Ardi Sugiyarto,
PENERIMAAN pajak merupakan sumber pendanaan terbesar dalam APBN. Oleh karena itu, penjagaan penerimaan pajak memadai dan berkelanjutan merupakan upaya untuk menjamin keberlangsungan APBN.
Terkait dengan hal tersebut, reformasi perpajakan mempunyai nilai strategis bukan hanya untuk optimalisasi pendapatan, melainkan juga mendorong peran pajak sebagai instrumen redistribusi pendapatan. Nilai ini fundamental karena bertujuan menghadirkan kesejahteraan masyarakat.
Tidak dapat dimungkiri, perubahan struktur ekonomi, perkembangan teknologi, serta dinamika aktivitas ekonomi masyarakat sangat memengaruhi kinerja penerimaan pajak. Dengan demikian, untuk menjaga agar penerimaan pajak optimal, diperlukan strategi yang tepat.
Tren penurunan kinerja penerimaan pajak menunjukkan sistem pada saat ini belum sepenuhnya mampu secara optimal menagkap potensi yang ada. Perlu ada terobosan kebijakan yang compatible dengan dinamika perekonomian dan optimalisasi potensi.
Laporan OECD pada 2019 menyebut penerimaan pajak di Indonesia masih di bawah potensinya. Berdasarkan pada analisis cross country dan mempertimbangkan struktur perekonomian Indonesia saat ini, diperkirakan masih terdapat ruang untuk optimalisasi.
Situasi itu juga disampaikan menteri keuangan saat menghadiri rapat kerja terkait dengan Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dengan Komisi XI DPR. Otoritas mengatakan tax gap di Indonesia saat ini sekitar 8,5% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Besarnya tax gap tersebut dapat memberikan gambaran paling tidak terkait dengan 2 hal penting. Pertama, sistem pajak kita saat ini telah secara konsisten memberikan fasilitas dan insentif.
Pemberian fasilitas dan insentif itu ditujukan untuk mendukung kesejahteraan masyarakat, mendukung dunia usaha, dan mendorong UMKM. Insentif pajak dapat berupa pengecualian, pembebasan pajak, pengurangan tarif, dan fasilitas pajak lainnya.
Kebijakan tersebut pada dasarnya cukup baik. Namun, di sisi lain, kebijakan itu menyebabkan adanya potensi pajak yang tidak dapat dipungut (tax loss). Sangat penting untuk melakukan evaluasi dan memformulasikan kebijakan insentif pajak yang benar-benar paling efisien dan tepat sasaran.
Kedua, kepatuhan pajak di Indonesia masih perlu ditingkatkan untuk menciptakan basis yang lebih kuat dan berkesinambungan. Belum optimalnya kepatuhan ini dapat disebabkan berbagai macam faktor. Cukup besar porsi sektor informal dalam perekonomian di Indonesia menjadi salah satu faktornya.
Reformasi Kebijakan PPh
DALAM konteks memperbaiki kebijakan pajak di Indonesia, pemerintah dan DPR sepakat untuk melakukan reformasi kebijakan perpajakan melalui UU HPP. Pilar pertama yang akan direformasi adalah kebijakan di bidang pajak penghasilan (PPh).
Reformasi kebijakan PPh dalam UU HPP diarahkan untuk mengoptimalkan potensi menjadi penerimaan pajak dengan tetap memperhatikan asas keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat. Ada beberapa perubahan kebijakan PPh dalam UU HPP.
Pertama, penyesuaian lapisan tarif PPh orang pribadi, yaitu dengan menambah lapisan tarif 35% untuk penghasilan kena pajak di atas Rp 5 miliar. Kebijakan ini akan memberikan tambahan bagi pajak karena orang yang kaya akan membayar pajak lebih tinggi.
Namun, di sisi lain, lapisan tarif 5% diperluas untuk penghasilan kena pajak sampai dengan Rp 60 juta. Perubahan kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan progresivitas pajak sehingga memperkuat peran PPh dalam menjalankan redistribusi pendapatan sekaligus memenuhi rasa keadilan.
Kedua, tarif PPh badan dipertahankan sebesar 22% atau sama dengan tarif pada tahun ini. Kebijakan tersebut diperkirakan akan menjamin stabilitas penerimaaan pajak dalam APBN mengingat kontribusi dari penerimaan PPh badan cukup besar.
Dengan kontribusi PPh badan sekitar 4% PDB, keputusan tidak turunnya tarif menjadi 20% akan membuat pemerintah dapat mempertahankan penerimaan pajak sekitar 0,3% PDB. Di sisi lain, kebijakan ini juga menjadi bentuk komitmen untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Ketiga, perluasan basis PPh dengan kebijakan pengenaan pajak atas natura. Dengan kebijakan ini maka objek pajak PPh menjadi lebih luas. Dengan demikian, potensi yang selama ini belum dapat ditangkap sistem pajak bisa dioptimalkan menjadi penerimaan.
