OPINI PAJAK

Benefit Pajak untuk Kelas Menengah    

Redaksi DDTCNews
Senin, 06 Oktober 2025 | 10.15 WIB
Benefit Pajak untuk Kelas Menengah    
Gatot Subroto, Ph.D.,
Chairman of DoctrineX-UK

TAK lama berselang setelah pelantikannya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa membuat gebrakan. Dia mengumumkan strategi perbaikan ekonomi melalui penggelontoran dana negara senilai Rp200 triliun dari saldo anggaran lebih di bank sentral.

Pendapat publik terbelah mengenai dampak pengaliran uang ke bank umum itu terhadap pertumbuhan ekonomi. Alasannya, peningkatan likuiditas tidak akan serta-merta mempercepat penyaluran kredit yang menggerakkan sektor riil, jika permintaan lesu.

Nyatanya pemerintah juga menempuh kebijakan untuk menaikkan daya beli dengan beragam stimulus pemantik fiskal. Harapannya, permintaan bisa tumbuh yang kemudian direspons produsen dengan meningkatkan usaha produktif yang menyerap tenaga kerja sehingga roda ekonomi kembali berputar.

Ketidakadilan Fiskal Kelas Menengah

Tetapi tetap saja ada void yang terlewat oleh sapuan kebijakan pemerintah, yaitu segmen kelas menengah. Kelompok ini relatif tak banyak menikmati uluran tangan pemerintah ataupun memetik manfaat pertumbuhan ekonomi.

Mereka tidak berhak menerima bantuan sosial karena tidak termasuk kategori miskin, tetapi tidak juga cukup kuat secara politik untuk memperebutkan konsesi seperti kelas atas. Meski tergolong kelompok pembayar pajak patuh berkontribusi besar, beraneka skema kebijakan belum benar-benar mampu merangkul secara presisi kelas menengah.

Secara kuantitas, kelas menengah berpopulasi besar dan menyumbang pertumbuhan signifikan. Secara kualitas, mereka adalah pemilih yang suaranya tidak terbeli. Karenanya, dengan perolehan benefit paling minim, tak salah jika kelas menengah merasa terusik diperlakukan tidak adil, sebuah isu yang penting dan genting karena bisa memicu gejolak sosial yang destruktif.

Mantan menteri keuangan, M. Chatib Basri, sempat menuliskan opininya di Harian Kompas (7/9/2025) bahwa Indonesia sedang mengalami The Chilean Paradox —sebuah ironi ketika angka-angka statistik dan grafik kinerja makroekonomi menunjukkan kecemerlangan dan perbaikan, tetapi rakyat justru merasakan keadilan yang janggal, dan tetap menderita dalam realita. Dalam kondisi ini, kelas menengahlah yang paling terpukul.

Salah satu saran untuk mengatasi paradoks ini adalah perlunya penyaluran perlindungan sosial, khususnya pemberian benefit langsung ke lapisan menengah bawah lantaran kerentanan dan kecenderungan belanjanya (marginal propensity to consume) tinggi.

Butuh Kebijakan Fiskal Jitu

Alternatif yang patut dipertimbangkan adalah penyediaan benefit pajak atau tax benefit, disingkat OECD (2022) sebagai TaxBEN. Tax benefit merupakan penyediaan benefit pajak langsung kepada rakyat pembayar pajak secara terintegrasi melalui sistem perpajakan.

Pemberian bantuan pemerintah dikaitkan dengan kewajiban perpajakan sehingga untuk mengeklaim manfaat, penerima harus menunaikan kewajiban pajak terlebih dahulu —suatu perlakuan yang sesuai dengan profil kelas menengah sebagai kelas pembayar pajak orang pribadi (OP).

Sejatinya ide awal TaxBEN berasal dari ekonom Milton Friedman yang memperkenalkan konsep pajak penghasilan negatif (negative income tax) sebagai skema intervensi kebijakan fiskal pemerintah melalui pajak negatif yang dikonversi menjadi pemberian benefit.

Pembayar pajak orang pribadi dengan penghasilan rendah –di bawah ambang batas tertentu– akan menerima transfer bantuan pemerintah dengan besaran dihitung berdasarkan selisih negatif penghasilannya.

Tepat setengah abad yang lalu (1975), Amerika Serikat (AS) telah menjalankan pajak negatif ini melalui skema kredit pajak yang bisa direstitusi (refundable earned income tax credits/EITC) untuk mengurangi pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan (Liebman, 1998).

Dengan berbagai variasi, benefit pajak ini telah berkembang dan menyebar ke berbagai negara, seperti Inggris, Korea Selatan, dan tentu saja, negara-negara kesejahteraan sosial (welfare states).

Jika diadopsi Indonesia, TaxBEN cocok untuk merangkul kelas menengah yang umumnya berpendidikan, melek teknologi, dan berpendirian sosial-ekonomi adil (fair) dan sportif. Apalagi dengan ruang fiskal yang terbatas, pemerintah perlu cermat memilih sasaran stimulus dengan mendahulukan sektor yang memberi pengganda terbesar, yang bisa mengangkat daya beli untuk merangsang permintaan.

