Director of WU Global Tax Policy Center Prof. Dr. Jeffrey Owens.
SENGKETA pajak dalam skala global diprediksi akan terus meningkat. Fenomena sengketa tidak hanya akan menyentuh antarotoritas pajak, tapi juga melibatkan lebih banyak entitas usaha yang melakukan bisnis lintas yurisdiksi.
Ramalan ini diungkapkan Director of WU Global Tax Policy Center Prof. Dr. Jeffrey Owens. Menurutnya, jurang perkembangan perpajakan antara negara maju dan berkembang terlampau lebar untuk dijembatani dengan mekanisme Advance Pricing Agreements (APA) dan Mutual Agreement Procedures (MAP).
Kedua mekanisme itu justru akan mengakselerasi peningkatan sengketa pajak internasional. Tsunami sengkata pajak disebut akan terjadi jika tidak ada perubahan mendasar dari sistem perpajakan internasional. Berikut kutipan wawancara InsideTax dengan Prof. Dr. Jeffrey Owens baru-baru ini di Mumbai India:
Anda menyebut tentang tsunami sengketa pajak, maksudnya?
Pada dasarnya kita akan memasuki periode yang sangat tidak pasti. Ini dikarenakan Anda memiliki peraturan baru dengan periode transisi yang panjang. Selama periode transisi itu, kita akan mendapatkan banyak sengketa pajak lintas batas (cross-border tax dispute).
Dahulu, sengketa pajak terjadi antara beberapa negara saja. Namun, saat ini bisa terjadi sengketa antara negara anggota OECD dan negara berkembang dan antarnegara berkembang itu sendiri, termasuk Indonesia.
Ini akan mengubah proses demokratisasi MAP [Mutual Agreement Procedure] dan kian banyak negara yang masuk ke MAP. Pertanyaannya, apakah mekanisme MAP dapat mengatasi tsunami sengketa pajak ini.
Apa dampak sengketa ini untuk negara berkembang?
Sengketa lintas batas yang tidak terselesaikan itu akan menciptakan ketidakpastian pajak dan menghambat investasi. Ya, karena bisnis tidak suka itu dan bisnis tidak akan suka jika tidak tahu berapa banyak pajak yang harus dibayar. Itu berkaitan dengan semua area, tidak hanya teknis pajak.
Bagaimana Anda sediakan lingkungan bisnis yang kondusif untuk investasi. Kita harus memikirkan kembali pendekatan tradisional yang kita miliki. Kita harus melihat penggunaan mediasi sebagai sesuatu yang tidak merugikan orang terlalu banyak.
Mediasi yang saya pikirkan adalah apa yang saya sebut mekanisme penyelesaian alternatif sengketa (alternative dispute resolution). Hal ini bisa sangat efektif untuk tingkat domestik dan bahkan dalam konteks MAP.
Ini dikarenakan mediasi adalah tentang berbicara satu sama lain untuk mendapatkan pemahaman antara wajib pajak dan pengelola administrasi pajak. Saya berbicara dengan banyak ahli dari banyak negara karena terkadang memfasilitasi dialog itu.
Kita membutuhkan mereka untuk melangkah lebih jauh dan melihat arbitrase atau Mandatory Dispute Settlement (MDS). Ini yang menurut saya paling efektif agar perselisihan lintas batas diselesaikan secara komprehensif. Masalahnya banyak negara berkembang tidak menyukai hal itu karena mengganggu kedaulatan pajaknya.
Apa masalah dalam sistem yang berlaku saat ini?
Masalahnya adalah proses penyelesaian sengketa pajak antarnegara cenderung bias. Kemudian, proses penyelesaian sengketa dengan negara OECD juga sangat mahal. Kebanyakan negara berkembang tidak memiliki kapasitas untuk terlibat di dalamnya.
Mereka tidak cukup akrab dengan prosedur MAP. Beberapa dari mereka tidak pernah menggunakan MAP. Kemudian belum lagi soal kurangnya transparansi. Jadi, kita melihat ini sebagai suatu masalah yang selanjutnya membutuhkan sesuatu yang baru.
Itulah yang akan kami lakukan di WU Vienna dengan kelompok multi-stakeholder, mencoba memasukkan kerangka kerja lembaga baru. Organisasi tersebut akan memberikan ruang kepercayaan kepada negara-negara berkembang untuk masuk dalam proses penyelesaian sengketa.
