REPORTASE DDTC DARI AUSTRIA

Memahami Tax Wedge dan Tingginya Informalitas di Negara Berkembang

Abiyoga Sidhi Wiyanto
Jumat, 07 November 2025 | 19.45 WIB
Memahami Tax Wedge dan Tingginya Informalitas di Negara Berkembang
<p>Prof. Geerten Michielse, Senior Economist at Tax Policy Division of the Fiscal Affairs Department of the International Monetary Fund International Monetary Fund (IMF), memberikan kuliah dalam program LL.M in International Tax Law yang diselenggarakan oleh Vienna University of Economics and Business (WU Wien) (07/11/2025).</p>

WINA, DDTCNews – Istilah tax wedge atau kesenjangan pajak menjadi salah satu fenomena penting yang kerap menjadi perhatian dalam desain kebijakan perpajakan di berbagai negara. Hal ini disampaikan oleh Prof. Geerten Michielse, seorang senior economist, pada Tax Policy Division, Fiscal Affairs Department, International Monetary Fund (IMF).

Dalam penjelasannya, Prof. Michielse mengatakan bahwa tax wedge mengacu pada perbedaan atau kesenjangan antara total biaya tenaga kerja yang dibayar oleh pemberi kerja dengan penghasilan bersih yang diterima oleh pekerja setelah dipotong pajak dan kontribusi jaminan sosial.

Sejalan dengan itu, OECD (2019) mendefinisikan tax wedge sebagai perbedaan antara biaya tenaga kerja bagi pemberi kerja dan gaji bersih yang diterima oleh karyawan. Dengan kata lain, tax wedge merupakan gabungan dari pajak penghasilan pribadi serta kontribusi jaminan sosial yang dinyatakan sebagai persentase dari total biaya tenaga kerja.

"Tax wedge menjadi indikator penting karena mencerminkan beban pajak aktual yang dihadapi oleh pekerja dan pemberi kerja. Makin tinggi tax wedge, makin besar pula bagian dari biaya tenaga kerja yang dipungut oleh pemerintah melalui pajak dan kontribusi sosial," ujar Prof. Michielse.

Paparan Prof. Michielse terkait dengan tax wedge terkini.

Informalitas Sebagai Konsekuensi

Berdasarkan data dalam laporan OECD (2024) yang berjudul ‘Taxing Wages: Tax and Gender Through the Lens of the Second Earner’, terdapat perbedaan yang signifikan dalam tingkat tax wedge antara negara anggota OECD dan negara-negara berkembang.

Rata-rata tax wedge di negara-negara OECD untuk pekerja lajang tanpa tanggungan dengan penghasilan, rata-rata mencapai 34,8 dari total biaya tenaga kerja pada tahun 2023.

Mayoritas negara di Eropa tercatat memiliki tax wedge tertinggi di antara negara-negara lainnya. Posisi pertama ditempati oleh Belgia (52,7), sementara posisi kedua hingga kelima berturut-turut yaitu Jerman (47,9), Austria (47,2), Prancis (46,8), dan Italia (45,1).

Di sisi lain, negara-negara berkembang menunjukkan variasi yang sangat beragam. Brasil dan China memiliki tax wedge yang relatif mendekati rata-rata OECD, yaitu masing-masing 32,5 dan 30,7. Di sisi lain, Indonesia dan India (tanpa kontribusi jaminan sosial) menunjukkan tax wedge yang jauh lebih rendah yaitu sebesar 7,8 dan 2,0.

Lihat juga ‘Tren Beban PPh Karyawan di Negara OECD dalam 1 Dekade Terakhir’.

Namun demikian, Prof. Michielse menekankan bahwa rendahnya tax wedge di negara-negara berkembang seperti tidak serta-merta menunjukkan sistem perpajakan yang baik. Justru, angka tersebut mencerminkan lemahnya basis pajak, rendahnya cakupan jaminan sosial, dan tingginya informalitas dalam perekonomian.

"Mayoritas tenaga kerja di negara emerging markets bekerja di sektor informal, relatif jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara maju. Tax wedge yang rendah seringkali tidak mencerminkan desain kebijakan yang optimal, melainkan fenomena dari ketidakmampuan sistem perpajakan untuk menjangkau sektor informal secara efektif," jelasnya.

Dia menyebutkan, penelitian terbaru dari IMF dan World Bank menunjukkan bahwa tax wedge yang tinggi dapat mendorong pekerja dan pemberi kerja untuk beralih ke sektor informal guna menghindari beban pajak dan kontribusi sosial. Namun, tax wedge yang terlalu rendah juga berimplikasi negatif yang mengakibatkan rendahnya penerimaan negara yang akan menghambat kemampuan pemerintah untuk membiayai layanan publik, infrastruktur, dan perlindungan sosial yang memadai.

Tidak Ada Solusi Tunggal

Berdasarkan pengalamannya mendesain sistem perpajakan di berbagai negara, Prof. Michielse menekankan bahwa tidak ada formula tunggal yang tepat untuk semua negara dalam menentukan tingkat tax wedge yang optimal. Setiap negara perlu mempertimbangkan kondisi ekonomi, struktur pasar tenaga kerja, sistem perlindungan sosial, dan kapasitas administrasi perpajakannya.

"Negara-negara OECD mampu mengelola tax wedge yang tinggi karena memiliki sistem pengeluaran sosial yang efisien dan kebijakan redistributif yang efektif, yang mengimbangi dampak negatif terhadap pasar tenaga kerja,” ujar Prof. Michielse.

Sementara itu, menurutnya, negara berkembang perlu menemukan keseimbangan masing-masing dengan mempertimbangkan kapasitas fiskal, struktur pasar tenaga kerja, dan kebutuhan perlindungan sosial. Dengan pemahaman yang komprehensif, pembuat kebijakan dapat merancang kebijakan yang lebih tepat sasaran untuk mengatasi informalitas dan meningkatkan kesejahteraan.

Reportase dari Austria

Artikel reportase ini ditulis oleh Specialist of DDTC Fiscal Research & Advisory Abiyoga Sidhi Wiyanto yang sedang menempuh program LL.M International Tax Law full-time di Vienna University of Economics and Business (WU Wien). Selain Abiyoga, Senior Specialist of DDTC Consulting Dawud Abdul Qohhar Lubis juga ikut dalam program ini. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.