PESATNYA perkembangan teknologi memunculkan banyak pergeseran kultur, kebiasaan, serta perspektif dalam memaknai sebuah pekerjaan.
Teknologi kini juga menjelma sebagai katalisator di tengah masyarakat dalam mempertemukan permintaan dan penawaran atas sebuah pekerjaan dengan cara yang mudah, efektif, dan efisien. Salah satu pekerjaan yang sedang tren pada masa kini adalah digital nomad.
Istilah digital nomad pertama kali muncul pada 1997 yang merujuk pada ‘location-independent, technology-enabled lifestyle’. Artinya, pekerjaan yang bisa dikerjakan dari suatu tempat, tidak diperlukan kehadiran fisik dan didukung dengan teknologi (OECD, 2022).
Digital nomad tidak bergantung pada lokasi sehingga individu yang bersangkutan tidak harus tinggal atau bekerja di kota, negara, atau benua tertentu untuk menghasilkan uang.
Hannonen (2020) menjabarkan digital nomad melalui pendekatan kontemporer yang terbagi dalam 2 perspektif, yaitu kehidupan kerja dan gaya hidup.
Pertama, perspektif kehidupan kerja. Sudut pandang ini melihat digital nomad sebagai hasil dari perubahan kondisi kerja dan peningkatan pekerjaan secara mobile dan jarak jauh. Dalam perspektif ini, Muller (2016) memberikan definisi yang spesifik sebagai orang yang dapat bekerja bebas kapan dan di mana saja selama mereka membawa laptop dan memiliki akses internet.
Kedua, perspektif gaya hidup. Penentuan lokasi bekerja oleh digital nomad dapat dipengaruhi oleh tujuan untuk melakukan perjalanan. Dalam perspektif ini, digital nomad didefinisikan sebagai kemampuan individu untuk bekerja dari jarak jauh melalui laptop mereka dan menggunakan kebebasan mereka dari kantor untuk berkeliling dunia.
Merujuk pada perspektif kedua, digital nomad dapat membentuk gaya hidup bekerja dengan melakukan perjalanan, baik secara regional maupun internasional. OECD menyebutkan bahwa bekerja jarak jauh dapat memungkinkan untuk mengakses kualitas lingkungan yang lebih baik dan dapat memilih rezim pajak yang lebih menguntungkan.
Hannonen (2020) menyatakan perbedaan antara pekerja lepas dan digital nomad hanya terletak pada motivasi mereka dalam mengejar mobilitas serta kontrak kerja. Untuk para pekerja lepas, mobilitas perjalanan tidak menjadi hal yang utama. Selain itu, kontrak kerja yang mengikat umumnya berdurasi singkat.
Sementara itu, digital nomad umumnya mengejar mobilitas dengan pekerjaan digital, baik melalui kontrak singkat maupun sebagai pekerja tetap. Dapat ditarik kesimpulan bahwa sebagian digital nomad adalah pekerja lepas. Namun, tidak semua pekerja lepas adalah digital nomad. Sebagian digital nomad lainnya adalah pekerja tetap.
BILA ditinjau dari aspek pajak, mobilitas lintas negara memunculkan tantangan dalam penentuan hak pemajakan terhadap digital nomad. Setidaknya terdapat 2 faktor yang menyebabkan hal ini terjadi, yaitu faktor durasi perjalanan dan sumber penghasilan yang didapatkan.
Durasi perjalanan seorang digital nomad cenderung bervariasi. Hal ini bisa ditentukan juga berdasarkan pada jenis visa yang dimiliki. Beberapa negara telah menerapkan visa kerja khusus bagi digital nomad. Visa tersebut nantinya akan mengatur beberapa hal, salah satunya adalah durasi kunjungan digital nomad.
Bagaimana dengan Indonesia? Pemerintah Indonesia belum menetapkan peraturan khusus yang mengatur visa bagi digital nomad.Â
Namun, terdapat peraturan yang mengatur mengenai kebijakan durasi tenaga kerja, yaitu Peraturan Presiden No. 34/2021 (Perpres 34/2021). Hanya saja, peraturan tersebut tidak sesuai dengan konteks digital nomad karena profesi digital nomad tidak selalu berasal dari perusahaan Indonesia.