Bagaimana skemanya?
Bisa jadi lembaga tersebut di bawah naungan PBB dan mengidentifikasi kriteria masalah sengketa. Kemudian, setiap negara akan memilih orang yang diusulkan yang bisa menjadi perwakilan para mediator dan arbiter. Lembaga itu sangat seimbang dalam proses ini.
Misalnya, Anda dari negara maju atau negara berkembang bisa bebas menunjuk perwakilan dari berbagai latar belakang seperti agama, gender, dan kemudian menyeimbangkannya. Misalnya, dua yurisdiksi yang masuk dalam proses sengketa, dalam penyelesaian harus memilih perwakilan.
Jika ada sengketa pajak antara Inggris dan Indonesia, maka masing-masing pihak harus menunjuk panel yang terdiri dari 25-30 orang. Misalnya, panel dari Inggris dan Indonesia tidak bisa diwakili dari negara mereka kemudian menunjuk panel dari China misalnya.
Yang jadi pertanyaan dari ide ini mungkin bagaimana Anda menanggung seluruh biaya dari proses penyelesaian sengketa ini. Kemudian, masih ada masalah soal transparansi terkait keputusan yang diambil lembaga arbitrase. Bagaimana negara berkembang menanggung semua biaya itu, apakah dari hibah atau mengambil pinjaman dari lembaga multilateral.
Ini ide ambisius, tapi kita perlu berpikir visioner dan bagi saya ini adalah jalan ke masa depan. Ini bisa membantu penyelesaian sengketa pajak, kita bisa maju dengan beberapa perdebatan terkait ide ini dalam konteks unified approach yang saat ini tengah dibahas OECD.
Bagaimana Anda melihat proses konsensus global ini mengatasi tantangan ekonomi digital?
Aspek kunci dalam masalah ini adalah pentingnya satu kriteria atau pendekatan yang akan digunakan oleh OECD untuk menjawab tantangan dari ekonomi digital. Anda [Pemerintah Indonesia] mempunyai pilihan untuk setuju atau tidak setuju dengan apa yang dihasilkan oleh OECD.
Kriteria pertama yang penting adalah menyepakati prinsip dasar yang menggarisbawahi solusi apapun yang akan dihasilkan. Pasalnya, hal tersebut akan menjadi dasar dari proses pemajakan atas entitas digital.
Kemudian, kriteria kedua adalah adanya konsensus nyata, yaitu dari orang-orang yang duduk di sekeliling meja memahami proposal itu dan kemudian mengatakan ya dengan suara keras, kami setuju dengan mereka.
Kriteria ketiga, apakah layak secara administratif dan otoritas domestik dapat mengimplementasikan hal tersebut. Ini benar-benar bagian penting bagi negara berkembang. Mereka tidak memiliki kapasitas seperti negara maju, seperti Anda [Indonesia] dan India memilikinya.
Jadi pertanyaannya adalah apapun yang muncul dengan konsensus OECD adalah dapatkah itu benarbenar diterapkan dan dipraktikkan secara konsisten. Selain itu, kriteria terakhir adalah redistribusi pendapatan yang dihasilkan.
Ini karena tidak seperti BEPS pertama tentang kepatuhan, yang satu ini tentang redistribusi pendapatan adalah hasil dari berkurangnya potensi pendapatan. Apakah itu dianggap adil oleh politisi, LSM, dan masyarakatnya.
Jadi, Anda harus memenuhi keempat kriteria itu untuk memiliki posisi konsensus yang akan bertahan dalam waktu lama. Jadi itulah yang saya sebut sebagai konsensus aktif, di mana negara berkembang lebih siap berdiri dan mengatakan ya, kita suka ini semua. Dan jika Anda tidak menyukainya, maka Anda perlu meletakkan sesuatu di atas meja untuk dirundingkan ulang.
Bagaimana dengan sengketa pajak terkait dengan ekonomi digital?
Nah, Anda tahu alasan dari negaranegara dalam menerapkan aksi sepihak atas layanan digital seperti India dengan Equalization Levy? Karena mereka menganggap dan melihat bahwa akan sulit untuk mendapatkan konsensus.
