Galih Ardin,
MELALUI Putusan Nomor 26/PUU-XXI/2023 tertanggal 25 Mei 2023, Mahkamah Konstitusi (MK) secara resmi mengabulkan sebagian permohonan uji materiil terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
MK memutuskan bahwa pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan Pengadilan Pajak tidak lagi dilakukan oleh Kementerian Keuangan, tetapi oleh Mahkamah Agung (MA). Pemindahan kewenangan pembinaan tersebut dilakukan secara bertahap paling lambat Desember 2026.
Dalam konsideransnya, MK berpendapat sejak 2004, hanya ada 4 jenis lingkungan peradilan di Indonesia, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer. Pengadilan Pajak dikategorikan sebagai peradilan khusus yang termasuk sebagai Peradilan Tata Usaha Negara di bawah MA.
Untuk diketahui, UU Pengadilan Pajak yang selama ini berlaku mengatur pembinaan teknis yuridis Pengadilan Pajak berada di tangan MA. Sementara itu, pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan Pengadilan Pajak di bawah Kementerian Keuangan. Namun, UU Pengadilan Pajak juga mengamanatkan pembinaan tersebut tidak boleh mengurangi kekebasan hakim dalam memeriksa dan memutus sengketa.
Menilik dari sejarahnya, dualisme pembinaan kekuasaan kehakiman ini sudah ada sejak zaman orde baru. Pada awal orde baru, sistem manajemen peradilan dua atap telah berlaku. Dengan sistem tersebut, aspek teknis yuridis peradilan dibina oleh MA, sedangkan aspek organisasi, administrasi dan keuangan peradilan dibina oleh kementerian terkait (Darussalam, Septriadi, & Yuki, 2023).
Harahap (1997) berpendapat pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan sebuah lembaga peradilan yang berada di bawah lembaga eksekutif, baik secara langsung maupun tidak langsung, merupakan simbol pengakuan yuridis bahwa peradilan itu di bawah lembaga eksekutif bersangkutan. Pembinaan lembaga peradilan oleh lembaga eksekutif mempunyai dampak luas terhadap otonomi kemandirian hakim dan loyalitas hakim.
Pendapat serupa disampaikan Williams (2017) yang menyatakan bahwa keberadaan lembaga eksekutif dalam tubuh lembaga peradilan pajak berisiko mengurangi integritas peradilan pajak itu sendiri. Djamil (2018) berpendapat predikat pengadilan sebagai benteng terakhir (laatste toeviucht) bagi para pencari keadilan patut dipertanyakan ketika terjadi dualisme pengaturan jabatan hakim.
Berdasarkan pada hal-hal tersebut, secara umum dapat disimpulkan bahwa keputusan MK untuk menyatukan kedua mahkota Pengadilan Pajak yang selama ini terpisah dapat diterima. Mahkota yang mencerminkan kehormatan, keluhuran, dan integritas Pengadilan Pajak bagi para pencari keadilan. Harapannya, penyelesaian sengketa pajak yang adil melalui proses yang cepat, murah, dan sederhana dapat terwujud.
BAGI Direktorat Jenderal Pajak sendiri, sebagai pemegang otoritas pajak, penyatuan kedua mahkota itu merupakan langkah yang baik dalam meningkatkan hubungan dengan wajib pajak. Hal ini terutama dalam meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintah dan sistem penyelesaian sengketa perpajakan.
Berbagai penelitian menunjukkan terdapat hubungan positif antara kepercayaan publik dan kepatuhan wajib pajak. Zainuddin, Nugroho, dan Muamarah (2022) misalnya, menyatakan persepsi keadilan pajak berpengaruh positif terhadap kepatuhan pajak. Hasil penelitian Widuri dan Irawan (2019) juga menyatakan persepsi keadilan pajak berdampak positif dan signifikan terhadap kepatuhan pajak.
Dengan demikian, DJP sebagai pemegang otoritas pajak tidak boleh kehilangan momen yang baik ini untuk melakukan perbaikan, terutama pada bidang penyelesaian sengketa pajak. Perbaikan tersebut dapat dilakukan melalui berbagai cara.
Pertama, DJP perlu membangun sebuah sistem alternative dispute resolution (ADR) untuk mengurangi sengketa dengan wajib pajak. ADR adalah suatu mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang mengedepankan dialog dan persetujuan (Thuronyi & Espejo, 2013).
Sistem ADR telah banyak dianut oleh negara-negara maju layaknya Jepang dan Inggris untuk mengurangi jumlah sengketa yang masuk ke Pengadilan Pajak. Tujuannya untuk menurunkan administrative cost dan compliance cost yang pada akhirnya berpengaruh terhadap kepatuhan pajak.
Kedua, DJP perlu membangun suatu sistem untuk mengidentifikasi apakah terhadap suatu sengketa merupakan question of fact atau question of law. Apabila atas suatu sengketa mengandung question of fact maka sengketa tersebut sebaiknya selesai pada proses keberatan pajak.
Sebaliknya, apabila atas suatu sengketa mengandung perbedaan interpretasi atas suatu ketentuan perundangan (question of law) maka DJP perlu mendorong wajib pajak untuk mengajukan sengketa tersebut ke Pengadilan Pajak. Di beberapa negara, wajib pajak dapat mengajukan banding ke Pengadilan Pajak apabila sengketa menyangkut isu question of law yang krusial.
Ketiga, DJP bersama dengan Pengadilan Pajak perlu membangun integrasi sistem e-objection dengan e-court. Integrasi dan elektronifikasi ini penting untuk menurunkan administrative cost yang timbul dari penyelesaian sengketa.
Otoritas Perpajakan Britania Raya (Her Majesty Revenue & Customs/HMRC) berpendapat sengketa pajak merupakan proses yang panjang dan mahal, baik dari sisi HMRC maupun wajib pajak (HMRC, 2017). Oleh karena itu, HMRC berkomitmen untuk mendukung wajib pajak memperoleh haknya tanpa harus bersengketa.
Apabila ketiga langkah ini dilakukan, tidak hanya kepercayaan wajib pajak terhadap proses penyelesaian sengketa di DJP yang dapat ditingkatkan, tetapi juga kepatuhan wajib pajak dalam jangka panjang.
* Artikel opini ini merupakan pendapat pribadi dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.