Sekretaris Utama BPS Atqo Mardiyanto saat memberikan paparan.
JAKARTA, DDTCNews – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan pada Juni 2023 mengalami surplus senilai US$3,45 miliar.
Sekretaris Utama BPS Atqo Mardiyanto mengatakan surplus perdagangan ini melanjutkan tren yang terjadi sejak Mei 2020 atau 38 bulan. Adapun nilai ekspor tercatat US$20,61 miliar dan impor mencapai US$17,15 miliar.
"Namun untuk dicatat, penurunan impor jauh lebih dalam ketimbang penurunan ekspor," katanya, Senin (17/7/2023).
Atqo menuturkan nilai ekspor Indonesia pada Juni 2023 senilai US$20,61 miliar tersebut mengalami penurunan 21,18% dari periode yang sama tahun lalu. Khusus ekspor nonmigas, realisasinya senilai US$19,34 miliar, turun 21,33%.
Secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia Januari hingga Juni 2023 mencapai US$128,66 miliar, turun 8,86% ketimbang periode yang sama tahun lalu. Sementara itu, ekspor nonmigas senilai US$120,82 miliar mengalami penurunan 9,32%.
Berdasarkan sektor, ekspor nonmigas hasil industri pengolahan pada Januari - Juni 2023 turun 10,19% dari periode yang sama tahun lalu. Kondisi serupa juga terjadi pada ekspor hasil pertanian, kehutanan, dan perikanan yang turun 3,41% dan ekspor hasil pertambangan dan lainnya turun 6,72%.
Kemudian, ekspor nonmigas pada Juni 2023 yang terbesar terjadi ke China senilai US$4,58 miliar, diikuti Amerika Serikat US$1,96 miliar dan India US$1,67 miliar. Kontribusi ekspor dari ketiga negara itu mencapai 42,42%.
Mengenai impor, lanjut Atqo, realisasinya mencapai US$17,15 miliar, turun 18,35%. Impor migas pada Juni 2023 mencapai US$2,22 miliar, turun 39,49% dan impor nonmigas mencapai US$14,93 miliar, turun 13,86%.
Negara pemasok barang impor nonmigas terbesar selama Januari hingga Juni 2023 ialah China senilai US$29,99 miliar dengan kontribusi 32,56% dari total impor. Diikuti Jepang US$8,23 miliar sebesar 8,94%, serta Thailand US$5,31 miliar sebesar 5,77%.
Secara tahunan, nilai impor pada Januari hingga Juni 2023 mengalami 13,97% pada barang modal dan 2,81% pada barang konsumsi. Sementara itu, kontraksi terjadi pada impor golongan bahan baku atau penolong sebesar 11,14%.
"[Penurunan ini] utamanya didorong oleh beberapa komoditas di antaranya bahan bakar mineral, mesin atau perlengkapan elektrik dan bagiannya, serta mesin dan peralatan mekanis dan bagiannya," ujar Atqo. (rig)