Ilustrasi. (Foto: Antara)
RABU (10/3/2021) lalu, Kementerian Keuangan menggelar pertemuan tertutup bersama Komisi XI DPR. Pokok yang dibahas adalah rencana penurunan batas omzet pengusaha kena pajak (PKP) yang sejak 2014 ditetapkan Rp4,8 miliar per tahun.
Ketua Komisi XI DPR Dito Ganundito (Fraksi Partai Golkar – Jawa Tengah VIII) mengonfirmasi pertemuan itu. Namun, belum ada pembahasan terperinci dari Kemenkeu yang disampaikan. Pokok yang disampaikan baru evaluasi dari ketentuan omzet PKP Rp4,8 miliar.
Pertama, threshold PKP Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi di dunia. Kedua, tingginya threshold itu menyebabkan terjadinya bunching effect. Ketiga, simulasi skenario penurunan threshold menunjukkan potensi peningkatan penerimaan dan dampaknya terhadap indikator makro.
Dito menekankan Komisi XI tidak akan menutup diri dari usulan yang masuk Renstra Kemenkeu 2020-2024 itu. DPR akan banyak melihat perspektif pemerintah sebelum merestui usulan ini. “Kami akan lihat peluang dan tantangan, best practice, dan asas keadilan batas omzet PKP ini,” katanya.
Penetapan omzet PKP sebetulnya domain pemerintah. Batas yang sebelumnya Rp600 juta itu dinaikkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013 menjadi Rp4,8 miliar. Tidak ada UU yang mewajibkan pemerintah berkonsultasi kepada DPR dalam menetapkan batasan tersebut.
Namun, batas omzet ini sensitif karena menyangkut basis pajak. Kita tahu, penetapan basis dan tarif pajak di negara demokratis sudah seharusnya mendapatkan persetujuan parlemen. Karena itu, bisa dipahami jika pemerintah mengajak DPR berdialog dalam menetapkan kebijakan ini.
PMK 197 itu dimaksudkan untuk mendorong wajib pajak dengan omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar per tahun lebih banyak menggunakan skema pajak final seperti diatur Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013, menurunkan biaya kepatuhan, sekaligus memudahkan kewajiban perpajakannya.
Kita tahu, PP 46/2013 juga tidak lepas dari kritik. Salah satu kritik paling kencang, yang juga dirilis World Bank Juli lalu, adalah dijadikannya PP ini sebagai alat perencanaan pajak. PP ini memotivasi pelaku usaha memecah unit usahanya guna mendapatkan tarif PPh final yang lebih rendah.
Yang pasti, respons dunia usaha terhadap usulan penurunan batas omzet PKP tersebut sejauh ini negatif. Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (Hipmi) menilai pemerintah tidak konsisten atau menerapkan standar ganda dalam merumuskan kebijakan perpajakan.
Pada 1 Maret 2021 pemerintah menghapus sementara pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) mobil baru dengan alasan untuk mendorong konsumsi. Kalau pemerintah konsisten dengan alasan itu, maka batas omzet PKP seharusnya dinaikkan, bukan malah diturunkan.
Senada dengan Hipmi, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) juga mengirim sinyal negatif. Menurut Apindo, penurunan batas omzet PKP justru akan semakin membebani pengusaha kecil dan menengah karena situasi ekonomi yang terpuruk seperti sekarang akibat pandemi Covid-19.
Dalam situasi itu, seharusnya pemerintah fokus mendorong ekonomi dalam negeri dan usaha kecil. Jika ekonomi membaik dan supply-demand-nya terpenuhi, otomatis pengusaha dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar per tahun akan naik kelas, sehingga jumlah basis pajak semakin banyak.
“Dengan penerimaan pajak yang masih loyo, solusinya bukan pada kebijakan PKP. Pemerintah harus efisiensi belanja, karena threshold PKP tidak menyelesaikan masalah. Pangkas anggaran proyek yang dipandang bisa dipangkas dan ditunda,” tegas Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani.
Di sisi lain, usulan penurunan batas omzet PKP ini layak diteruskan. Di negara OECD, rerata omzet PKP hanya US$70 ribu per tahun, jauh dari kita yang US$340 ribu per tahun. Tingginya treshold ini menggerus basis PPN, yang menurut World Bank hanya 60% PPN yang bisa ditarik.
Tingginya batas omzet itu juga mempersulit pemetaan kepatuhan PPN pada setiap rantai konsumsi. Artinya, banyak kegiatan konsumsi di luar radar pemerintah alias lolos PPN. Hal ini berdampak pada sulitnya menjamin netralitas PPN melalui mekanisme pajak keluaran-pajak masukan.
Namun, penurunan batas omzet PKP ini tentu perlu disinkronkan dengan aturan hukum lain, seperti aturan teknis di Kementerian Koperasi dan UMKM serta Kementerian Perindustrian. Jangan sampai, justru UMKM patuh yang malah nanti dipersulit dengan perubahan ketentuan omzet PKP ini.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.