TRANSFER pricing dalam transaksi aset tidak berwujud (intangibles) selalu menjadi isu menarik, khususnya bagi perusahaan multinasional (multinational enterprises/MNEs). Globalisasi mendorong banyak MNEs menggunakan dan mengeksploitasi intangibles melalui perusahaan anak.
Intangibles dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang tidak memiliki bentuk fisik atau aset keuangan, tetapi dapat dimiliki atau dikendalikan dengan tujuan dapat digunakan di masa depan dalam kegiatan komersial perusahaan (Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD, 2017).
Pendekatan intangibles pada transfer pricing dan akuntansi berbeda. Dalam beberapa kasus, intangibles tidak dicatat pada laporan keuangan, tetapi dicatat laporan internal.
Karena itu, intangibles perlu dipertimbangkan dalam perspektif transfer pricing agar MNEs dapat mengatribusikan alokasi laba secara wajar sesuai dengan kontribusi masing-masing entitas atau perusahaan anak dalam MNEs (Lang et al., 2019).
Namun, sulitnya menilai kewajaran atas transaksi terkait dengan intangibles menimbulkan berbagai permasalahan. Karena itu, diperlukan pedoman yang membahas khusus tentang intangibles.
OECD telah merilis pedoman intangibles dalam Transfer Pricing Guidelines (TPG) 2017. Pedoman ini mengadopsi definisi intangibles tepat menurut transfer pricing dan memastikan penentuan harga wajar atas intangibles dialokasikan tepat sesuai dengan pembentukan nilai MNEs (Lang et al., 2019).
Masalah penentuan harga yang wajar atas intangibles merupakan hal yang sangat penting dalam transfer pricing. Hal ini dikarenakan adanya risiko bahwa intangibles tidak mencerminkan nilai yang ‘berharga’ sesuai dengan manfaatnya pada masa depan (Markham, 2005).
TPG 2017 juga membantu MNEs menentukan alokasi laba wajar sesuai fungsi yang dijalankan, aset yang digunakan, dan risiko terkait dengan pengembangan, peningkatan, perawatan, perlindungan, dan eksploitasi (development, enhancement, maintenance, protection, and exploitation/DEMPE).
Namun, setelah TPG 2017 itu dirilis, persoalan intangibles masih tetap belum selesai. Karena itu, pada 29 Oktober 2018, WU Transfer Pricing Centre di Vienna menggelar Simposium Transfer Pricing dan Intangibles yang membahas berbagai perkembangan terkini persoalan intangibles (Dziwinski, 2019).
Empat Metode
BERBAGAI permasalahan atas transaksi intangibles memang membuat otoritas pajak di berbagai yurisdiksi kesulitan menentukan basis pemajakan yang wajar pada MNEs (PWC, 2014). Sejauh ini ada empat metode yang dapat digunakan dalam menentukan penghasilan kena pajak (IRS, 2009).
Pertama, comparable uncontrolled transaction. Kedua, comparable profits method atau sering dikenal sebagai transactional net margin method (TNMM). Ketiga, profit split method. Keempat, unspesified method. Berdasarkan beberapa kasus di India, menetapkan alokasi laba dengan profit split method merupakan metode yang paling tepat.
Profit split method dipilih karena dianggap sebagai metode yang mampu mencerminkan kontribusi dari masing-masing entitas asosiasi sehubungan dengan penciptaan nilai atas fungsi yang dilakukan, aset yang digunakan, dan risiko yang ditanggung (Swain, 2018).
Lebih lanjut, profit split method terbagi dalam tiga jenis dan dapat diterapkan pada keadaan berbeda, antara lain (i) overall profit split method; (ii) contributory profit split method; dan (iii) residual profit split method (RPSM).
RPSM merupakan metode yang digunakan untuk menentukan harga wajar atas transaksi afiliasi yang melibatkan kontribusi non-rutin atas intangibles yang sifatnya unik sehingga sulit untuk menemukan harga dan keadaan yang sebanding.
Selanjutnya, setiap laba residual yang telah dikurangi laba dari kegiatan rutin dialokasikan kepada para pihak berdasarkan laba yang diperoleh perusahaan sebanding yang melaksanakan fungsi, menggunakan aset, dan menanggung risiko yang sebanding (Kalson, 2018).
Dalam hal penerapannya, RPSM adalah metode yang paling tepat dalam hal pencarian perjanjian pembanding atas transaksi pembayaran imbal hasil dari intangibles, yakni royalti. Hal iIni sejalan dengan putusan yang ditetapkan oleh Income Tax Appellate Tribunal Bangalore, India, terhadap kasus Google India.
Putusan tersebut secara tegas menyebutkan bahwa RPSM merupakan metode yang paling tepat dalam hal benchmarking menguji kewajaran pembayaran royalti oleh Google India kepada Google Irlandia (Swain, 2018).
Laba residu dapat dibagi berdasarkan analisis fakta dan keadaan yang mengindikasikan bahwa pendapatan sehubungan dengan penggunaan intangibles telah dialokasikan secara wajar dan sesuai dengan kontribusi masing-masing pihak dalam hal penciptaan nilai dan pengembangan intangibles.
Perlu dicatat penerapan RPSM dalam analisis transaksi intangibles membutuhkan perbaikan dan pengembangan di masa yang akan datang untuk mengidentifikasi dan menentukan basis penerapan metode yang paling tepat sesuai dengan alokasi laba pada masing-masing MNEs.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.