Pandemi Covid-19 telah menciptakan tekanan penerimaan pajak di berbagai negara. Seiring dengan fase pemulihan ekonomi, timbul urgensi mengenai strategi optimalisasi penerimaan pajak yang tepat dalam kerangka konsolidasi fiskal. Salah satu opsi yang dapat dipergunakan ialah mereformasi kebijakan pajak pertambahan nilai (PPN).
Lantas, bagaimana arah reformasi PPN yang ideal? Sebelum merumuskan hal tersebut, ada baiknya kita mencermati berbagai tren dan praktik internasional PPN yang saat ini berlaku.
Sebagai informasi, pengamatan tersebut turut mencakup goods and services tax (GST) yang pada dasarnya sama dengan PPN. Penamaan yang berbeda bukan didasari oleh adanya perbedaan konsep dan mekanisme pengenaan di antara keduanya. Namun, lebih kepada ‘preferensi’ dari masing-masing negara (Darussalam, 2017).
Pertama, PPN sebagai andalan penerimaan di banyak negara. Sebagai pajak yang ‘umurnya’ masih relatif muda, implementasi PPN telah menyebar secara luas. Sebagai ilustrasi, pada tahun 1971 hanya terdapat 12 negara yang menerapkan pajak ini, pada tahun 2020 jumlahnya meningkat hampir 15 kali lipat menjadi 170 negara (OECD, 2020).
Sistemnya yang relatif mudah, bersifat netral dan tidak menimbulkan distorsi, serta selaras dengan size of economy, merupakan faktor yang mendukung popularitas PPN. Tidak hanya itu, PPN juga menjadi mesin penerimaan yang efektif (Keen dan Lockwood, 2006).
Sebagai contoh, pada 1975, kontribusi PPN di negara-negara OECD hanya 8,8% dari total penerimaan perpajakan. Di tahun 2018 kontribusinya meningkat hingga rata-rata 20,4% (OECD, 2020). Data yang diolah dari ICTD Government Revenue Dataset juga memperlihatkan bahwa rasio penerimaan PPN terhadap PDB secara rata-rata di berbagai negara terus mengalami peningkatan antarwaktu. Pada tahun 2000 nilainya sebesar 3,93%, 2010 sebesar 4,86%, 2018 menjadi sebesar 5,65%.
Kedua, peran PPN pada saat krisis dan pascakrisis, termasuk dalam konteks pandemi. Setelah strategi kebijakan fiskal yang ekspansif di 2020, daya tahan anggaran pemerintah di berbagai negara turut mendorong strategi konsolidasi fiskal, khususnya optimalisasi penerimaan.
Sayangnya, pilihan pemerintah terbatas. Pasalnya, selain agar optimalisasi penerimaan pajak tidak mendistorsi pemulihan, berbagai relaksasi masih dibutuhkan agar mengembalikan daya saing ekonomi.
Dalam hal ini, reformasi PPN bisa jadi jawaban. Pengalaman negara-negara OECD pada pascakrisis 2008 memperlihatkan bahwa PPN, sebagai salah satu pajak konsumsi, memiliki daya tahan yang relatif lebih baik di saat krisis serta paling cepat mengalami pemulihan (Ueda, 2017). Salah satu alasannya adalah karena PPN cenderung tidak distortif dan relatif lebih netral ketimbang jenis pajak lainnya.
Survei OECD atas tax measurement di 66 negara dalam merespons pandemi, per April 2021, juga menunjukkan mulai adanya pergeseran kebijakan pajak. Dari yang awalnya hanya berorientasi dalam memberi keringanan bagi wajib pajak yang terdampak krisis, kini juga mencakup aspek optimalisasi penerimaan. Setidaknya terdapat 15 negara yang menggunakan instrumen PPN untuk optimalisasi penerimaan, misalkan pengenaan PPN digital, kenaikan tarif, serta pengurangan pengecualian dan fasilitas.
Ketiga, tren kenaikan tarif standar (umum) PPN. Data yang diolah oleh DDTC Fiscal Research dari data IBFD di 127 negara menunjukkan bahwa per 2020 rata-rata tarif PPN global adalah sebesar 15,4%. Di 31 negara Asia, rata-ratanya sebesar 12%. Sedangkan, di Asean, tarifnya memiliki rentang antara 7-12%.