Ada banyak tekanan politik bagi negara tersebut untuk bertindak, sehingga tidak mudah bagi mereka mengimplementasikan langkahlangkah ini di beberapa negara. Jadi, saya melihat ada kebutuhan politik dari aksi unilateral pajak layanan digital seperti yang dilakukan Prancis dan Australia.
Sudah ada sekitar 21 negara melakukan aksi unilateral. Sekarang yang dikatakan negara-negara ini adalah sekali ada perjanjian global, mereka akan meninjau rezim-rezim pajak itu. Apakah yang ditinjau adalah dengan menghapus digital services tax (DST), saya belum tahu. Jadi, itulah latar belakangnya.
Saya memikirkan seluruh persoalan ini, di mana perdebatan kebijakan antarnegara kemudian menjurus pada ketegangan perdagangan. Itu yang saat ini terjadi antara Amerika Serikat dan Prancis.
Dalam situasi ini, apa aspek utama yang harus dipertimbangkan?
Bagi saya, kuncinya sekarang adalah dapatkah OECD di sini dapat memberikan persetujuan sistem konsensus nyata di mana semua negara itu bisa mengimplementasikannya. Bukankah sebuah konsensus itu harus memiliki substansi di dalamnya?
Itu tidak boleh menjadi pembatas dan tidak boleh menutupi perbedaan. Harus ada konsensus nyata tentang apa solusinya dan dalam beberapa hal, penting untuk menggabungkan konsensus dengan substansi. Anda harus melakukannya dengan benar.
Itu berarti aturan teknis harus benar dan itu sulit dicapai dalam jenis kerangka waktu yang pendek saat ini. Kerangka solusi baru yang disajikan akhir-akhir ini mencoba memikirkan untuk mendapatkan solusi pada Januari atau bahkan pada November 2020 saat pertemuan KTT G20.
Ada banyak pekerjaan teknis yang perlu dilakukan sebelum kita menempatkan konsensus dalam sebuah sistem. Hal itu tidak hanya dimasukkan ke dalam sistem yang berfungsi hari ini. Konsensus ini dimasukkan ke dalam sistem yang berfungsi selama 50 tahun ke depan dan itu sangat penting bagi negara seperti Indonesia.
Bagaimana agar konsensus dapat dijalankan secara efektif?
Semua yang keluar dari OECD adalah soft law dan tidak memaksa. Jadi, itu bukan kewajiban hukum yang harus ditaati. Tentu saja, jika Indonesia menjadi bagian dari proses, harapannya Anda setia untuk menerapkan pajak minimum.
Apa perspektif Anda terkait pajak minimum bagi negara di Asia? Asia adalah daerah yang sangat kompetitif dalam dimensi tarif pajak. Jika pajak minimum bisa memberi solusi atas fenomena race to the bottom, itu hal yang baik.
Namun, sebagai gantinya pajak minimum akan menghilangkan sebagian kedaulatan Anda untuk merancang insentif pajak. Apakah itu hal yang baik atau tidak? Itu adalah keputusan politik. Banyak dari insentif ini berpengaruh kecil dalam membawa investasi baru.
Apakah Anda optimistis akan tercapainya konsensus global?
Sangat sulit mengatakannya. Kita belum mengetahui posisi Amerika Serikat hingga saat ini. Namun, kondisi saat ini cukup sulit. Ini karena ada agenda konsensus pada Januari dan pada saat yang bersamaan ada situasi betapa sulitnya menyatukan berbagai kepentingan untuk mengerjakan satu perincian proposal yang baik.
Jika tidak ada konsensus, apa yang akan terjadi? Peraturan pajak internasional bisa dibilang sangat muda. Kita semua berbicara tentang modifikasi, kadang-kadang signifikan. Kita akhirnya akan mendapatkan konsensus, pertanyaan kuncinya sekarang adalah kapan waktu proposal disepakati?
Ya, tentu ada tekanan politik untuk menyelesaikan hal itu dalam 6-8 bulan ke depan. Saya dapat melihat mengapa ada sedikit tekanan tetapi pada saat yang sama kita harus menyelesaikannya. Kita harus memperbaikinya karena apapun yang disepakati harus bertahan dalam waktu yang panjang.
Simak wawancara Director of WU Global Tax Policy Center Prof. Dr. Jeffrey Owens selengkapnya dalam majalah InsideTax edisi ke-41. Download majalah InsideTax di sini. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.