TaxBEN sebagai Strategi Perpajakan

TaxBEN menawarkan solusi di kedua sisi pengeluaran dan penerimaan serta menjaga keseimbangan hak dan kewajiban antara pembayar dan pemanfaat pajak. Tak hanya itu, karena dikaitkan dengan kewajiban pajak, TaxBEN bisa dikemas dan dimanfaatkan sekaligus untuk meningkatkan kepatuhan dan penerimaan pajak yang menjawab keinginan pemerintah meningkatkan rasio pajak.

Penerapan EICT di AS, misalnya, telah meningkatkan kepatuhan secara signifikan. Sementara Korea Selatan mencatat peningkatan rasio pajak sebesar 11% antara 2000 dan 2022 (OECD, 2024).

Untuk kasus Indonesia, skema ini bisa mempertegas kehadiran negara karena memberikan manfaat pajak tepat pada saat dan tempat yang sama dengan pembayaran pajak sehingga manfaat pajak tersebut terasa lebih langsung dan tepat sasaran.

Pemberian TaxBEN juga memperlihatkan keberpihakan pemerintah dalam mengorbankan belanja pajak (tax expenditure), bukan saja untuk kepentingan elite, oligarki, atau investor asing, melainkan juga untuk anak bangsa, kontributor pajak kalangan menengah melalui penyediaan manfaat dan fasilitas pajak spesifik.

Dengan cara demikian, TaxBEN menyuntikkan daya redistributif terhadap sistem perpajakan dan perekonomian yang selaras dengan cita-cita perwujudan keadilan sosial yang kerap diabaikan oleh narasi pertumbuhan ekonomi.

Artinya, TaxBEN berpotensi menjadi penawar the Chile’s Paradox dengan mewujudkan keadilan untuk kelas menengah yang sudah patuh membayar pajak, setidaknya membantu membangun persepsi yang baik akan realitas kemajuan perekonomian dengan memberikan manfaat yang lebih nyata dan terasa.

Coretax sebagai Infrastruktur Sosial-Politik

Salah satu alasan belanja sosial ala TaxBEN tidak pernah mengemuka sebagai opsi kebijakan publik Indonesia adalah karena ketiadaan dukungan teknokrasi administratif. Seperti diperlihatkan negara-negara pemraktik, pengelolaan benefit pajak ala TaxBEN membutuhkan dukungan birokrasi yang kapabel, aparat berintegritas, dan sistem terpercaya.

Kini momentum emas muncul di Indonesia seturut peluncuran coretax system yang digadang menjadi tulang punggung administrasi perpajakan.

Secara desain, coretax memiliki sejumlah fitur canggih yang bisa memfasilitasi TaxBEN dalam bentuk kredit pajak yang bisa direstitusi. Misalnya, formulir surat pemberitahuan (SPT) di coretax yang sudah menyediakan isian kode fasilitas pembebasan atau pengurangan pajak. Demikian pula, fitur akun pembayar pajak (taxpayer account) yang terhubung dengan rekening bank bisa memfasilitasi restitusi otomatis (refund disbursement) yang efisien.

Memang sejatinya coretax dirancang sebagai media pengumpulan pajak negara dengan kemampuan super dalam pengelolaan data berkualitas, pemrosesan informasi, dan dukungan pembuatan keputusan untuk peningkatan kepatuhan dan penerimaan pajak.

Namun dengan kecanggihan teknologi digital dan kualitas data, coretax juga dapat dimanfaatkan dalam perluasan perlindungan sosial untuk kelompok menengah bawah secara terintegrasi sekaligus membantu perbaikan profiling dan akurasi penargetan penerima manfaat.

Di sisi lain, utilisasi dan akses publik ke coretax masih rendah sehingga penyediaan TaxBEN bisa menjadi insentif tambahan bagi wajib pajak. Sebagai aplikasi raksasa yang baru saja mulai beroperasi, sistem inti administrasi pajak memerlukan waktu untuk bertumbuh dan untuk diterima publik.

Dalam perspektif manajemen perubahan (Kotter, 1996), coretax sedang berada di tahapan penjangkaran (anchoring) untuk menjadi bagian integral budaya bangsa –sebagai infrastruktur sosial-politik negara dan proksi kehadiran negara.

Penyediaan TaxBEN di menu coretax akan menghadirkan pengalaman pengguna perdana yang berkesan positif tanpa mengurangi esensi fungsi penarikan pajak, atau malahan semakin meningkatkan kepatuhan dan kinerja perpajakan.

Seperti ditunjukkan pengalaman Inggris, penyediaan benefit melalui sistem inti perpajakan terbukti mendorong kepatuhan SPT bahkan di minggu pertama musim pelaporan pajak tahunan, salah satunya karena keinginan mempercepat pencairan benefit (gov.uk/).

Strategi perpajakan cerdas ini memerlukan perubahan paradigma perpajakan dari berorientasi penerimaan ke pelayanan inklusif, dari pola mengejar ‘wajib pajak’ menjadi mengundang pembayar pajak, yaitu meningkatkan penerimaan pajak dengan cara membagikan dan menyatakan manfaat uang pajak.

Bonus termanisnya, pemerintah bisa meraih kepercayaan dan membangun koalisi dengan kelas menengah dalam memperbaiki perekonomian. Bahkan, pemerintah bisa mengubah definisi pajak yang mengokohkan kontrak sosial dari pungutan memaksa tanpa kontraprestasi, menjadi iuran kontribusi finansial yang jelas manfaatnya. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.