ANALISIS PAJAK

Menyoal Pajak atas Cryptocurrency

Rabu, 27 Februari 2019 | 13:32 WIB
Menyoal Pajak atas Cryptocurrency

Ganesha Al Hakim Kuncoro,
DDTC Consulting

PERKEMBANGAN ekonomi digital telah mentransformasikan transaksi yang dilakukan melalui aktivitas fisik menjadi aktivitas yang berbasis digital (online). Berbagai inovasi telah tercipta termasuk kemunculan cryptocurrency atau mata uang digital.

Cryptocurrency merupakan subkategori dari virtual currency dan mengacu pada mata uang virtual konvertibel terdesentralisasi yang dilindungi oleh kriptografi (Bal, 2019). Cryptocurrency memiliki karakteristik yang berbeda dengan mata uang pada umumnya.

Cryptocurrency menggunakan teknologi blockchain yang bersifat desentralisasi dan memiliki enkripsi matematika yang rumit sehingga sulit untuk dipalsukan. Mata uang digital ini memiliki volatilitas dan tingkat fluktuasi yang tinggi karena jumlahnya yang terbatas dan dipengaruhi oleh tingkat permintaan dan penawaran (supply and demand)

Bal (2019) berpendapat bahwa hingga saat ini tidak ada negara yang menganggap virtual currency sebagai mata uang negara resmi di negara yang bersangkutan. Artinya, mata uang ini tidak memiliki status mata uang yang sah di negara tersebut dan hanya dapat digunakan sebagai ‘contractual money’ antara penjual dan pembeli dalam perjanjian tertentu sebagai alat pembayaran.

Cryptocurrency juga berbeda dengan uang elektronik. Uang elektronik diterbitkan oleh penerbit bank dan peredarannya diatur dan diawasi oleh pemerintah. Sementara, cryptocurrency tidak diterbitkan oleh penerbit, tetapi didapatkan dengan ‘mining’ dan peredarannya tidak diawasi oleh siapapun.

Berbeda dengan uang elektronik yang merupakan uang konvensional yang dikonversi dari bentuk fisik ke dalam bentuk elektronik, cryptocurrency merupakan mata uang sendiri (Bitcoin, Ethereum, dan lain-lain). Dengan demikian, cryptocurrency tidak dianggap sebagai uang elektronik (Bal, 2019).

Pada konteks Indonesia, Bank Indonesia memberikan keterangan pers sehubungan dengan dasar hukum penggunaan virtual currency sebagai alat tukar:

“Bank Indonesia menegaskan bahwa virtual currency termasuk bitcoin tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah, sehingga dilarang digunakan sebagai alat pembayaran di Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang yang menyatakan bahwa mata uang adalah uang yang dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia dan setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, atau kewajiban lain yang harus dipenuhi dengan uang, atau transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib menggunakan Rupiah.”

Bank Indonesia juga memberikan larangan bagi penyelenggara jasa sistem pembayaran dalam menggunakan virtual currency sebagai alat pembayaran sebagaimana bunyi Pasal 34 Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016 berikut:

“Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dilarang: (a) melakukan pemrosesan transaksi pembayaran dengan menggunakan virtual currency; (b) menyalahgunakan data dan informasi nasabah maupun data dan informasi transaksi pembayaran; dan/atau (c) memiliki dan/atau mengelola nilai yang dapat dipersamakan dengan nilai uang yang dapat digunakan di luar lingkup Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang bersangkutan.”

Berdasarkan asas legalitas, terlihat bahwa keberadaan cryptocurrency tidak memiliki status hukum yang sah sebagai alat tukar di Indonesia. Lantas, bagaimanakah pemajakan dari mata uang digital tersebut?

Sampai saat ini, masih belum ada ketentuan yang mengatur secara spesifik mengenai pemajakan atas mata uang digital tersebut. Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama yang dilansir DDTCNews 14 Desember 2017 mengatakan:

Keuntungan dari jual beli Bitcoin merupakan penghasilan yang dikenakan pajak. Intinya tidak ada ketentuan khusus mengenai pajak atas jual beli Bitcoin. Jenis pajak yang akan dikenakan yaitu PPh (Pajak Penghasilan) pasal 25/29.”

Pernyataan tersebut jelas masuk akal. Sistem pajak penghasilan di Indonesia sejatinya dikenakan atas seluruh tambahan kemampuan ekonomis, dari sumber manapun. Artinya, ketentuan perundang-undangan pajak di Indonesia tidak ‘membatasi diri’ hanya atas penghasilan-penghasilan yang sifatnya legal dan diakui secara hukum.

Selain itu, walau karakteristik mata uang digital tersebut sifatnya unik, hal itu tidaklah menjustifikasi adanya ketentuan yang bersifat khusus. Prinsip level playing field tetap harus dikedepankan dengan menimbang perlu tidaknya terobosan administrasi untuk menjamin kepatuhan para pelaku bisnis yang memperoleh penghasilan dari kehadiran bitcoin.*

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Jumat, 23 Februari 2024 | 09:00 WIB ANALISIS PAJAK

Simplifikasi Ketentuan Transfer Pricing Ala Pilar 1 Amount B

Rabu, 21 Februari 2024 | 11:00 WIB ANALISIS PAJAK

Menelusuri Kompleksitas dan Tantangan Penerapan Pilar 1 Amount A

Selasa, 20 Februari 2024 | 11:50 WIB ANALISIS PAJAK

Implementasi ‘Two-Pillar Solution’ Kian Dekat, Siapkah Kita?

Kamis, 25 Januari 2024 | 09:15 WIB ANALISIS PAJAK

Mendesain Pemeriksaan Pajak Berbasis Teknologi dan Risiko Kepatuhan

BERITA PILIHAN