun, kami juga enggak terlalu cepat memajaki dunia usaha yang sedang mulai pulih. Malah kalau ada yang butuh insentif, kami siap memberikan insentif. Kasih tahu ke kami. Selama ini, insentif itu kami berikan.
Kami enggak pernah khawatir memberikan insentif itu selama kami tahu apa tujuannya. Tujuannya adalah memberi support kepada yang lagi berat cash flow-nya. Namun, kalau pada saatnya bayar pajak, kami juga mau menekan Anda sudah saatnya membayar pajak.
Jadi, memang ini ada balancing. Nah, ini yang perlu kami cari terus dan dari waktu ke waktu. Mindset kami itu selalu begitu, selalu mencari balance.
Untuk basis pajak baru, Anda menyebut pajak digital. Sampai kapan kita menunggu konsensus global hingga bisa memungut PPh-nya?
Saya mau membagi dua jawabannya. PPN dulu, yang sifatnya transaksi. Transaksinya itu saya yakin banget sekarang gede sekali. Anda sering download lagu, nonton Netflix. Kalau nontonnya di bioskop ada PPN. Di Netflix belum ada yang nge-charge PPN, belum ada yang ngejar PPN.
Dengan Perpu 1/2020 atau UU 2/2020, DJP sudah mulai kan kemarin menunjuk beberapa perusahaan layanan sebagai wajib pungut untuk PPN. Itu sudah bergulir. Di dunia internasional juga kayaknya disepakati, no dispute.
Dispute-nya adalah saat mendiskusikan pajak penghasilan karena negara konsumen mengatakan perusahaan digital yang ada di negara produsen itu berjualan dan memperoleh revenue dari negara konsumen.
Kalau negara produsen bilangnya perusahaannya ini kan di negara saya dan entitasnya di negara saya sehingga bayar pajaknya juga di entitasnya tempat dia berada dong. Saya tidak bicara ini negara maju dan negara berkembang, tapi negara konsumen dan negara produsen.
Makanya, di G20 itu beberapa tahun terakhir selalu ngomongin begini karena negara G20 itu dengan PDB terbesar. Sebagian negara produsen dan sebagian negara konsumen. Ya dia produsen, dia konsumen, terus saling beli antarnegara, dan saling klaim. Makanya, diputuskan OECD sebagai think tank G20, disuruh mengkaji ini.
Anda mungkin ngikutin yang namanya BEPS (base erosion and profit shifting). BEPS itu mulainya sama seperti pajak digital ini. Awalnya saling lihat-lihatan. Itu wajib pajak pindah ke negara kamu karena kamu kasih tarif pajak kecil. Makanya, bikin kesepakatan.
Rasanya pajak digital seperti ini juga. Dia bukan sesuatu yang cepat lalu ada solusi. Kami sih berharap tahun depan ada solusinya karena tahun lalu ada framework, ada mekanisme, ada kesepakatan. Semoga tahun depan ada formula yang bisa disepakati, diratifikasi, dan kemudian diterapkan.
Saya membayangkan bahwa kesepakatan itu akan tercapai, tapi memang dimensinya akan tambah tinggi. Apalagi, ke depan, dengan di awal tahun ini ada pandemi Covid, digital ini the way to go. Ini masa depan kita.
Otoritas sempat menyebut upaya pengamanan penerimaan, terutama pajak, tahun depan masih akan menantang. Apa tantangan besarnya?
Saya rasa tetap kondisi perekonomian. Keyakinan kita bahwa penerimaan pajak itu adalah kebutuhan pendanaan pembangunan. Namun, pajak itu, pada saat bersamaan, dikumpulkan dari kegiatan ekonomi.
Melihat balancing kedua itu menjadi sangat-sangat penting apalagi di situasi pandemi seperti ini. Pajak itu punya role menarik uang kepada pemerintah, tapi pada saat bersamaan, pemerintah punya kewajiban mendorong perekonomian berputar.
Khusus dari sisi pajak, penting dalam pandemi yang penuh tantangan ini untuk membuat balancing yang baik. Kapan mampu menarik pajak? Dari sektor mana? Dengan balancing kapan kasih insentif ke sektor mana? Ini yang menjadi balancing sangat penting dan delicate dalam makro fiskalnya.
Ini yang selalu jadi tantangan. Sebenarnya tantangan periode normal ya seperti itu juga. Namun, dengan pandemi ini, lebih sensitif. Mengumpulkan pajak dari kegiatan apa? Memberi insentif ke siapa dan sektor mana? Dengan kombinasi keduanya, APBN cukup dan perekonomiannya berputar. (Pewawancara: Dian Kurniati, Kurniawan Agung Wicaksono, Bastanul Siregar)