BENJAMIN Franklin pernah bilang kalau hidup cuma menawarkan dua pilihan: kematian dan pajak. Namun, pada era digital seperti sekarang, sepertinya tidak salah kalau ada satu opsi lain: perubahan.
Terbitnya peraturan baru, yakni Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 37/2025 merupakan manifestasi nyata dari perubahan tersebut. Aturan ini lahir dari kesadaran penuh pemerintah bahwa dunia perpajakan telah bertransformasi, sementara instrumen pajak masih terpaku pada kerangka konvensional.
Bayangkan, ada seorang pedagang sepatu di Jalan Malioboro yang setiap hari membayar sewa kios Rp5 juta per bulan. Dia tunduk pada pemungutan PPN, PPh, dan berbagai retribusi lain. Tapi di sisi lain, ada pedagang sepatuh online dengan omzet yang sama, dengan mudahnya menghindari kewajiban perpajakan.
Masalah yang tersaji bukan sekadar persoalan teknis. Ini adalah persoalan keadilan fundamental dalam sistem ekonomi Indonesia.
Data bisa berbicara lebih tegas daripada argumen teoretis. Dari 1,6 juta pelaku UMKM yang memiliki NPWP, hanya 653.000 yang secara konsisten menyetorkan PPh final pada 2024. Sementara itu, nilai transaksi ekonomi digital Indonesia telah mencapai Rp487 triliun.
Inilah yang disebut sebagai 'paradoks visibilitas pajak', sebuah fenomena di mana aktivitas ekonomi reksasa berlangsung di luar jangkauan sistem perpajakan nasional.
Karenanya, PMK 37/2025 bukanlah sekadar penyesuaian regulasi biasa. Beleid itu menjadi intervensi terhadap sistem yang tidak lagi sesuai dengan zamannya. Melalui tulisan ini, penulis ingin membedah mengapa pernyataan itu sesuai.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah perpajakan Indonesia, platform digital tidak lagi berperan sebagai 'tempat berdagang' semata, tetapi berevolusi menjadi perpanjangan tangan otoritas pajak di dunia maya. Tokopedia, Shopee, Lazada, dan platform sejenisnya kini menjadi agen resmi pemungut pajak negara.
Keputusan menunjuk penyedia platform perdagangan elektronik sebagai pemungut PPh Pasal 22 adalah langkah cemerlang. Mengapa demikian? Karena mereka menguasai 3 aset strategis, yakni data transaksi real time, infrastruktur teknologi yang solid, dan yang terpenting posisi sebagai titik kontrol dalam aliran dana digital.
Penetapan tarif PPh Pasal 22 sebesar 0,5% juga dinilai pas. Angka ini merupakan hasil kalkulasi cermat antara optimalisasi penerimaan negara dan pemeliharaan daya saing industri digital domestik. Jika dibandingkan dengan India yang menerapkan tarif 1% atau Filipina dengan rentang 1% hingga 2%, Indonesia memilih jalan tengah.
Selain itu, pengecualian bagi pedagang orang pribadi dengan omzet tahunan hingga Rp500 juta bukan sekadar gestur politik kosong. Ini adalah pengakuan bahwa UMKM adalah tulang punggung ekonomi rakyat yang perlu dilindungi.
PMK 37/2025 memiliki aspek-aspek ketentuan yang perlu dicermati. Pertama, regulasi ini memperluas definisi pedagang digital secara signifikan. Bukan hanya penjual barang, tetapi juga kurir, perusahaan asuransi, bahkan fotografer yang menawarkan jasa melalui platform. Ini adalah pendekatan ekosistem yang komprehensif.
Kedua, persyaratan rekening penampung (escrow account). Hanya platform dengan infrastruktur keuangan yang matang yang dapat ditunjuk sebagai pemungut. Langkah ini secara tidak langsung mendorong profesionalisasi industri platform perdagangan elektronik.
Ketiga, penerapan secara bertahap menunjukkan pragmatisme pemerintah. Pengalaman internasional membuktikan bahwa pendekatan perubahan menyeluruh dalam reformasi perpajakan biasanya berakhir dengan kekacauan.
Pertama, kesenjangan teknologi. Tidak semua penyedia platform memiliki sistem teknologi informasi yang siap untuk otomatisasi perpajakan. Integrasi dengan sistem DJP, perhitungan pajak real time, dan pelaporan otomatis. Semua ini membutuhkan investasi teknologi yang substansial.
Kedua, kompleksitas lintas batas negara. Platform asing seperti AliExpress atau Amazon yang melayani konsumen Indonesia menghadapi dilema: patuh pada regulasi domestik atau mundur dari pasar? Mekanisme penegakan hukum terhadap platform luar negeri masih menjadi tanda tanya besar dalam implementasi regulasi ini.
Ketiga, aspek ekonomi perilaku. Pertanyaan krusial yang harus dijawab, akankah pedagang mengalihkan beban pajak kepada konsumen? Elastisitas permintaan di sektor perdagangan elektronik relatif tinggi. Kenaikan harga 0,5% dapat bermakna signifikan dalam kategori produk tertentu, terutama yang bersaing ketat dalam hal harga.
Bagian rekomendasi ini ditujukan untuk 3 pihak: pemerintah, platform e-commerce, dan pedagang. Untuk pemerintah, hal terpenting yang perlu segera disiapkan adalah eksekusi yang bersifat imperatif. Untuk itu, ada 3 hal yang bisa dilakukan pemerintah.
Pertama, investasi besar-besaran dalam integrasi sistem dan kemampuan analisis data. Kedua, membentuk gugus tugas khusus untuk menangani proses onboarding platform. Ketiga, mengembangkan program edukasi komprehensif, bukan sekadar sosialisasi.
Untuk platform e-commerce, ada 3 strategi untuk menjadikan pemungutan PPh Pasal 22 ini sebagai peluang, bukan beban. Pertama, mengembangkan alat otomatisasi perpajakan superior yang dapat menjadi daya tarik bagi pedagang.
Kedua, menyediakan layanan konsultasi pajak sebagai penawaran nilai tambah. Ketiga, menggunakan keunggulan kepatuhan sebagai sinyal kepercayaan kepada pengguna.
Sementara itu, bagi pedagang, pesan utamanya adalah 'harus adaptasi'. Pedagang perlu melakukan 3 hal juga. Pertama, lakukan audit model bisnis dan struktur biaya segera. Kedua, investasi dalam sistem akuntansi yang proper dan perangkat kepatuhan pajak. Ketiga, pertimbangkan strategi perencanaan pajak yang legitimate dan menguntungkan.
Pada akhirnya, PMK 37/2025 adalah momen bersejarah dalam evolusi perpajakan Indonesia. Bagi mereka yang siap beradaptasi, ini adalah peluang emas. Bagi yang enggan berubah, ini bisa menjadi ancaman eksistensial.
Yang pasti, kereta perubahan sudah bergerak. Pertanyaannya bukan apakah kita setuju atau tidak, tetapi seberapa cepat kita dapat naik dan memanfaatkannya sebaik-baiknya? (sap)