Sejumlah warga mengantre pembayaran pajak kendaraan bermotor pada mobil Samsat Keliling di area GOR Pajajaran, Kota Bogor, Jawa Barat, Kamis (4/6/2020). Badan Pendapatan Daerah Jawa Barat memperpanjang program Triple Untung hingga 31 Juli 2020, yaitu bebas denda pajak kendaraan bermotor, bebas pokok dan denda bea balik nama kendaraan bermotor II, serta bebas tarif progresif pokok tunggakan. (ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/nz)
SEJAK April lalu, terutama setelah Presiden Joko Widodo merilis Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020, di berbagai daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota di seluruh Indonesia, kita melihat berbagai insentif pajak daerah diluncurkan.
Insentif itu dimaksudkan untuk mengurangi beban pelaku usaha yang terdampak pandemi Covid-19. Bersamaan dengan insentif pajak pemerintah pusat, insentif pajak daerah itu diharapkan bisa menjaga pelaku usaha tetap ‘bernapas’, hingga pertumbuhan ekonomi nasional tidak sampai negatif.
Ada daerah yang memberi potongan pajak hotel sampai Oktober, ada yang menghilangkan denda pajak restoran hingga September, ada yang mendiskon pajak bumi dan bangunan, ada yang memutihkan denda pajak kendaraan, bahkan ada yang menghapuskan seluruh denda pajak daerah.
Kami mencatat, sejak otonomi daerah direvitalisasi pada 1999 atau setahun setelah krisis moneter yang menghela gelombang reformasi, pada tahun inilah insentif pajak daerah mencapai musim puncaknya, merata hampir di seluruh provinsi dan kabupaten/kota.
Bersamaan dengan meledaknya pandemi virus Corona di seluruh provinsi dan kabupaten/kota yang memaksa pemerintah daerah merelokasi anggarannya ke sektor kesehatan, momentum penerapan insentif ini mendapatkan justifikasinya.
Memang, pada tahun-tahun sebelumnya, insentif pajak daerah itu juga kerap diberikan. Penghapusan denda pajak kendaraan bermotor atau pengurangan bea balik nama kendaraan bermotor misalnya, hampir setiap tahun rutin diadakan berbagai pemerintah provinsi.
Begitu pula sejak 2014 ketika pemerintah pusat mengalihkan secara penuh pengelolaan pajak bumi dan bangunan ke pemerintah kabupaten/kota, di berbagai kota/kabupaten di Indonesia, kita bisa melihat ada insentif pengurangan denda pajak bumi dan bangunan yang diberikan ke masyarakat.
Di satu sisi, fenomena ini tentu positif. Di samping daerah bisa memperoleh tambahan penerimaan jangka pendek, kesadaran masyarakat membayar pajak berangsur-angsur juga meningkat. Dengan kata lain, dalam insentif ini ada hubungan mutualisme antara pemerintah dan pembayar pajak.
Namun di sisi lain, obral insentif, atau lebih tepat amnesti pajak daerah ini, juga memiliki risiko, yaitu ketika insentif ini terlalu sering digelar. Jika itu yang terjadi, psikologi pembayar pajak tentu berharap insentif itu akan diulangi lagi tahun berikutnya. Akhirnya, malah mengakibatkan ketidakpatuhan.
Untuk itu, insentif pajak daerah ini jangan terlalu sering dibuat. Apalagi sampai menjadi program rutin. Selain itu, penting bagi pemerintah daerah memperbaiki data pajaknya. Tanpa tata kelola data yang baik, pemerintah daerah akan kehilangan alat untuk mengawasi perilaku wajib pajak.
Hal lain yang tidak kalah penting adalah sanksi tegas setelah insentif diluncurkan. Tanpa sanksi tegas bagi pembayar pajak yang perilakunya kembali tidak patuh, pemerintah daerah akan membuang kesempatan mempertahankan tingkat kepatuhan setelah insentif tersebut berakhir.
Jangan lupakan transparansi penggunaan uang pajak. Transparansi itu untuk membangun kepatuhan. Pembayar pajak harus tahu uang pajaknya dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tanpa itu, pembayar pajak akan terdorong balik ke liang ketidakpatuhan pajak.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.