PEMBIAYAAN syariah atau Islamic finance telah menjadi salah satu segmen dengan pertumbuhan tercepat dalam industri lembaga keuangan. Menurut laporan S&P Global Ratings, pada 2012 aset keuangan syariah yang dikelola lembaga keuangan di seluruh dunia mencapai US$1,6 triliun.
Pada 2015 jumlahnya meningkat menjadi US$2 triliun dan pada 2020 diprediksi total aset yang dikelola lembaga keuangan syariah mencapai US$6,7 triliun. Pembiayaan syariah memang sudah menjadi alternatif bagi masyarakat dunia dalam melakukan transaksi komersial. (Rarick, 2009)
Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan wajib pajak dapat melakukan perencanaan pajak melalui pembiayaan syariah dalam transaksi lintas batas. Sebab sampai saat ini, Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) juga belum mengakomodasi perlakuan pajak terhadap pembiayaan syariah.
Berbeda dengan pembiayaan konvensional, pembiayaan syariah menganggap uang tidak memiliki nilai intrinsik dan hanya sebagai media pertukaran. Karena itu, unsur bunga pada uang tidak dapat meningkatkan nilai uang itu sendiri. Dalam pembiayaan syariah uang hanya memiliki nilai waktu.
Adapun transaksi dengan prinsip syariah didasarkan pada prinsip ekuitas, aset, dan pembagian laba atau rugi serta melarang unsur berupa bunga atau riba, ketidakpastian (gharar), perjudian (meysir), dan perbuatan yang dilarang hukum Islam (haram).
Kebanyakan P3B yang telah dinegosiasikan mengatur transaksi secara konvensional. Dengan kata lain, P3B belum mengatur transaksi syariah. Hal ini tentunya memiliki potensi timbulnya biaya pajak yang tinggi atau pemajakan ganda dalam transaksi syariah jika dilakukan secara lintas batas.
Pembiayaan syariah sendiri terdiri atas beberapa bentuk, yakni mudharabah, musyarakah, murabahah, istishna, dan ijara. Salah satu contoh skema pembiayaan syariah yang dapat menimbulkan isu perpajakan adalah murabahah.
Murabahah merupakan perjanjian pembiayaan berupa transaksi jual beli suatu barang sebesar harga perolehan barang ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati para pihak, dengan penjual menginformasikan terlebih dahulu harga perolehannya kepada pembeli.
Dalam skema murabahah, tidak terdapat pengenaan bunga (interest) dalam skema pembiayaan, yang ada adalah margin keuntungan yang disepakati. Dalam skema ini, lembaga keuangan harus menjadi pemilik barang yang ditransaksikan sebelum memfasilitasi pembiayaannya kepada konsumen.
Lebih lanjut, secara substansi ekonomi, margin keuntungan pada skema pembiayaan murabahah ini setara dengan bunga apabila dilakukan melalui transaksi konvensional pinjaman, karena sama-sama berfungsi sebagai nilai tambah dari suatu pembiayaan.
Kesetaraan ini diartikan berbagai negara sebagai cara mempersamakan efek pajak dari transaksi tersebut dengan transaksi konvensional yang telah diatur. Meski sebenarnya, tujuan dari kedua jenis penghasilan itu berbeda karena keuangan syariah tidak memperbolehkan adanya unsur bunga.
Definisi Bunga
MENGACU pada ketentuan internasional, definisi bunga dalam Pasal 11 ayat (3) Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD Model adalah (i) penghasilan semua jenis tagihan piutang yang dijamin dengan hipotik atau tidak, dan yang mempunyai hak pembagian laba atau tidak.
Lalu (ii) penghasilan sekuritas yang diterbitkan pemerintah dan penghasilan obligasi atau surat utang, serta (iii) premi dan hadiah yang melekat pada sekuritas, obligasi, dan surat utang. Adapun denda keterlambatan pembayaran tidak diperlakukan sebagai bunga (Septriadi dan Deborah, 2017).
Definisi bunga dalam OECD Model tidak mengakomodasi definisi margin penghasilan yang diperoleh skema pembiayaan murabahah atau instrumen keuangan syariah, karena margin penghasilan yang diperoleh itu bukan berasal dari klaim atas utang (Hans Pijl, 2011).
Apabila margin keuntungan yang diperoleh dari skema murabahah dipersamakan perlakuannya dengan bunga sebagaimana diatur Pasal 11 OECD Model, alokasi hak pemajakan tidak diberikan secara eksklusif, baik kepada negara sumber penghasilan maupun negara domisili.
Artinya, masing-masing negara pihak dalam P3B memiliki hak pemajakan yang sama atas penghasilan bunga. Akan tetapi, hak pemajakan negara sumber dibatasi sampai pada suatu persentase tertentu dari jumlah bruto pembayaran bunga seperti tertuang dalam Pasal 11 ayat (2) OECD Model.
Margin keuntungan dalam transaksi murabahah juga dapat masuk dalam penghasilan yang dimaksud sebagai laba usaha Pasal 7 OECD Model. Alasannya, belum terdapat ketentuan khusus yang mengatur margin keuntungan dalam transaksi murabahah masuk dalam definisi bunga Pasal 11 OECD Model.
Karena itu, seperti termaktub dalam Pasal 7 OECD Model, laba usaha yang diterima perusahaan di negara domisili dari usahanya di negara sumber hanya dapat dipajaki di negara domisili. Kecuali jika perusahaan tersebut memiliki bentuk usaha tetap di negara sumber (Darussalam dan Septriadi, 2017).
Pada praktiknya, setiap negara mempunyai perlakuan pajak atas margin keuntungan yang diperoleh dari transaksi murabahah. Inggris misalnya, margin transaksi pembiayaan murabahah dipersamakan dengan bunga sebagaimana diatur dalam ketentuan legislatif Sec.503 CTA 2009 (Jeremy Cape, 2010).
Prancis, Malaysia, dan Singapura juga menerapkan hal serupa. Namun, Luksemburg memperlakukan margin keuntungan dari pembiayaan murabahah sebagai capital gain atas aset yang diperjualbelikan (Raymond Krawczykowski and Alain Verbeken, 2010).
Perbedaan mengintepretasikan margin atas pembiayaan murabahah antarnegara ini berpotensi menimbulkan pajak berganda. Hukum pajak internasional juga belum menyediakan kerangka kerja untuk mengatasi beberapa masalah dalam struktur keuangan syariah lintas batas. Di Indonesia pun belum terdapat rezim pajak yang holistik terkait dengan keuangan syariah.
Karena itu, dengan kian cepatnya laju pertumbuhan transaksi keuangan syariah di dunia, seharusnya isu ini menjadi perhatian komunitas pajak internasional untuk mendefinisikan dan mengembangkan pendekatan yang konsisten tentang perlakuan pajak atas skema pembiayaan syariah.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.