Khomarul Hidayat,
PAJAK merupakan kontributor terbesar APBN. Oleh karena itu, pengumpulan pajak secara berkesinambungan menjadi aspek krusial dalam pendanaan pembangunan, termasuk upaya Indonesia menuju high income country.
Dalam konteks tersebut, kerja sama atau kemitraan antara Ditjen Pajak (DJP) dan wajib pajak diperlukan. DJP sendiri telah bergerak dinamis untuk mendukung kemitraan tersebut dalam bentuk berbagai kemudahan pelayanan kepada wajib pajak.
Saat ini, pendekatan yang diambil DJP dipandang sudah berubah drastis bila dibandingkan dengan kondisi pada belasan tahun lalu. Pada masa kini, DJP berupaya lebih banyak mengedepankan bentuk komunikasi yang bersifat kooperatif dan kolaboratif.
Salah satu contohnya adalah pengembangan compliance risk management (CRM). Dengan CRM, pengawasan kepatuhan wajib pajak lebih efektif dan efisien. Hal ini dikarenakan pengawasan kepatuhan dilakukan secara objektif berbasis risiko wajib pajak.
Namun demikian, masih terdapat polemik yang muncul antara fiskus dan wajib pajak di lapangan, terutama dalam penerapan fungsi pengawasan dan pemeriksaan. Situasi ini terlihat dari masih tingginya sengketa perpajakan akibat pengujian kepatuhan wajib pajak, khususnya pemeriksaan.
Masih banyaknya sengketa menyiratkan tingginya tingkat ketidaksepakatan atau ketidaksepahaman antara wajib pajak dan fiskus. Jika dibiarkan, situasi ini dikhawatirkan berakibat pada turunnya kepercayaan wajib pajak. Ujungnya, ada gangguan terhadap upaya peningkatan kepatuhan pajak.
Berdasarkan pada pengalaman di lapangan, penulis melihat ada faktor lain yang kemungkinan turut menjadi penyebab munculnya sengketa. Faktor yang dimaksud adalah kegagalan komunikasi yang menjadi media proses interaksi antara fiskus dengan wajib pajak.
Apabila faktor terkait dengan komunikasi itu dapat di mitigasi oleh kedua belah pihak dalam bentuk awareness, ada potensi minimalisasi munculnya sengketa yang sejatinya sama-sama tidak diinginkan oleh kedua belah pihak. Simak pula ‘Soal Pemeriksaan dan Sengketa, Dirjen Pajak Inginkan Ini ke Depan’.
Berbekal keterbatasan wawasan yang dimiliki, penulis hendak mencoba mengusulkan suatu kepedulian terhadap fungsi komunikasi sebagai strategi antisipatif. Hal ini menjadi sebuah konsep pola interaksi antara stakeholder pajak yang ideal dan praktis.
Konsep ini merupakan implementasi dari suatu bentuk komunikasi persuasif yang harus disadari dan dipahami kedua belah pihak sebelum berinteraksi. Penulis menerjemahkan proses komunikasi persuasif dalam pengujian kepatuhan tersebut sebagai komunikasi pajak.
Seperti yang telah disinggung di awal, interaksi antara para stakeholder – wajib pajak dan fiskus—yang sering memunculkan sengketa berada pada fungsi pengawasan dan pemeriksaan. Oleh karena itu, penulis menitikberatkan konsep komunikasi pajak ini dalam konteks interaksi tersebut.
Pendekatan pengujian kepatuhan telah menggunakan CRM. Dengan CRM, penilaian tingkat kepatuhan wajib pajak didasarkan pada database yang dimiliki oleh DJP. Kepatuhan dibagi ke dalam kuadran yang merupakan garis singgung antara tingkat kemungkinan kepatuhan dan dampak fiskal.
Fungsi pengawasan menjadi tahapan pertama dalam pengujian kepatuhan setelah proses CRM selesai dilakukan. Adapun hasil pengolahan data dengan CRM tersebut menjadi dasar pengujian kepatuhan dalam fungsi pengawasan.
Tahapan ini menjadi titik awal terjadinya interaksi para stakeholder yang dapat berlanjut ke fungsi pemeriksaan. Adapun prosedur terkait dengan tahapan ini telah dimuat dalam SE-07/PJ/2020 dan SE-05/PJ/2022.
Konsep komunikasi pajak dalam tahapan awal tersebut harus disadari kedua belah pihak agar muncul hasil akhir yang baik berbasis pada kepentingan kedua belah pihak secara objektif. Minimalisasi sengketa menjadi parameter keberhasilan.
Dalam konteks itu komunikasi pajak seharusnya bukan menjadi interaksi yang semata-mata membahas soal angka matematis atau perdebatan dasar hukum yang sering kali berakhir pada aksi melebihkan kepentingan satu pihak. Hal tersebut justru menjadi akar dari munculnya sengketa.
Namun demikian, komunikasi pajak juga bukan sebuah ‘media kompromi’ yang berpotensi merugikan kepentingan penerimaan negara.
Lebih dari itu, komunikasi pajak dalam proses pengujian kepatuhan wajib pajak seharusnya berjalan sebagai proses interaksi yang didasari sikap kesetaraan dan kemitraan. Ujungnya adalah tercipta peningkatan cooperative compliance, bahkan collaborative compliance.