Bila hanya mengacu pada Perpres 34/2021 justru dapat menyulitkan otoritas pajak. Terutama ketika melacak digital nomad yang berkunjung sambil bekerja dari Indonesia. Selain itu, sumber penghasilan dari seorang digital nomad juga sulit diidentifikasi karena pekerjaan dilakukan secara jarak jauh dengan perangkat teknologi.
Di sisi lain, terdapat beleid yang menjelaskan kriteria subjek pajak dalam negeri yang dapat mengakomodir pemajakan penghasilan digital nomad di Indonesia, yaitu Peraturan Menteri Keuangan No. 18/PMK.03/2021 (PMK 18/2021).
Beleid ini menjelaskan persyaratan individu yang dikategorikan sebagai subjek pajak dalam negeri (SPDN). Secara singkat, orang pribadi yang menjadi SPDN merupakan WNI atau WNA yang bertempat tinggal di Indonesia, berada di Indonesia, atau mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia selama 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan.
Lebih lanjut, pengenaan pajak atas penghasilan digital nomad yang melewati lintas negara juga harus memperhatikan beberapa hal.Â
Pertama, bila digital nomad berasal dari negara mitra persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) Indonesia maka berlaku ketentuan P3B tersebut. Kedua, bila digital nomad bukan berasal dari negara mitra P3B maka berlaku Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh).
Kemudian, berdasarkan pada Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) OECD Model Tax Convention, seseorang dapat ditetapkan sebagai subjek pajak dalam negeri sepanjang berdomisili di negara tersebut dengan memperhatikan beberapa hal.
Pertama, bila orang tersebut mempunyai tempat tinggal tetap yang tersedia baginya (permanent home). Kedua, dalam hal terdapat tempat tinggal tetap bagi orang tersebut di 2 negara maka orang tersebut dapat dianggap sebagai subjek pajak dalam negeri di negara tempat hubungan pribadi dan ekonominya lebih dekat (center of vital interest).
Ketiga, bila center of vital interest tidak dapat ditentukan atau bila seorang digital nomad tersebut tidak mempunyai tempat tinggal tetap di salah satu negara, dia hanya akan dianggap sebagai subjek pajak dalam negeri di negara tempat dia biasanya menetap (habitual abode).
Keempat, bila seorang digital nomad memiliki tempat yang biasa ditinggali di 2 negara atau bila tidak mempunyai tempat yang biasa ditinggali di 2 negara tersebut maka status subjek pajak dalam negeri digital nomad ditentukan berdasarkan kewarganegaraannya (national).
Terakhir, bila seorang digital nomad memiliki kewarganegaraan di kedua negara atau tidak mempunyai kewarganegaraan di dua negara tersebut maka status subjek pajak dalam negeri ditentukan berdasarkan konsultasi dari pihak otoritas pajak (competent authority) dari masing-masing negara.
Selanjutnya, penerapan pajak internasional atas penghasilan digital nomad dapat mengacu pada Pasal 15 OECD Model Tax Convention tentang dependent personal services bagi digital nomad yang juga berstatus sebagai karyawan suatu badan.
Selain itu, digital nomad yang berstatus sebagai pekerja lepas dapat mengacu pada Pasal 14 UN Model mengenai independent personal services atau mengacu pada Pasal 7 OECD Model Tax Convention mengenai permanent establishment.
Sebagai informasi, artikel analisis ini merupakan hasil keikutsertaan penulis dalam Intensive Course: Fundamental of International Tax and Treaty Interpretation yang digelar DDTC Academy. Keikutsertaan penulis merupakan bagian dari Human Resources Development Programme (HRDP) DDTC.
Melalui HRDP, DDTC rutin memberangkatkan para profesionalnya dengan beasiswa penuh untuk mengikuti berbagai pelatihan, kursus, hingga studi lanjut S-2 di berbagai universitas ternama di dalam dan luar negeri. (sap)