Selain memberikan dampak positif berupa tambahan penerimaan, kebijakan itu juga bisa memberikan keadilan beban pajak. Hal ini terutama karena untuk segmen wajib pajak tertentu, penghasilannya bisa berupa berbagai fasilitas dari pemberi kerja yang saat ini belum dikenai pajak.
Keempat, khusus untuk wajib pajak orang pribadi UMKM, diberikan porsi omzet yang tidak dikenai pajak sampai dengan Rp 500 juta. UMKM kembali diberikan keringanan pajak dengan harapan dapat terus berkembang sehingga berkontribusi pada perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.
Reformasi Kebijakan PPN
UNTUK memperkecil tax gap dan mendekatkan penerimaan pajak ke potensinya, diperlukan juga perubahan kebijakan PPN yang selama ini relatif masih cukup generous. Besaran belanja perpajakan mencapai 1,62% PDB. Sebanyak 62,9% dari total belanja perpajakan berasal dari fasilitas PPN.
Oleh karena itu, diperlukan langkah penyesuaian untuk membuat penerimaan PPN lebih optimal. Dalam UU HPP, pemerintah dan DPR menyepakati pengurangan pengecualian PPN yang dapat berdampak pada makin kuatnya basis penerimaan PPN.
Namun demikian, upaya penyempurnaaan PPN tersebut tetap mempertimbangkan aspek keadilan. Alhasil, fasilitas pembebasan PPN untuk barang pokok dan jasa-jasa layanan dasar tetap dipertahankan dengan tujuan tetap melindungi daya beli masyarakat kecil.
Selain itu, masih terdapat ruang untuk melakukan penyesuaian tarif PPN di Indonesia. Hal ini mempertimbangkan stabilnya basis konsumsi, perkembangan konsumsi kelas menengah atas, serta masih rendahnya tarif PPN dibandingkan dengan rata-rata tarif PPN di dunia sebesar 15%.
Oleh karena itu, pemerintah dan DPR sepakat untuk melakukan penyesuaian tarif secara bertahap dari 10% menjadi 11% pada 2022. Kemudian, tarif PPN akan kembali naik hingga menjadi 12% paling lambat pada 2025.
Penyesuaian tarif ini tentu saja akan cukup signifikan meningkatkan penerimaan. Dengan tambahan penerimaan ini maka tax ratio Indonesia diharapkan dapat lebih mendekati potensinya. Pada akhirnya, kembali lagi, ada jaminan kesinambungan APBN.
Perubahan kebijakan PPN lainnya dalam UU HPP adalah mengenai pengenaan PPN ”final” untuk wajib pajak tertentu dan jenis barang/jasa tertentu. Skema kebijakan ini ditujukan untuk memudahkan pelaksanaan pemungutan PPN.
Kebijakan PPN ”final” diperkirakan dapat memudahkan pengusaha kena pajak dalam menjalankan kewajibannya. Selain itu, kebijakan ini juga diharapkan dapat memperluas jangkauan basis PPN dan kepatuhan. Harapannya, penerimaan PPN dapat lebih optimal dan sesuai dengan aktivitas ekonomi riil dalam masyarakat.
Tax Ratio
SELAIN perubahan kebijakan PPh dan PPN, UU HPP juga mengatur kebijakan pengenaan pajak karbon dan perluasan barang kena cukai baru. Kebijakan ini diperkirakan akan memperkuat peran perpajakan dalam mengkoreksi eksternalitas negatif. Selain itu, basis penerimaan perpajakan bertambah.
Kemudian, UU HPP juga mengatur beberapa perubahan kebijakan dalam hal admintrasi yang diharapkan dapat mendorong peningkatan kepatuhan pajak. Dalam jangka menegah, kombinasi perubahan kebijakan dan peningkatan kepatuhan akan mendorong kenaikan tax ratio secara berkelanjutan.
Dengan perkiraan peningkatan pajak pada kisaran 1-1,5% PDB maka tax ratio Indonesia diharapkan akan meningkat menjadi 10% PDB pada 2025. Estimasi tax ratio ini jauh lebih tinggi dibandingkan posisi tax ratio sekarang yang masih sekitar 8,3% akibat adanya pandemi.
Upaya reformasi perpajakan ini merupakan ikhtiar bersama untuk mewariskan sistem pajak yang andal dan kokoh untuk mendukung APBN yang sehat. Hal ini penting untuk terwujudnya Indonesia yang lebih baik dan sejahtera.