Sebagai bentuk komunikasi interpersonal, implementasi komunikasi pajak menitikberatkan pada sikap individu, baik dari wajib pajak maupun fiskus. Tidak dimungkiri, masing-masing pihak pada awalnya memiliki perbedaan kepentingan yang mendasari komunikasinya.
Contoh, wajib pajak kebanyakan tidak suka menerima ‘amplop cokelat’ sebagai istilah untuk surat permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan (SP2DK). Selain itu, wajib pajak juga tidak suka atau keberatan jika dilakukan pemeriksaan.
Di sisi lain, fiskus yang bertugas dalam fungsi pengawasan dan pemeriksaan menginginkan pelaksanaan tugasnya berjalan dengan baik dan lancar. Hasil akhirnya diharapkan menjadi prestasi baik.
Dari situ terlihat perbedaan situasi awal yang mendasari terjadinya suatu komunikasi pajak. Oleh karena itu, adanya kesadaran mengenai kesamaan kepentingan yang dimiliki menjadi tolok ukur dasar keberhasilan komunikasi pajak.
Dalam hal ini, fiskus menginginkan keberhasilan komunikasi pajak berakhir kepada tugas utama mengumpulkan penerimaan negara. Kemudian, dari sisi wajib pajak, ada keinginan proses klarifikasi tidak memberikan beban berlebih di luar kemampuan ekonomisnya.
Lantas, bagaimana komunikasi pajak dapat menjembatani pencapaian tujuan akhir yang terbaik bagi kedua belah pihak? Menurut penulis, ada beberapa hal mendasar yang seharusnya diterapkan kedua belah pihak dalam melakukan komunikasi pajak.
Pertama, sikap positif. Dalam memulai komunikasi pajak, wajib pajak diharapkan memiliki sikap positif terhadap sebab munculnya proses pengujian kepatuhan. Misalnya, wajib pajak dapat menganggap hal tersebut merupakan proses biasa. SP2DK dan pemeriksaan juga merupakan hasil dari suatu proses objektif, terukur, dan jauh dari hal yang bersifat subjektif.
Kedua, sikap mendukung. Sikap ini diperlukan karena terjadinya interaksi sedikit banyak melibatkan prosedur formal yang membutuhkan waktu hingga proses akhir. Komunikasi pajak berjalan dengan baik jika ada upaya saling memudahkan sebagai bentuk dukungan.
Ketiga, keterbukaan. Sikap terbuka menjadi kunci penting keberhasilan komunikasi pajak. Hal ini disebabkan komunikasi ini secara umum didasari pada proses klarifikasi atas data dan informasi. Proses klarifikasi akan berhasil baik bila keterbukaan wajib pajak dapat ditunjukkan dengan baik.
Keempat, kesetaraan. Tidak ada sikap melebihi yang lain. Walaupun fiskus dianggap memiliki kewenangan dengan payung hukum yang kuat, hal tersebut tidak serta-merta harus selalu dikedepankan bila ingin mendapatkan hasil baik dalam komunikasi pajak.
Kewenangan dapat diterapkan pada titik akhir sebagai sebuah solusi apabila terdapat perbedaan mendasar yang kuat. Kesetaraan dalam hal ini akan memunculkan kesamaan persepsi antara wajib pajak dan fiskus yang menjadi dasar peningkatan kepatuhan wajib pajak.
Kelima, persuasi dan empati. Sikap ini mendominasi pihak fiskus dalam memulai komunikasi pajak. Diperlukan strategi komunikasi untuk memahami opsi rekomendasi perlakuan (treatment) yang tepat dikaitkan berbagai kondisi wajib pajak.
Fiskus tidak semata berbekal materi data yang akan di klarifikasi, tetapi juga pemahaman kondisi dalam bentuk ‘knowing your taxpayer’. Harapannya, tidak ada penerapan sanksi berlebihan yang mungkin dapat mencederai kepatuhan wajib pajak yang selama ini sudah terbentuk dengan baik.
Penulis berpendapat ada beberapa bentuk penerapan treatment yang diharapkan dapat memberi hasil baik. Pertama, edukasi. Opsi ini dapat diterapkan jika wajib pajak memiliki kendala dari faktor likuiditas, tax minded, dan experience sehingga berakibat pada rendahnya tingkat kepatuhan pajak.
Kedua, dispensasi. Pilihan ini dapat diterapkan untuk wajib pajak dengan tingkat kepatuhan yang baik, tetapi terdapat permasalahan penurunan tingkat likuiditas pada saat pengujian dijalankan. Bentuknya bisa fasilitas angsuran pajak hingga pengurangan atau pembebasan sanksi.
Ketiga, penegakan hukum. Opsi ini bisa menjadi perlakuan terakhir yang diterapkan. Wajib pajak memiliki kemampuan likuiditas, tetapi tingkat kepatuhannya rendah. Selain itu dapat juga dikarenakan tidak dimungkinkannya penerapan strategi komunikasi persuasif.
Pada intinya, komunikasi pajak menjadi tanggung jawab bersama kedua belah pihak dengan tujuan akhir meminimalisasi ketidaksepakatan atau ketidaksepahaman. Selain itu, penerapan treatment yang kurang tepat, sehingga berakhir sengketa pajak, diharapkan dapat dihindari.
* Artikel opini ini merupakan pendapat pribadi dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.