Betul bahwa terdapat negara-negara yang memiliki tarif PPN di kisaran 0% hingga 5%. Namun, jumlahnya sedikit. Mayoritas, atau lebih dari 70 negara ternyata memiliki tarif lebih dari 15%. Adapun tarif 10%, seperti diterapkan di Indonesia, hanya diimplementasikan di 10 negara, antara lain seperti Korea Selatan, Vietnam, Australia, dan Paraguay.
Selain itu, terdapat tren kenaikan tarif standar (umum) PPN secara global maupun di berbagai kawasan. Di negara kawasan Amerika dan Eropa, terdapat kenaikan tarif PPN sebesar 1%-1,1% selama periode 2010-2020. Pada kurun waktu yang sama, tarif standar PPN global juga meningkat sebesar 0,5%.
Terdapat dugaan bahwa kenaikan tarif tersebut merupakan upaya mengompensasi revenue forgone yang timbul dari penurunan tarif PPh badan selama dua dekade terakhir. Adapun kebijakan kenaikan tarif PPN diambil karena sifatnya memberikan distorsi yang lebih rendah (Terra, 1988), serta mengatasi masalah penerimaan khususnya di negara dengan populasi yang menua.
Keempat, tren penggunaan lebih dari satu tarif atau multitarif (multiple rate). Selain tarif yang berlaku secara umum, berbagai negara juga mengenakan tarif khusus bagi barang dan/atau jasa kena pajak tertentu. Tarif khusus tersebut bisa berupa tarif 0%, penurunan tarif (reduced rate), atau justru tarif yang lebih tinggi.
Diferensiasi tarif untuk barang dan jasa tertentu ditujukan untuk memaksimalkan penerimaan dengan memanfaatkan perbedaan elastisitas konsumsi terhadap tarif pajak yang ditetapkan (Simmon dan Harding, 2020). Aspek keadilan juga sering dijadikan alasan mengapa tarif PPN yang beragam lebih tepat (Ebril et al, 2001).
Dari data yang diolah oleh DDTC Fiscal Research dari EY Global (2021), sebanyak 84 dari 136 negara (61,7%) memiliki tarif khusus yang bersifat reduced rate maupun juga tarif yang lebih tinggi. Sebagai perbandingan, pada 2001, terdapat 56 dari 124 negara (45,2%) yang menerapkan multiple rate tersebut.
Secara khusus, pengenaan reduced rate, umumnya diimplementasikan bagi barang dan/atau jasa kena pajak yang dikonsumsi oleh masyarakat kelas bawah atau membutuhkan dorongan ekonomi dari pemerintah. Tujuannya, mencegah regresivitas PPN. Kebijakan reduced rate secara temporer juga marak dilakukan di saat pandemi (OECD, 2021).
Kelima, perluasan basis pajak melalui pembatasan pengecualian dan fasilitas PPN. Secara umum, pengecualian dan fasilitas PPN memang diperlukan untuk menjamin sistem PPN yang adil serta melindungi masyarakat tidak mampu. Namun demikian, dalam rangka mewujudkan prinsip netralitas dan mencegah VAT gap yang besar, banyak negara meninjau berbagai pengecualian dan fasilitas tersebut secara rutin (de La Feria dan Krever, 2013).
Sejak krisis 2008, tren untuk membatasi pengecualian dan fasilitas PPN terus meningkat. Bahkan, OECD menekankan pentingnya perluasan basis PPN (broad-base) khususnya jika dikaitkan dengan tingginya tax expenditure (OECD, 2010).
Sebagai penutup, salah satu kunci upaya pemulihan penerimaan pajak di masa pandemi terletak pada pajak berbasis konsumsi, terutama PPN. Kelima tren di atas -kontribusi PPN sebagai mesin penerimaan, peran PPN di masa krisis dan pemulihan, tren kenaikan tarif standar (umum) PPN, meningkatnya penggunaan multiple rate, serta pengurangan pengecualian dan fasilitas PPN- dapat menjadi pertimbangan arah reformasi pajak Indonesia.