Davira Rizky Chairunnisa,
DALAM lingkup transfer pricing, prinsip kewajaran dan kelaziman usaha mengenal rentang nilai untuk mengukur harga atau laba yang wajar. Metode rentang nilai yang umum digunakan oleh berbagai negara di dunia adalah interquartile range, yaitu titik data yang ditemukan antara kuartil pertama dan ketiga (Darussalam, 2013).
Terkait hal ini, Paragraf 3.57 Organisation for Economic Co-operation (OECD) Transfer Pricing Guidelines 2017 dinyatakan bahwa mempersempit rentang nilai diperbolehkan apabila dalam sebuah rentang mencakup sampel observasi yang ‘sizeable’ guna meningkatkan keandalan dari analisis transfer pricing. Namun, hingga saat ini belum ada regulasi yang mendefinisikan kata ‘sizeable’ dalam penggunaan sampel pada interquartile range.
Terdapat dua pertanyaan dari akar pembahasan di atas. Pertama, berapa jumlah sampel yang harus digunakan untuk menjadikan sampel tersebut ‘sizeable’ dalam penerapan interquartile range sehingga menjadi metode yang efektif? Kedua, bagaimana implikasi penerapan interquartile range di Indonesia?
Melalui artikel ini, penulis akan membahas penerapan interquartile range untuk menentukan harga wajar melalui perspektif komparatif dan perspektif ilmu statistik.
Komparasi
DEWASA ini, kontroversi mengenai penerapan interquartile range terjadi di Swedia. Dalam kasus The Absolut Company Aktiebolag versus Skatteverket (The Absolut case), sampel perusahaan pembanding berjumlah sembilan dan metode yang diterapkan adalah TNMM. Hakim memutuskan bahwa sembilan sampel perusahaan pembanding tidak cukup untuk penerapan interquartile secara andal, sehingga diperlukan penerapan full range.
Ketentuan transfer pricing Amerika Serikat (AS) juga merujuk pada interquartile range sebagai metode rentang nilai yang digunakan. Akan tetapi, ketentuan tersebut tidak mempermasalahkan jumlah pembanding yang digunakan dalam penerapan interquartile range.
Keandalan analisis transfer pricing akan meningkat ketika metode statistik interquartile range diterapkan tanpa menyebutkan jumlah pembanding yang patut digunakan (§1.482-1 Internal Revenue Code, 1986).
Lebih lanjut, ketentuan transfer pricing India mendefinisikan rentang sebagai sebagai titik data yang berada dalam persentil ke-35 hingga ke-65. Menurut Central Board of Direct Taxes (CBDT) India, minimal enam perusahaan harus dipilih sebagai sampel pembanding dengan mempertimbangkan kesebandingan fungsi, aset dan risiko (Rule 10CA of Income Tax Rules, 1962).
Perspektif Ilmu Statistik
TITIK kuartil yang digunakan dalam penerapan interquartile range sebenarnya merupakan titik estimasi kuartil dari distribusi data sampel pembanding. Dengan demikian, terdapat ketidakpastian atas perhitungan nilai kuartil yang menyebabkan penerapan interquartile range berpotensi menjadi tidak andal.
Pada dasarnya, keandalan analisis akan meningkat dengan bertambahnya jumlah sampel (Thiel, 1999). Seorang ahli transfer pricing asal Jerman Finn Martensen melakukan simulasi Monte Carlo untuk memperlihatkan korelasi antara jumlah sampel dan penerapan interquartile dengan standar deviasi.
Hasil eksperimen Martensen menunjukkan bahwa sampel yang semakin besar menghasilkan standar deviasi yang lebih kecil, sehingga titik estimasi kuartil akan semakin merefleksikan titik nilai yang lebih akurat. Menurut Martensen, setidaknya diperlukan 27 sampel pembanding untuk dapat menerapkan interquartile secara andal dengan menerapkan metode confidence interval dalam perhitungannya.
Singkatnya, untuk mendapatkan titik nilai kuartil yang lebih akurat, confidence interval merupakan salah satu metode statistik yang patut dipertimbangkan oleh para otoritas pajak negara di dunia. Mengapa demikian? Confidence interval memberikan titik nilai yang lebih luas dengan memperhitungkan setiap kemungkinan sehingga analisis tidak mengacu pada satu titik estimasi saja.
Dalam penerapannya, terdapat dua variabel yang perlu diketahui untuk menerapkan konsep statistical significance. Pertama, confidence level, yaitu ukuran reliabilitas confidence interval (Devore, 2018). Kedua, significance level (alpha), yaitu tingkat kemungkinan dalam menghasilkan kesimpulan analisis yang salah (Hinton, 1995).
Sebagai gambaran, penulis akan menjabarkan perhitungan confidence interval dengan mengikuti panduan percobaan Martensen. Percobaan berikut menggunakan Distribusi Binomial dengan aplikasi 90% confidence level dan 10% significance level.
Uji coba akan dilakukan terhadap 16 sampel pembanding pada tabel di atas dan mengasumsikan 7,5% sebagai margin laba bersih perusahaan yang sedang diuji.
Dalam penerapan confidence level 90%/significance level 10%, titik batas bawah kuartil merupakan nilai dari peringkat terendah distribusi binomial kumulatif di atas 5%. Sementara itu, nilai dengan peringkat terendah kedua dengan distribusi binomial kumulatif di atas 95% adalah titik batas atas kuartil.
Oleh karena itu, kuartil pertama akan berada diantara titik nilai 0,5% – 39,4% dan kuartil ketiga berada dalam rentang 60,1% - 99,7%. Nilai interquartile range yang didapatkan adalah 0,5% – 99,7%, sehingga rentang kewajaran menggunakan confidence interval adalah sama dengan full range.
Namun demikian, nilai interquartile range yang dipersamakan dengan nilai full range hanya bisa diterapkan dengan confidence level setidaknya 90%. Dari ilustrasi ini, dapat dibuktikan bahwa margin perusahaan sebesar 7,5% adalah wajar dengan penerapan full range atas 16 sampel perusahaan pembanding.
Kesimpulan yang sama juga dapat ditemukan sepanjang jumlah sampel pembanding kurang dari 27 (Martensen, 2020). Sementara itu, apabila jumlah sampel pembanding lebih tinggi dari 27, penerapan full range dengan perhitungan confidence interval tidak lagi menghasilkan confidence level sebesar 90%. Implikasinya, penerapan full range kurang dapat diandalkan.
Penutup
DI Indonesia, penerapan interquartile range mewajibkan adanya minimum tiga jumlah pembanding sesuai dengan Pasal 8 Peraturan Menteri Keuangan No.22/PMK.03/2020. Dalam konteks kurang dari tiga jumlah pembanding maka metode full range harus diterapkan.
Pertanyaannya, apakah jumlah pembanding yang lebih dari tiga akan tetap menggunakan interquartile range? Atau justru mengikuti Martensen bahwa selama jumlah pembanding lebih kecil dari 27 maka penggunaan full range dijustifikasi secara statistik?
Terkait hal tersebut, ada baiknya untuk mengkaji kembali persyaratan mengenai jumlah pembanding dan kaitannya dengan jenis rentang kewajaran yang dipergunakan. OECD sendiri tidak menyarankan mempersempit rentang apabila jumlah sampel pembanding tidak ‘sizeable’, seperti telah tercantum pada Paragraf 3.57 OECD Transfer Pricing Guidelines 2017. (Disclaimer)