Para pembicara dalam webinar bertajuk Menempatkan Lulusan Pajak dalam Ranah Profesi Konsultan Pajak yang diselenggarakan Asosiasi Tax Center Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia (Atpetsi) pada hari ini, Selasa (2/3/2021). (tangkapan layar Zoom)
JAKARTA, DDTCNews – Rencana revisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 111/2014 tentang Konsultan Pajak harus dilakukan secara komprehensif dengan fokus pada tujuan strategis terkait dengan perpajakan Indonesia.
Hal tersebut menjadi bahan diskusi dalam webinar bertajuk Menempatkan Lulusan Pajak dalam Ranah Profesi Konsultan Pajak yang diselenggarakan Asosiasi Tax Center Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia (Atpetsi) pada hari ini, Selasa (2/3/2021).
Memberikan kata sambutan dalam acara tersebut, Ketua Dewan Pembina Atpetsi sekaligus Kepala Kanwil Ditjen Pajak (DJP) Jawa Timur I mengatakan pemerintah memberikan ruang bagi lulusan dari segala jurusan pendidikan untuk berkarier di bidang perpajakan.
“Pada PMK 111/2014 ada pemikiran dari DJP untuk mengakomodasi lulusan perpajakan dari fakultas-fakultas ekonomi, hukum, ilmu administrasi, dan Fisip yang kualitasnya terakreditasi," ujar John.
Dia berharap acara yang digelar Atpetsi ini dapat memberikan masukan bagi pemerintah terkait dengan rencana revisi peraturan mengenai konsultan pajak. Masukan tersebut, terutama terkait dengan lulusan studi pajak dalam ranah profesi konsultan pajak.
Ketua Umum Atpetsi Darussalam mengatakan rencana perubahan PMK 111/2014 menjadi momentum untuk pengembangan profesi konsultan pajak pada masa mendatang. Apalagi, saat ini tengah ada persiapan integrasi pembinaan dan/atau pengawasan profesi keuangan yang dijalankan Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (PPPK).
Menurutnya, rencana perubahan PMK 111/2014 harus memperhatikan tujuan strategis masa depan yang ingin dicapai. Tujuan strategis itu disusun dengan mempertimbangkan situasi saat ini, seperti kinerja tax ratio dan kepatuhan formal yang masih rendah serta masih sedikitnya jumlah konsultan pajak.
Adapun jumlah konsultan pajak di Indonesia hingga saat ini masih sedikit. Hanya ada 5.589 konsultan pajak di Indonesia saat ini. Jumlah itu jauh berada di bawah Jepang yang mencapai 78.795 konsultan pajak, bahkan Italia yang sebanyak 116.000 konsultan pajak.
Dengan jumlah itu, rasio konsultan pajak terhadap jumlah penduduk di Indonesia pun masih besar, yakni 1:48.417. Padahal, rasio di Jepang dan Italia masing-masing 1:1.605 dan 1:520.
“Untuk mengejar jumlah konsultan pajak ini perlu waktu berpuluh-puluh tahun kalau PMK barunya tetap menggunakan paradigma PMK dan PP sebelumnya. Tugas PMK baru tidak semata-mata menjamin kompetensi konsultan pajak, tetapi juga melihat tujuan strategis dari sistem perpajakan kita,” kata Darussalam.
Adapun beberapa tujuan strategis itu salah satunya terkait dengan ketersediaan jumlah ahli pajak yang ideal dan kompeten, pembelajaran secara keilmuan dan praktik di kampus, serta semangat UU Cipta Kerja untuk kemudahan usaha dan penciptaan lapangan kerja.
Selain itu, terkait dengan upaya menekan biaya kepatuhan dan meningkatkan kepatuhan sukarela. Ada pula tujuan pembentukan masyarakat melek dan sadar pajak serta perbaikan kontribusi penerimaan pajak. Kemudian, tujuan untuk mendukung brand konsultan pajak lokal berkompetisi di dunia internasional.
Darussalam pun meminta agar penyusunan perubahan PMK 111/2014 mengacu pada Pasal 32 ayat (3), Pasal 32 ayat (3a), dan Pasal 48 UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Selain itu, aturan juga harus merujuk pada PP 74/2011.
Dalam acara itu, Darussalam juga berpendapat perlunya dibentuk suatu supra-organisasi profesi konsultan pajak. Dewan konsorsium supra-organisasi ini bisa diisi perwakilan DJP, organisasi konsultan pajak, akademisi pajak, dan wajib pajak.
Melalui supra-organisasi tersebut, lulusan dari bidang studi apapun dapat mengikuti ujian sertifikasi konsultan pajak yang tersedia. Supraorganisasi ini nantinya akan membuat standar minimum kurikulum perpajakan, PPL, dan standar etika bagi konsultan pajak.
"Kalau dibuka [untuk lulusan bidang studi apapun] maka yang menjadi prioritas adalah lulusan dari bidang perpajakan. Dengan demikian, lulusan dari bidang studi lain boleh berprofesi tetapi disetarakan dengan lulusan pajak,” imbuhnya.
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Adrianto Dwi Nugroho mengatakan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka yang telah dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) harus dioptimalkan. Hal ini akan memperkaya sumber daya manusia (SDM) di bidang perpajakan.
Sebagai contoh, seorang mahasiswa hukum pajak seharusnya diperbolehkan untuk mengambil mata kuliah pada fakultas lain lain seperti ilmu hukum atau administrasi demi memperkaya pemahamannya.
Akademisi Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya (UB) Kusdi Raharjo mengatakan untuk meningkatkan jumlah lulusan yang berkarir sebagai konsultan pajak, diperlukan suatu program inklusi perpajakan.
Kusdi mengatakan setiap orang yang memiliki ijazah sarjana ataupun diploma pada bidang perpajakan atau bukan perpajakan seharusnya bisa diberikan kesempatan untuk menjadi kuasa wajib pajak sepanjang orang tersebut memiliki kemauan dan kemampuan.
Akademisi Politeknik Ubaya sekaligus Ketua Bidang Organisasi Atpetsi Doni Budiono mengatakan peran PPL harus dikembangkan secara terus menerus guna memperkaya pengetahuan praktisi konsultan pajak. Menurutnya, revisi ketentuan konsultan pajak juga tetap perlu menampung aspirasi semua stakeholder.
Akademisi Universitas Indonesia (UI) Haula Rosdiana mengatakan negara harus berperan dalam penciptaan SDM yang kompeten dan kredibel. Hal inilah yang perlu menjadi pertimbangan utama dalam penyusunan perubahan peraturan mengenai konsultan pajak.
Dia mengatakan lulusan pajak seharusnya ditempatkan sebagai prioritas dalam ranah profesi konsultan pajak. "Saya khawatir dengan masa depan keilmuan perpajakan kalau regulasinya tidak dirumuskan untuk mendorong kebijakan presiden, yakni menciptakan SDM unggul," ujar Haula. (kaw)